Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

GRADUATION

31 Maret 2012.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lebaran 1434 H

sabisa-bisa kudu bisa pasti bisa

Kunjungan

Sahabat-sahabat dari Yogyakarta.

Kegiatan

Lomba Penegak Pramuka.

Rabu, 19 Juni 2013

Review Buku Doing School

Identitas Buku
Judul Buku : Doing School How We Are Creating a Generation of Stressed Out, Materialistic, and Miseducated Students
Penulis         : Danise Clark Pope
Tahun Terbit: 2001
Penerbit       : Yale University Press, London
Sekolah adalah bagian terpenting dalam proses pendidikan dewasa ini. Tetapi sistem yang dihadirkan sekolah tidak selalu memenuhi kebutuhan para siswanya. Sekolah di satu sisi dibentuk sebagai tempat untuk menumbuh kembangkan anak, tetapi di satu sisi sekolah menuntut nilai yang tinggi terhadap anak. Buku “Doing School How We Are Creating a Generation of Stressed Out, Materialistic, and Miseducated Students” ini memaparkan bagaimana kehidupan sekolah dari sudut pandang siswa yang melakukan sekolah. Buku ini berisi paparan hasil penelitian yang membahas tentang pengalaman pendidikan di sekolah dari sudut pandang remaja. Penelitian ini dilakukan atas dasar bahwa sebagian besar penelitian aspek pendidikan sekolah, seharusnya dikaitkan dengan subjek pendidikan, misalnya kehidupan di lorong dan tempat parkir, atau pengalaman di kelas, membutuhkan anak-anak muda yang tahu tentang apa yang mereka pikirkan di tempat-tempat itu.
Dalam penelitian ini,  Denise Clark Pope meminta para siswa secara khusus untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman anak-anak di sekolah. Peneliti mencoba untuk mendengar perspektif anak muda di sekolah, agar cita-cita sekolah  untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan siswa tercapai. Peneliti melakukan penelitian lebih dari delapan bulan, untuk mengenal siswa sebagai individu, untuk membantu menyampaikan pengalaman mereka dan perspektif mereka dalam rangka membantu pemahaman mereka, seperti yang dianjurkan  Dewey (1938) yaitu  untuk memiliki "pemahaman terhadap individu sebagai individu”; dalam rangka memahami gagasan tentang apa yang sebenarnya ada dalam benak para pelajar.
Penelitian ini dilakasanakan di sekolah menengah atas yang memiliki reputasi, baik dari sisi gurunya, program-program inovatifnya, dan kepemimpinan yang kuat di dalamnya, di mana sekitar 95 persen lulusan sekolah meneruskan kuliah. Peneliti bertanya kepada berbagai siswa, jenis kelamin, etnis, latar belakang sosial ekonomi, dan kepentingan akademis yang dianggap "Sukses".
Selama satu semester di sekolah, Peneliti mengikuti masing-masing siswa yang dijadikan subjek penelitian, mengamati perilaku mereka di kelas, menyertai mereka untuk semua acara yang berkaitan dengan sekolah, berbicara dengan mereka panjang lebar selama hari sekolah, dan mewawancarai mereka setiap minggu untuk membantu mereka merefleksikan pengalaman mereka. Dalam rangka mencapai rasa kepercayaan dan hubungan baik dengan siswa, peneliti sekaligus penulis buku ini membatasi pengumpulan data untuk fokus pada remaja,  dengan tidak mewawancarai guru, orang tua, atau administrator. Oleh karena itu, pengalaman yang  ditangkap di sini berakar pada kata-kata dan tindakan dari siswa itu sendiri. 
Buku ini terdiri dari tujuh Bab, yang berisi tentang sekolah Faircrest dan  kisah lima pelajar di dalamnya. Bab tersebut meliputi:
1.      Welcome to Faircrest High School
2.      Kevin Romoni: A Kind of Guy
3.      Eve Lin: Life as a High School Machine
4.      Teresa Gomez: "I Want a Future"
5.      Michelle Spence: Keeping Curiosity Alive?
6.      Roberto Morales: When Values Stand in the Way
7.       The Predicament of "Doing School"
RINGKASAN ISI BUKU

Bab I.  Welcome to Faircrest High School
Pada bab I penulis buku memaparkan tentang potret individu yang menggambarkan kompleksitas kehidupan siswa serta dilema yang dihadapi olehnya dalam sebuah sistem di sekolah Menengah Atas Faircrest. Lima siswa yang mewakili dan menjadi subjek yaitu Kevin, Eve, Tersa, Michelle, dan Roberto menjelaskan bahwa mereka sedang sibuk pada apa yang mereka sebut " doing school (melakukan sekolah)." Mereka menyadari bahwa mereka terjebak dalam sistem di mana prestasi lebih tergantung pada "melakukan (doing)". Para siswa fokus pada pengelolaan beban kerja dan mengasah strategi yang akan membantu mereka untuk mencapai nilai tinggi (nilai secara kuantitatif). Tetapi, untuk mendapat nilai yang tinggi tersebut, para siswa sering dibenturkan dengan nilai yang biasa dianut di sekolah, seperti kejujuran, ketekunan, dan kerja sama tim (nilai secara kualitatif).

