Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

GRADUATION

31 Maret 2012.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lebaran 1434 H

sabisa-bisa kudu bisa pasti bisa

Kunjungan

Sahabat-sahabat dari Yogyakarta.

Kegiatan

Lomba Penegak Pramuka.

Rabu, 28 November 2012

Renungan Lir Ilir

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Bisakah luka yang teramat dalam ini nantinya akan sembuh, bisakah kekecewan dan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis, adakah kemungkinan kita merangkak naik kebumi dari jurang yang teramat curam dan dalam, akankah api akan berkobar-kobar lagi apakah asap akan membumbung tinggi dan memenuhi angkasa tanah air, akankah kita akan bertabrakan lagi jarah menjarah dengan pengorbanan yang tak terkirakan, adakah kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani, bersediakah sebenarnya kita untuk tau persis apa yang sesungguhnya kita cari, cakrawala manakah yang menjadi tujuan sebenarnya langkah-langkah kita, pernahkah kita bertanya bagaimana melangkah yang , pernakah kita mencoba menyesali hal-hal yang barangkali perlu kita sesali dari prilaku-prilaku kita yang kemarin, bisakah kita menumbuhkan kerendah hatian dibalik kebanggaan-kebanggaan, masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk sesekali berkata pada diri kita sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan ia tetapi juga kita masih tersediakah peluang didalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barang kali menyakitkan diri kita sendiri mencari hal-hal yang benar-benar kita butuhkan supaya sakit…sakit..sakit kita ini benar benar sembuh total, sekurang-kurang dengan perasaan santai kepada diri kita sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan bukanlah yang berada diluar tubuh kita tetapi didalam diri kita, yang perlu utama kita lakukan adalah penyembuhan diri yang kita yakini harus betul-betul disembuhkan justru adalah segala sesuatu yang berlaku didalam hati dan akal pikiran kita. Saya ingin mengajak engkau semua memasuki dunia Lir Ilir……(Lir iLir….Lir iLir….Tandure woh sumilir tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar……)

Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu telah Ia lantunkan dan tak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah paham, padahal kata-kata beliau mengeja kehidupan kita ini sendiri, alfa….beta..alif…ba….’ ta’….kebingungan sejarah kita dari hari-kehari, sejarah tentang sebuah negri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak sanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperi “menggeliatlah dari matimu!!! tutur sang Sunan…” Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidurmu sungguh negri ini adalah penggalan Surga!! Surga seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan cipratan keindahan itu bernama Indonesia Raya. Kau bisa tanam benih kesejahteraanapa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan ditengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra.

Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini, kita telah memboroskan anugerah tuhan ini dengan bercocok tanam ketidakadilan dan panen-panen kerakusan. (Cah angon….cah angon penekno blimbing kuwi…..lunyu-lunyu penekno..kanggo mbasuh dhodot iro…) kanjeng sunan tidak memilih figure misalnya (Pak Jendral…Pak Jendral,,,,) juga bukan intelektual, Ulama-ulama’, seniman, sastrawan atau apapun, tetapi cah angon, beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwi bukan (Penekno pelem kuwi….)bukan penekno sawo kuwi, bukan penekno buah yang lain, tapi belimbing bergigir lima terserah apa tafsirmu tentang lima, yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu, lunyu…lunyu penekno…agar belimbing bisa kita capai bersama dan yang harus memanjat adalah cah angon anak gembala, tentu saja dia boleh seorang doctor, kyai, ulama, seniman, sastrawan atau siapapun, namun dia harus memiliki daya angon daya menggembalakan kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesame saudara sebangsa, determinasi yang menciptakan garis besutan kedamaian bersama, pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima semua warna, semua golongan, semua kecendrungan, bocah angon adalah pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu grombolan.

Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus memanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang dirobohkan atau diperebutkan dan air sari pati belimbing gigir lima itu diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah yang menjadikan manusia bukan binatang kalau engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu maka engkau kehilangan harkatmu sebagai manusia.

Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia, pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan system nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima! Satu syair tidak bisa diselesaikan ditafsirkan dengan seribu jilid buku, satu tembang syair tidak selesai ditafsirkan dengan waktu dan seribu orang. Kami ingin mengajakmu untuk berkeliling untuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing, agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita.

Selasa, 20 November 2012

P R A G M A T I S M E

Pragmatisme menganut pepatah bahwa "manusia adalah ukuran dari segala sesuatu”,  William James menekankan hak individu yang  berpendidikan untuk menciptakan realitas sendiri, sedangkan Peirce dan Dewey menyatakan bahwa fakta-fakta realitas yang terbaik dibangun oleh para ahli, terutama para ilmuwan.