Bab II:  Kevin Romoni: A Kind of Guy
Kevin Romoni adalah orang yang menyenangkan. Ia terkenal di sekolah karena kepribadiannya ramah, nilainya yang tinggi, dan penampilannya yang mengesankan di tim sepak bola sekolah. Selama dua tahun terakhir dia telah memimpin murid-dalam pelayanan masyarakat. Ayahnya, seorang seorang insinyur aeronautika dari Stanford, Berkeley, dan University of California di San Diego, dan ibunya, seorang asisten eksekutif untuk CEO salah satu perusahaan konsultan terbesar di daerahnya. Kevin memiliki kakak yang putus beberapa kali dari perguruan tinggi.
Kevin memiliki keyakinan akan pentingnya mendapatkan nilai bagus untuk orientasi masa depannya, untuk kebanggaan orang tuanya, dan mendapat karir yang menguntungkan. Karena itu ia sangat terobesi mendapat nilai tinggi walaupun dia harus berpura-pura untuk mendapatkan nilai tersebut. Akhirnya, menjelang akhir tahun, tekanan terjadi kepada Kevin. Dia menjelaskan apa yang disebutnya "gangguan" yang terjadi ketika dia tidak bisa memenuhi harapan semua orang.

Bab III :  Eve Lin: Life as a High School Machine
Eve Lin adalah siswa yang memiliki nilai rata-rata 3,97. Dia termasuk peringkat 10 besar di kelasnya dan terdaftar di setiap penghargaan dan penempatan kursus yang tersedia baginya. Kegiatan sekolah yang ia ikuti sejak tahun pertamanya, diantaranya hoki dan band symphonic di OSIS;  klub Spanyol; dan Negarawan Junior Amerika (Junior Statesmen of America). Dia menyelesaikan empat tahun sekolah di Taiwan, yang sangat ketat, kompetitif, dan benar-benar terfokus pada akademisi”. Eve memilih untuk menghabiskan seluruh akhir pekan nya belajar untuk ujian. Dia menghabiskan waktu dengan baik untuk menapat perbedaan antara -A dan A, atau mungkin bahkan A+.  Eva memilih untuk fokus hanya pada komitmen sekolahnya dengan mengorbankan aktifitas kehidupan sosialnya, dan juga sering dengan mengorbankan kesehatannya. Eve percaya bahwa menahan stres ini akan membuat dia menjadi kuat, namun secara fisik dan mental, tubuhnya tidak bisa mentolerir pekerjaannya. Eve terpengaruhi teori Darwin yang memaparkan bahwa yang kuat yang akan bertahan. Meurutnya, orang-orang yang berhasil  bertahan "dengan mengambil banyak stres " adalah mereka yang paling cocok dan "tetap bisa bertahan, dan orang yang tidak bisa mengambil semua tekanan  adalah mereka yang  kalah. Eve mengakui bahwa teori semacam itu tampaknya "keras" dan "kejam". Dia percaya bahwa seseorang harus memiliki pola pikir seperti ini untuk bisa masuk ke universitas terbaik
Eve sangat kecewa dengan perilaku menipu teman-temannya,  ketika mereka mendapatkan A tanpa banyak belajar, sementara Eve bekerja lebih  untuk sebuah  kelas yang sama. Tapi dia tidak melaporkan perilaku ini kepada pihak berwenang. Dia tidak ingin mendapatkan teman-temannya dalam kesulitan atau membuang peluang mereka untuk kuliah di tempat yang baik, meskipun dia percaya beberapa hal yang mereka melakukan adalah"benar-benar tidak bermoral.
Eve membenci hidupnya sebagai robot sekolah dan cara-cara yang ia kerjakan untuk bisa maju.  Dia ingin memilih rute menuju kesuksesan secara bebas, tapi dia mengakui ada banyak tekanan dari luar yang mempengaruhinya. Dia berharap bahwa pada akhirnya  penerimaan perguruan tinggi membuktikan bahwa usahanya telah berhasil, dengan kesehatan, dan kehidupan sosial yang baik, dalam rangka mempertahankan peringkatnya sebagai salah satu siswa terbaik di kelas.

Bab IV: Teresa Gomez: "I Want a Future"
Teresa adalah seorang mahasiswa yang luar biasa dalam bisnis rumah, mahir dalam keterampilan komputasi bisnis. Dia mengesankan guru atas keinginannya untuk "menantang" dirinya dan komitmennya di Himpunan Mahasiswa Meksiko. Teresa merupakan siswa Meksiko yang berskolah di Amerika. Ia tergolong masyarakat menengah, sehingga selain sekolah, Teresa juga bekerja untuk menghidupi keluarga. Teresa menghabiskan hampir setengah dari semester di luar kelas. Masalah kesehatannya menyebabkan ia banyak absen. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia sakit, tapi dia menjelaskan kepada dokter bahwa dia tidak tidur berjam-jam atau makan dengan baik karena dia memiliki jadwal dan pekerjaan yang menuntut persaingan; serta kewajiban keluarga. Dia harus mengantar rutin ibunya untuk perawatan medis karena ibunya terkendala dengan bahasa Inggris. Karena itu ia sering melewatkan sekolahnya.
Pada waktu studi, Teresa bekerja di sebuah restoran Meksiko setempat. Dia bekerja sebagai kasir sekitar 35 jam seminggu (Rabu, Kamis, dan Jumat pukul  04-10 pm,) yang hanya menyisakan beberapa jam pada hari Senin dan Selasa untuk melakukan sebagian besar pekerjaan rumahnya. Ibunya ingin dia berhenti, tapi Teresa menolak. Menurutnya banyak uang adalah kesuksesan, sehingga dia berpendapat bahwa sekolah merupakan alat untuknya yang memungkinkan ia bisa sukses dengan "banyak uang".
Salah satu sumber utama frustrasi Teresa adalah kesulitan nya dengan bahasa Inggris, dan kesulitannya untuk berinteraksi dengan para pejabat sekolah. Walaupun demikian, Teresa selalu berusaha  melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh gurunya. Dia percaya bahwa sekolah harus menjadi tempat di mana seseorang harus mendapatkan nilai bagus dan layak, tanpa membeda-bedakan status sosialnya. Dia ingin ditantang dan terlibat di kelas, dia ingin mendapat nilai dan kehormatan  yang layak, dan dia ingin bangga dengan cara dia berprilaku terhadap dirinya, dengan guru dan teman sebayanya. Keinginan Teresa untuk "menantang" dan "mendorong" kerja kerasnya dapat membedakan dia dari teman-temannya, Teresa pun mengorbankan keyakinan dan bertindak dengan cara-cara yang tidak membuatnya bangga. 

Bab V: Michelle Spence: Keeping Curiosity Alive?
Michelle, seorang mahasiswa drama dan musik yang luar biasa, untuk penampilannya aktingnya, dia mendapat nilai teratas. Dia terdaptar dalam sebuah program khusus yang disebut Proyek Komunitas  (The Community Project/ TCP).  TCP mewakili bahwa sekolah menengan atas harus menawarkan Kursus Alternatif. TCP, menurut Richard, bukan hanya kursus di Faircrest, tapi merupakan sekolah alternatif yang dirancang untuk menjadi:  berbeda signifikan dari sekolah konvensional,  dalam hal kebebasan, kepekaan terhadap emosi, metode penyelidikan, dan struktur administrasi. Salah satu aspek penting dari TCP adalah bahwa di sana di ajarkan "sistem psikologis" bagi ara siswa. Untuk berhasil berpartisipasi dalam TCP, siswa menerima kredit sekolah dalam psikologi, sejarah, bahasa Inggris, pendidikan jasmani, dan studi lingkungan. Ilmu lain, bahasa, dan kelas matematika dapat diambil setelah periode keempat, di luar TCP, di sekolah konvensional. 
Michelle memilki ketakutan untuk membuat keputusan yang salah. Ketakutan tersebut berasal dari pengetahuan bahwa dia sering menghentikan kegiatan ketika ia menjadi bosan dan bahwa ia biasanya menyesali tindakannya sesudahnya.  ketakutan dan intimidasi yang ia rasakan juga dihasilkan dari gagasan bahwa keberhasilan di sekolah tinggi berkait erat dengan kesuksesan dalam kehidupan. Seperti Kevin dan Eve, Michelle merasakan tekanan luar biasa untuk mendapatkan nilai A. 
Orang tua Michelle juga memberikan dorongan dan cinta, yang memungkinkan dirinya untuk membuat keputusan "dirinya" dan meyakinkan bahwa mereka akan mendukung keputusan apapun yang dia membuat. Mereka tahu kapan harus turun tangan dan mengambil tindakan, terampil menavigasi sistem sekolah, mengatur pertemuan dengan kepala sekolah untuk memastikan bahwa putri mereka akan diperlakukan secara adil, dan menindaklanjuti panggilan telepon penghargaan yang diberikan untuk Michelle. Michelle berterima kasih atas bantuan ini dan terutama memuji dukungan ayahnya
Michelle melihat hubungan antara apa yang ia pelajari di sekolah tinggi dan karir masa depannya, dan ia khawatir bahwa ia tidak akan "berhasil" dalam hidup jika dia tidak berhasil secara akademis. Dia juga menyadari ketidakjelasan  sistem yang menempatkan begitu banyak penekanan pada nilai dan menunjukkan begitu sedikit perhatian untuk kebutuhan akademik individu.
Menjelang akhir tahun senior nya Michelle menerima "penghargaan tertinggi" di kompetisi drama seluruh negara bagian dan memenangkan beasiswa drama sebuah perguruan tinggi kecil di Southern California. Meskipun ia masih tidak yakin bahwa dia ingin kuliah, dia tidak ingin kehilangan uang untuk kuliah. Pada bulan Juni dia memilih untuk menerima beasiswa dan pertunjukan teater. 