Tema utama pragmatisme adalah (1) realitas perubahan, (2) sifat dasarnya sosial dan biologis manusia, (3) relativitas nilai-nilai, dan (4) penggunaan intelijen penting. Pragmatis mempertahankan bahwa dunia bukanlah tergantung pada atau independen dari ide manusia itu. Realitas merupakan "interaksi" manusia dengan lingkungannya; hasil dari "pengalaman’. 'Manusia dan lingkungannya adalah suatu " koordinat", mereka sama-sama bertanggung jawab atas apa yang nyata.

Pragmatis berkeyakinan bahwa perubahan adalah esensi dari realitas dan bahwa kita harus selalu siap untuk mengubah cara kita melakukan sesuatu. Tujuan dan sarana pendidikan harus fleksibel dan terbuka untuk bisa direvisi terus menerus. Pendidikan itu sendiri adalah baik akhir dan sarana-tujuan akhir yang bertujuan untuk memperbaiki manusia, dan sarana dalam hal ini adalah cara untuk melakukannya. Dalam pendidikan, disiplin umumnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan siswa merasa tapi harus tumbuh dari mereka. 


Pragmatis mempertahankan bahwa realitas diciptakan oleh interaksi seseorang dengan lingkungannya, anak harus mempelajari dunia karena dunia mempengaruhi dirinya, sama seperti anak tidak dapat dianggap terpisah dari lingkungan di mana dia tinggal, sehingga sekolah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan itu sendiri. Pendidikan adalah kehidupan dan bukan persiapan untuk itu. Materi pelajaran formal harus dikaitkan sedapat mungkin untuk masalah-masalah mendesak yang dihadapi anak dan masyarakat yang bersangkutan untuk menyelesaikan. 


Berbeda dengan realis dan idealis pragmatis berkeyakinan bahwa sifat manusia pada dasarnya elastis dan berubah. Pragmatis menganggap anak sebagai organisme aktif, terus menerus terlibat dalam merekonstruksi dan menafsirkan pengalamannya sendiri. Karena anak tumbuh hanya dengan bergaul dengan orang lain, ia harus belajar untuk hidup dalam sebuah komunitas individu, untuk bekerja sama dengan mereka, dan untuk beradaptasi dirinya.

Sumber:
Kneller, G.F. 1971. Introduction To The Philosophy Of Education. New York: John Whiley & Sons

Pray for Free Palestine

Every day we tell each other
That this day will be the last
And tomorrow we all can go home free
And all this will finally end
Palestine tomorrow will be free
Palestine tomorrow will be free

No mother no father to wipe away my tears
That’s why I won’t cry
I feel scared but I won’t show my fears
I keep my head high

Deep in my heart I never have any doubt

That Palestine tomorrow will be free
Palestine tomorrow will be free

I saw those rockets and bombs shining in the sky
Like drops of rain in the sun’s light
Taking away everyone dear to my heart
Destroying my dreams in a blink of an eye

What happened to our human rights?
What happened to the sanctity of life?

And all those other lies?
I know that I’m only a child
But is your conscience still alive

I will caress with my bare hands
Every precious grain of sand
Every stone and every tree
‘Cause no matter what they do
They can never hurt you
Cause your soul will always be free
(Maher Zein, Palestine Tomorrow Will be Free)



Selasa, 13 November 2012

Mazhab Progresivisme dalam filsafat Pendidikan

Di tengah pergantian abad, sejumlah pendidik telah memprotes formalisme pendidikan tradisional yang berlebihan, dengan penekanan pada disiplin yang ketat, belajar pasif, dan detail yang sia-sia-sia. Pada tahun 1870-an, Francis W. Parker menganjurkan sekolah untuk direvisi, yang kemudian disusun oleh Jhon Dewey. 

Pada tahun 1960, progresivisme melakukan gerakan perubahan sosial dengna cara pengembangan individu dan merangkul, yang ideal seperti "kerjasama," "berbagi," dan'' penyesuaian". Selama periode ini bergabung pula John L. Childs, George Counts, dan Boyd Bode H.

Mengambil pandangan pragmatis bahwa perubahan, tidak permanen, merupakan esensi dari realitas, progresivisme mendeklarasikan bahwa pendidikan adalah proses perkembangan. Pendidik harus siap untuk memodifikasi metode dan kebijakan untuk mendapatkan pengetahuan baru dan melakukan perubahan lingkungan. Kualitas khusus dari seorang pendidikan tidak menjadi penentu dalam menerapkan standar kebaikan, kebenaran, dan keindahan, tetapi seorang pendidik harus mampu mengkonstruk pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman.