Bab VI: Roberto Morales: When Values Stand in the Way
Pada kelas empat sekolah dasar, Roberto, kesulitan dalam melafalkan bahasa Inggris, kemudian ia sering dibantu bibinya. Keluarga Roberto sangat berperan penting dalam perkembangan Roberto. Keluarga Roberto dan teman dekat memanggilnya Roberto, Berto atau Bertito. Dia digambarkan sebagai seorang "jenius". Dia adalah salah satu dari sedikit kelompok yang mengambil kursus persiapan kuliah dan ia belajr dengan keras, dan dia adalah satu-satunya yang secara konsisten mendapat nilai A dan B pada rapornya. Diligkungannya banyak anak-anak yang kecanduan obat, tetapi Roberto lebih memilih untuk bergaul dengan teman-teman nya yang pintar Di sela-sekolahnya pun Roberto memilki pekerjaan.
Di tempat kerja,  Berto sangat disukai dan dicari. Dia bekerja sebagai asisten manajer di sebuah restoran cepat saji lokal sekitar 20 sampai 30 jam per minggu. Dia seharusnya bekerja tujuh jam sehari pada akhir pekan dan Jumat sore, tapi belakangan ini dia memilki banyak tugas. Dia mengakui bahwa beerja di restoran ini mengganggu pekerjaan sekolahnya. Namun, dia berharap dia bisa menemukan keseimbangan yang lebih baik antara pekerjaan dan sekolah. Dia butuh uang untuk membayar untuk perlengkapan sekolah, pakaian, makan siang, transportasi, "hampir semuanya," karena orangtuanya tidak cukup uang.
Berto, merasa senang dengan dirinya dan prestasinya. Dia dipuji sebagai seorang yang jenius oleh keluarga dan teman-temannya; sangat disukai dan dipercaya oleh banyak guru; dan dihormati oleh rekan-rekan kerjanya. Tapi dia merasa tergangggu oleh kecemasan tentang masa depannya. Apakah dia bisa masuk ke perguruan tinggi pilihannya? Apakah dia bisa memenuhi impiannya menjadi seorang insinyur listrik? Apakah dia bisa "menjaga nilainya tetap tinggi?
Selama kelasnya, Berto hanya mencoba menjadi rajin. Berto adalah salah satu dari sedikit orang yang membuka buku-bukunya segera ketika pulag sekolah dan harus segera bekerja denganya. Berto jarang menggunakan waktu kelasnya untuk melakukan pekerjaan dalam mata pelajaran lain. Sebaliknya, dia suka untuk menyelesaikan tugas sebelumnya dan menawarkan bantuan kepada orang lain. Dia direkomendasikan untuk ketekunan dan dedikasi untuk tujuan ini, serta catatan sukses, di mana dalam sebuah seminar ia dianugerahi sebagai Commendation Koordinator for Excellence
Roberto selalu melakukan pekerjaan tepat waktu, menunjukkan keinginan untuk belajar, memperhatikan dan berpartisipasi dalam kelas. Namun kualitas ini, bersama dengan integritas dan kemurahan hatinya, tidak memungkinkan dia untuk mencapai nilai rata-rata yang diinginkan. Seperti siswa lainnya dalam penelitian ini yang merasa perlu untuk kompromi atas keyakinan atau cita-cita mereka dalam proses “melakukan sekolah”, Berto juga menyerah dan berhenti membantu orang lain ketika ia dihadapkan denngan tekanan besar. Namun, ia juga menunjukkan semacam kenaifan tentang cara kerja sistem sekolah. Tidak seperti yang lain yang menemukan cara untuk memanipulasi proses sekolah, ia hanya berjanji kepada dirinya sendiri untuk bekerja "lebih keras" tahun depan dan berharap bahwa "roh" dan kepercayaan dirinya akan "melihat dia." Dia tidak menyadari bahwa untuk mencapai keberhasilan yang dicita-citakan, ia akan harus bekerja "lebih cerdas" di samping lebih keras.

Bab 7: The Predicament of "Doing School"
Bab ini mengeksplorasi kondisi dan konsekuensi meraih kesuksesan di  sekolah dan dilema yang dihadapi para siswa dalam sebuah sistem sekolah. Para siswa di sekolah Faircrest belajar untuk mengelola beban kerja melalui berbagai teknik, yakni : 
1.      Establishing allies and treaties (Membentuk sekutu dan perjanjian). Sekolah telah digambarkan sebagai tempat yang menyebabkan siswa merasa anonim dan tak berdaya. Namun, siswa dalam penelitian ini, berusaha untuk bersekutu, mencari keuntungan untuk menemukan orang-orang yang mengenal mereka secara pribadi dan yang bisa campur tangan atas mereka  sebagai pendukung, yang bersedia untuk mendengarkan keluhan mereka, menawarkan kepercayaan mereka, dan memberikan kebaikan dalam berbagai cara .
2.      Multi-tasking. Multi-tasking, istilah yang dipinjam dari dunia bisnis yang berarti bekerja secara simultan pada berbagai tugas. Ahli efisiensi menyarankan eksekutif sibuk untuk memaksimalkan waktu mereka dengan melakukan berbagai tugas rutin. Misalnya, seperti yang dipraktekan Eve dan Kevin, keduanya menemukan cara untuk mengalihkan perhatian guru, seperti mengangkat tangan mereka setiap sepuluh menit untuk memberikan ilusi partisipasi dalam diskusi kelas, atau yang
3.      Cheating (Kecurangan). Kecurangan meluas yang saya amati merupakan strategi manajemen kelas juga. Bentuk-bentuk yang lebih tradisional dari kecurangan-mencontek, menjiplak, untuk Kevin dan Teresa, kecurangan menjadi penopang kebiasaan, memungkinkan mereka untuk " mendapatkan nilai.
4.      "Squeaky Wheels.", misalnya Kevin teratur menyuarakan perbedaan pendapat atas kesalahan yang ditandai pada tes dan kuis, sering mengakibatkan perubahan ke kelas yang lebih tinggi. Teresa, Eve, dan Michelle mendekati kepala sekolah pada kesempatan terpisah untuk mengeluh tentang gaya mengajar atau keputusan administratif. Untuk Berto, yang menolak untuk kontes keputusan guru gambarnya dan memilih bukan untuk kelas yang lebih rendah, taktik tersebut mungkin tampak drastis dan tidak sopan, tetapi untuk yang lain, strategi ini adalah bagian penting. 
Strategi manajemen ini, meskipun efektif dalam kebanyakan kasus untuk mengarah ke nilai tinggi dan status di sekolah, juga menyebabkan kecemasan dan frustrasi. Para siswa tidak suka bersaing dengan rekan-rekan mereka, bertindak menipu terhadap teman-teman dan orang dewasa, atau mengorbankan nilai-nilai mereka. 
Kelas Perangkap 
Di satu sisi, para siswa percaya bahwa mereka perlu untuk mencapai nilai tinggi, nilai ujian yang tinggi, dan berbagai penghargaan dalam rangka untuk mengamankan masa depan keberhasilan biasanya dalam bentuk gelar yang lebih tinggi dan pekerjaan bergaji tinggi. 
Di sisi lain, para mahasiswa juga ingin merasa baik tentang diri mereka dan prestasi mereka. Mereka percaya bahwa mereka layak mendapat nilai dan status tinggi. Mereka mencoba untuk membenarkan perilaku mereka, meyakinkan diri bahwa mereka melakukan "hal yang benar". Tapi mereka tidak bisa lari dari kenyataan bahwa mereka tidak senang dengan keputusan sekolah mereka dan tidak puas dengan pilihan terbatas yang tersedia bagi mereka. Sebagian besar mengatakan bahwa mereka ingin "berkonsentrasi pada belajar,".. tetapi mereka khawatir tentang nilai. Mereka tidak suka "memanipulasi sistem" atau "bermain game," dan mereka tidak menyukai pengorbanan yang mereka lakuakn untuk mendapat nilai tinggi.Mereka mendambakan untuk menemukan keseimbangan antara bekerja dan bermain. 
Para siswa ini memulai Sekolah mereka lebih awal, satu atau dua jam penuh sebelum kebanyakan orang dewasa memulai pekerjaan mereka, dan sering berakhir larut malam, setelah latihan sepak bola, latihan tari, rapat OSIS, tanggung jawab pekerjaan dibayar, dan waktu pekerjaan. Beberapa siswa, seperti Teresa dan Michelle, sering menderita pilek dan penyakit, akibat kurang tidur, dan kebiasaan makan yang buruk. Lainnya, seperti Eve dan Berto, setiap menitnya mengalami stres, yang menyebabkan kecemasan, masalah perut, bahkan bisul. Siswa-siswa ini berharap mereka bisa mendapatkan lebih jam tidur dan meningkatkan kesehatan mereka, tetapi jadwal mereka terlalu sibuk. Demikian pula, mereka berharap mereka bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman-teman, mengejar kegiatan lain, atau mengambil cuti beberapa hari, tetapi kebanyakan percaya bahwa mereka tidak bisa melakukan hal-hal tersebut karena mereka ingin mempertahankan nilai tinggi. Mereka mengakui bahwa mereka perlu membuat pilihan, dan bagi mereka, kesuksesan masa depan lebih penting daripada hadirnya kebahagiaan.
Para siswa juga mengeluhkan sistem yang ada. Mereka mempelajari materi, membaca buku, dan menyelesaikan tugas,  karena mereka harus, bukan karena mereka ingin atau karena subjek benar-benar tertarik. Siswa sering menghafalkan fakta dan angka tanpa berhenti untuk bertanya apa yang mereka maksudkan, atau mengapa mereka diminta untuk mempelajari fakta-fakta tersebut. Mereka memilih kursus berdasarkan kebutuhan perguruan tinggi dan transkrip nilai dan enggan menerima kurikulum di luar itu.
Sistem sekolah dibangun hanya untuk "berhasil." Dan banyak dari kita telah menjadi begitu terbiasa dengan model yang kita tidak dapat melihat masalah yang melekat di dalamnya. Para siswa yang dianggap berhasil dalam budaya ini mewakili apa yang penulis  sebut "classroom chameleons (kelas bunglon)". Seperti bunglon yang menggunakan perubahan warna untuk menyamarkan diri agar tetap hidup, kemampuan beradaptasi ini mengubah "warna" siswa hanya untuk menyenangkan guru. 
Eve dan Kevin, keduanya berasal dari latar belakang sosial ekonomi lebih tinggi dari tiga siswa lainnya. Mereka memiliki alat bantu belajar, ruangan yang  tenang untuk melakukan pekerjaan rumah, komputer, printer, dan modem sendiri, serta cukup uang untuk membayar buku, kelas, dan biaya kursus  yang terkait dengan ujian yang akan membantu mereka masuk ke perguruan tinggi yang baik. Sedangkan Berto, Teresa, dan Michelle tidak memiliki akses tersebut sehingga membatasi pilihan mereka. 