Dengan demikian maka pendidikan didefiniskan oleh progresivisme sebagai suatu rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman, yang bisa memberikan makna pada pengalaman, dan meningkatkan kemampuan bagi pengalaman berikutnya. Beberapa pernyataan dasar dari aliran ini:

  1. Pendidikan seharusnya adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk kehidupan. Pengetahuan melibatkan interpretasi dan rekonstruksi pengalaman. Anak harus masuk ke dalam situasi belajar yang cocok untuk usianya,  dan berorientasi pada pengalaman bahwa ia kemungkinan akan menjalani dalam kehidupan dewasa.
  2.  Pemelajaran harus disesuaikan atau didasarkan langsung pada minat anak. Pendidik progresif memperkenalkan konsep " whole child (anak secara keseluruhan)," Sebagai jawaban atas apa yang mereka interpretasi terhadap alam anak. " mereka mendukung "child-center" pada sekolah, di mana proses pembelajaran ditentukan oleh masing-masing anak. Seorang anak secara alami belajar apapun yang berhubungan dengan minatnya, dan berusaha untuk memecahkan masalahnya; pada saat yang sama, ia secara alami cenderung untuk menolak apapun yang dirasa sulit. Anak harus belajar karena ia membutuhkan dan ingin belajar, bukan karena orang lain berpikir bahwa anak seharusnya belajar. Dia harus dapat melihat kesesuain dari apa yang dia pelajari dari hidup .Meskipun demikian, peran guru mempengaruhi pertumbuhan muridnya bukan hanya dengan memasukan banyak informasi ke kepala mereka, tetapi dengan mengendalikan lingkungan dimana pertumbuhan berlangsung. Pertumbuhan didefinisikan sebagai "peningkatan kecerdasan dalam pengelolaan kehidupan" dan "adaptasi cerdas untuk lingkungan." Dewey menyarankan kepada guru:  Now see to it that day by day the condition are such that their own activities move inevitably in this direction, toward such culmination of them­selves.'' 
  3.  Pemelajaran melalui pemecahan masalah hendaknya diutamakan daripada pemberian bahan pelajaran.  Progressivists menolak pandangan bahwa belajar pada dasarnya terdiri dari menanamkan pengetahuan, dan pengetahuan itu sendiri merupakan zat abstrak yang guru bebankan ke dalam pikiran murid-muridnya. Pengetahuan adalah "alat untuk mengelola pengalaman," untuk menangani situasi, atau ide yang berubah-ubah dalam kehidupan. Pengetahuan harus dipadukan/diuji dengan pengalaman. 
  4.   Peran guru adalah untuk tidak mengarahkan tetapi untuk menyarankan. Karena kebutuhan mereka sendiri dan keinginan menentukan apa yang mereka pelajari, anak harus diizinkan untuk merencanakan, guru harus membimbing pembelajaran. Dia harus menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang lebih besar untuk membantu mereka setiap kali mereka mencapai jalan buntu. Tanpa mengarahkan, ia bekerja dengan anak-anak untuk mencapai tujuan yang disepakati bersama. Lawrence G. Thomas menyarankan, "... Guru harus memiliki pengalaman lebih kaya sebagai bahan analisis situasi sekarang .... Guru merupakan kordinator, tapi dia bukan satu-satunya sumber otoritas. 
  5. Sekolah harus mendorong kerjasama bukan persaingan. Pendidikan sebagai suatu "rekonstruksi pengalaman" mengarah ke "rekonstruksi dari sifat manusia" dalam pengaturan sosial. Progressivist tidak menyangkal bahwa persaingan memiliki nilai tertentu. Dia setuju bahwa siswa harus bersaing satu sama lain, asalkan kompetisi tersebut mendorong pertumbuhan pribadi. Namun demikian, ia menegaskan kerjasama lebih cocok daripada persaingan.  
  6. Demokrasilah satu-satunya yang memberi tempat dan menggerakkan pribadi-pribadi saling tukar menukar ide secara bebas, yang diperlukan untuk pertumbuhan sesungguhnya. Idealnya demokrasi adalah "berbagi pengalaman." Seperti Dewey katakan, "Sebuah demokrasi lebih dari sebuah bentuk pemerintah; itu merupakan bentuk kumpulan kehidupan, kumpulan dari komunikasi pengalaman.” Demokrasi, pertumbuhan, dan pendidikan dengan demikian saling terkait. Dalam rangka untuk mengajarkan demokrasi, sekolah itu sendiri harus demokratis. Harus ada diskusi bebas ide, Bersama murid-staf-perencana, dan partisipasi penuh dari semua. Namun sekolah tidak harus mengindoktrinasi siswa dalam prinsip-prinsip tatanan sosial baru.  