Sekolah Paksaan
Tyack dan Kuba (1995) mencatat konsistensi terus-menerus dalam ruang kelas sekolah dan menjelaskan ini "tata bahasa sekolah" sebagai akibat kurangnya upaya reformasi yang efektif untuk membawa perubahan pendidikan dasar.  Ukuran kelas yang besar, guru serta konselor yang berlebihan menyebabkan perjanjian, kompromi, dan anonimitas siswa.  Departemen  organisasi menyebabkan kurikulum terfragmentasi, studi interdisipliner yang terbatas, bagi guru dan siswa. Orang-orang di Faircrest dan tempat-tempat seperti itu tampaknya telah menjadi terobsesi dengan "menjadi yang terbaik".  Dorongan untuk berhasil telah menyebabkan beberapa orang tua untuk mempekerjakan agen-agen mahal untuk mendampingi anak-anak mereka. 
Pada akhirnya, ketika mahasiswa dan orang lain dalam penelitian ini merefleksikan perilaku mereka dalam dan di sekitar sekolah, mereka merasa robek. Mereka ingin merasa bangga prestasi mereka dan ingin meyakinkan diri bahwa mereka telah mendapatkan penghargaan mereka secara adil dan jujur. Rasionalisasi tersebut membantu untuk mempromosikan ilusi meritokrasi Amerika, bahwa kerja keras dan perilaku yang baik akan memungkinkan mereka untuk berhasil. 
Setelah mendengar tentang beberapa perangkap bagi siswa dalam penelitian ini, seharusnya pendidikan memenuhi kebutuhn dari para siswa tersebut. Ketika Michelle di atas panggung, Teresa berlatih gerakan tarian nya, atau Kevin mengumpulkan perlengkapan sekolah untuk proyek pelayanan masyarakat, di sana para siswa tidak berpikir tentang nilai. Mereka tidak sibuk menonton jam atau bergegas untuk menyelesaikan tugas. Mereka juga tidak selalu disibukkan dengan berbagai strategi manajemen atau sistem bermain.  Sebaliknya, mereka sangat fokus pada pekerjaan mereka, penuh semangat berkomitmen, dan bersedia bekerja keras agar hasil nya memuaskan.  motivasi intrinsik inilah yang bisa menyelesaikan tugas dengan baik, tidak terpaku pada transkrip perguruan tinggi.
Hanya dengan bekerja sama dengan siswa, dengan mendengarkan kebutuhan mereka, keluhan mereka, dan keinginan mereka, keberhasilan sekolah bisa dicapai.

Komentar dan Ulasan
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi para siswa untuk menumbuhkembangkan setiap kemampuan yang dimilikinya. Tetapi, sekolah juga sering menghadapi aturan sistem pemangku kebijakan, seperti adanya pencapaian nilai tertentu bagi anak, sehingga guru di sekolah berusaha untuk “memaksakan” siswa mendapat nilai yang di syaratkan tersebut tercapai. Siswa tidak bisa menolak akan sistem yang ada tersebut. Karena itu, sekolah-sekolah, masih belum bisa menghasilkan lulusan yang berkualitas secara penuh, karena  masih ada campur tangan pemangku kebijakan yang belum tepat.
Memahami sudut pandang siswa, seperti yang telah dilakukan dalam penelitian ini, bisa membantu para pendidik untuk mengetahui proses belajar yang dilakukan, sehingga pendidik bisa mengevaluasi proses yang dilakukan tersebut. Kemudian, reorientasi pendidikan juga harus dirubah, di mana yang semula sekolah hanya berusaha untuk mengejar nilai yang tinggi, seharusnya diorientasikan untuk mematangkan kemampuan diri, dan juga karakter diri yang baik.

Buku ini sangat baik menggambarkan bagaimana kehidupan lima anak dalam menjalankan sekolahnya. Tetapi sayangnya, penulis buku ini sangat sedikit memberikan jawaban bagi para orang tua tentang strategi apa yang perlu dilakukan orang tua dalam membesarkan anak-anak mereka menuju kesuksesannya.

Sabtu, 15 Juni 2013

7 Prinsip Desain Multimedia Efek Media bagi Siswa

Dalam mengembangkan lingkungan belajar digital, multimedia telah menawarkan kesempatan belajar yang lebih kaya dalam rangka memenuhi kebutuhan siswa. Namun, karena pikiran manusia terbatas dalam memproses sejumlah informasi dalam satu waktu (Miller, 1956), multimedia tentu memberikan tantangan yang unik, seperti bagaimana efektifitas dan efisien multimedia terintegrasi dengan materi yang disajikan kepada siswa oleh guru. Banyak peneliti telah berfokus pada multimedia salah satunya  Mayer (2001) dalam  Cognitive Theory Multimedia Learning (CTML) dan load Cognitif theory (teori beban kognitif) dari Sweller (1999) untuk mengatasi keterbatasan memori manusia dan mempromosikan proses kognitif yang lebih tinggi agar pembelajaran lebih bermakna (Tabbers, Martens, & van Merriënboer, 2004).

CTML Mayer didasarkan pada tiga asumsi proses kognitif pembelajaran (Mayer, 2001) yaitu: (a) Asumsi dual coding  untuk visual dan auditory (Paivio, 1986; Sadoski & Paivio, 2001), (b) asumsi kapasitas terbatas (Baddely, 1986; Chandler & Sweller, 1991), dan (c) Asumsi pengolahan aktif untuk melaksanakan satu set proses koordinasi kognitif (Mayer, 2001). Mayer menggambarkan bagaimana multimedia membangun representasi mental dalam arsitektur kognitif pada pelajar (Tabbers, Martens, & van Merriënboer, 2004). Menurutnya  pembelajaran yang bermakna terjadi ketika seorang pelajar memilih informasi yang relevan, mengatur informasinya itu ke dalam representasi yang koheren, dan informasi itu terintegrasi dengan pengetahuan sebelumnya.

Teori beban kognitif memilki ssumsi dasar bahwa arsitektur kognitif terdiri dari beberapa memori, termasuk memori kerja yang terbatas dan memori jangka panjang yang luas. Menurut Schnotz dan Kurschner (2007), keterbatasan memori kerja hilang ketika berhadapan dengan informasi dari memori jangka panjang, di mana informasi ini disusun dalam unit-unit yang lebih tinggi yang disebut skema kognitif. Namun, Sweller memperingatkan keterbatasan memori kerja manusia dalam beban memori berlebihan dapat disebabkan oleh penyajian elemen yang terlalu banyak (Mayer & Moreno, 2002). Dalam banyak jenis instruksi multimedia, diperlukan integrasi informasi dari saluran yang berbeda, sehinggga menyebabkan beban kognitif tidak semakin tinggi  (Tabbers, 2002).