Sumber:
Kneller, G.F. 1971. Introduction To The Philosophy Of Education. New York: John Whiley & Sons 

Aliran Realisme Dalam Filsafat Pendidikan

Aliran Realisme adalah aliran filsafat yang memandang  realitas sebagai dualitas. Aliran realisme memandang dunia ini mempunyai hakikat realitas yang terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani. Hal ini berbeda dengan filsafat aliran idealisme yang bersifat monistis yang memandang hakikat dunia pada dunia spiritual semata. Dan juga berbeda dari aliran materialisme yang memandang hakikat kenyataan adalah kenyatan yang bersifat fisik semata.
A.    Pendahuluan
Realisme membagi realistas menjadi dua bagian yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan yang kedua adanya realita di luar manusia yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Kneller (1971) membagi Realisme menjadi dua bentuk, yaitu yaitu rational realism ( Realisme Rasional) dan Natural realism (Realisme Naturalis). Menurut aliran realisme, pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri guna mencapai yang abadi. 
B.    Implikasi Aliran realisme dalam Pendidikan
1.      Tujuan pendidikan
Menurut realisme Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan diri guna mencapai yang sesuatu yang  abadi, dan juga penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial.
Menurut Realisme klasik, tujuan pendidikan adalah agar anak  menjadi manusia bijaksana, yaitu seorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan fisik dan sosial.
Tujuan pendidikan menurut Realisme religius  adalah mendorong siswa memiliki keseimbangan intelektual yang baik, bukan semata-mata penyesuaian terhadap fisik dan sosial saja, namun mempersiapkan individu untuk dunia dan akhiat.
Menurut Christian religious realist, tujuan utama pendidikan moral adalah untuk keselamatan jiwa. Anak harus mampu belajar menjaga hati dalam dirinya dan menjauhi dosa. Tuhan akan menawarkan keselmatan bagi makhluknya, dan makhluknya harus bisa menentukan apakah akan menerima atau tidak tawaran tersebut. Hal ini akan menyebabkan kebiasan dalam membuat keputusan yang benar.
2.      Kurikulum
Kurikulum dikembangkan secara komprehensif mencakup semua pengetahuan yang sains, sosial, maupun muatan nilai-nilai. Isi kurikulum lebih efektif diorganisasikan dalam bentuk mata pelajaran karena memiliki kecenderungan berorientasi pada peserta didik (subject centeed).
3.      Kedudukan siswa
Dalam konteks realisme, peserta didik dituntut untuk dapat menguasai pengetahuan yang handal dan terpercaya. Dibutuhkan kedisiplinan sebagai metode mencapai esensi dalam belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan guna memperoleh hasil yang baik.
Dalam hal pelajaran, mampu menguasai pengetahuan yang handal, dan dapat dipercaya. Dalam hal disiplin, peraturan yang baik adalah esensial untuk belajar. Disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang baik.

4.      Peranan Guru
Guru dituntut untuk dapat menguasai pengetahuan, terampil dalam teknik mengajar, dan dengan keras menuntut prestasi peserta didik menguasai bahan ajar yang sumbernya pengetahuan realistis.
Guru merupakan orang yang mewariskan kultur budaya. Dalam hal ini, bahwa yang yang menentukan pokok persoalan (subject matter) atau pelajarn di kelas adalah guru bukan murid. Guru harus mampu menguasai pengetahuan, terampil dalam tenik mengajar, dan dengan teras menuntut prestasi dari siswa sehingga siswa terpuasakan. Kepuasan personal siswa jauh lebih penting daripada hanya sekedar menyapaikan materi.
Dasar pendidikan adalah untuk melatih siswa dalam pengetahuan pelajaran; kepuasan siswa hanya cara dalam sebuah strategi belajar yang bermanfaat.

5.      Metode
belajar tergantung dari pengalaman, baik langsung atau tidak langsung. Metode penyampaian harus logis dan psikologis. Metode conditioning merupakan metode utama bagi realisme sebagai pengikut behaviorisme.



DAFTAR PUSTAKA
Kneller, G.F. 1971. Introduction To The Philosophy Of Education. New York: John Whiley & Sons