Mayer dan rekannya menunjukkan tujuh efek desain multimedia dasar yang telah diuji secara empiris berdasaran prinsip-prinsip desain multimedia dasar (disebut sebagai multimedia efek desain) yangberguna dalam merancang presentasi multimedia (Mayer, 2001, hal 184). Tujuh prisnip ini meliputi:
  1. Siswa belajar lebih baik dari kata-kata dan gambar daripada kata-kata saja (multimedia principle
  2. Siswa belajar lebih baik ketika kesesuaian kata-kata yang disampaikan dengan gambar yang disajikan berada lebih dekat daripada jauh dari layar (Spatial contiguity principle), 
  3. Siswa belajar lebih baik ketika kata-kata yang sesuai dan gambar yang disajikan disajikan bersamaan daripada berturut-turut (Temporal contiguity Principle), 
  4. Siswa belajar lebih baik ketika kata-kata, gambar, dan suara lebih dikeluarkan (Excluded) daripada dimasukkan (included) (Coherence Principle), 
  5. Siswa belajar lebih baik dari animasi dan narasi daripada dari animasi dan teks pada layar "(Modality Principle), 
  6. Siswa belajar lebih baik dari animasi dan narasi daripada dari animasi, narasi, dan teks pada layar "(Redundancy Principle), dan 
  7. Efek Desain lebih berpengaruh pada peserta didik yang berpengetahuan rendah (low-knolwledge) daripada peserta didik yang berpengtahuan lebih tinggi (high knowledge) dan untuk pelajar yang memilki spasial yang tinggi dari pada spasial yang rendah (Individual difference Principle).
Sumber:
Mayer, R. E. (2001). Multimedia learning. Cambridge, UK: Cambridge University Press. 
Mayer, R., & Moreno, R. (1998). A split-attention effect in multimedia learning: Evidence for dual processing systems in working memory. Journal of Educational Psychology, 90, 312-320
Mayer, R., & Moreno, R. (2002). Aids to computer-based multimedia learning. Learning and Instruction, 12, 107-119. 
Miller, G. A. (1956). The magical number seven, plus or minus two: Some limits on our capacity for processing information. The Psychological Review, 63, 81–97.
Miller, G. A. (1956). The magical number seven, plus or minus two: Some limits on our capacity for processing information. The Psychological Review, 63, 81–97.
Sweller, J. (1999). Instructional design in technical area. Camberwell, Australia: ACER Press.
Tabbers, H. K., Martens, R. L., & van Merriënboer, J. J. G. (2004). Multimedia instructions and cognitive load theory: Effects of modality and cueing. British Journal of Educational Psychology, 74(1), 71-81.  

Jumat, 14 Juni 2013

Fungsi Bermain

Perubahan besar bangsa ini harus diawali dari pendidikan. Pendidikan bangsa ini sudahlah bagus, tapi prosesnya kurang tepat. Anak-anak selalu diminta orang tuanya untuk terus belajar, padahal menurut  prosesnya, sebelum anak mencapai usia belajar, anak harus terpenuhi usia  bermainnya terlebih dahulu. Jika orang tua merampas hak anak untuk beramin lebih cepat, maka  kelak para orang tua akan menemukan anaknya dewasa, tetapi kekanak-kanakan. Karena itu ajaklah anak-anak itu bermain sambil belajar, bukan belajar sambil bermain, karena belajar sambil bermain pasti itu tidak akan benar, tetapi kalo bermain sambil belajar itu pasti ada bonusnya. Pertanyaan nya kemudian bagaimana sebenarnya  manfaat bermain bagi anak?

Rodney P. Carlisle (2009) dalam Encyclopedia of Play in Today's Society: Academic Learning and Play     menjelaskan fungsi atau manfaat bermain bagi anak-anak adalah sebagai berikut:
  1. Bermain mampu menghilagkan stress, dan mendukung kreatifitas anak, 
  2. Bermain membantu KEAKASARAAN, mengenali dan mengorganisasikan simbol-simbol, sehingga anak akan lebih mudah untuk menulis dan bertutur. Ketika anak-anak memahami bahwa balok dapat melambangkan bangunan, krayon dapat digunakan di atas kertas untuk menggambar bunga, dan boneka hewan dapat melambangkan kenyamanan dan dukungan, mereka memahami simbol dalam cara yang sama mereka akan belajar untuk memahami kata-kata sebagai simbol yang mewakili benda-benda nyata.
  3. Bermain membantu anak belajar pelajaran, seperti matematika. Dengan bermaian anak akan lebih tertarik dan berpartisipasi dalam kegiatan belajar matematika.
  4. Bermain meningkatkan self regulasi anak. Self regulasi berperan sebagai pengendali  dalam mengendalikan emosi dan perilaku sehingga bagi anak-anak, self regulasi akan membantu untuk membuat keputusan yang baik. Penelitian menujukan bahwa siswa degan tingkat regulasi rendah lebih rentan untuk putus sekolah, dan siswa denga self regulasi tinggi mampu meningkatkan kinerja di sekolah. Karena bermain mempromosikan self-regulation, bermain  berguna dalam membantu anak mengembangkan kesuksesan, baik di sekolah, maupun di luar sekolah
  5. Manfaat secara sosial dari bermain adalah bertmbahnya keterampilan sosial. Ketika anak-anak bermain dengan anak lain, mereka belajar untuk bernegosiasi, berhubungan dengan orang lain; membantu anak untuk belajar metode yang tepat untuk menangani konflik; mengekspresikan frustrasi dan agresi; serta mengembangkan keterampilan Komunikasi dan berbahasa
Bermain dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum akademik melalui kegiatan bermain, seperti penggunaan cerita (mengatakan, membaca, dan menulis), seni (menggambar, melukis, dan patung), dan drama (memakai drama, termasuk mengatur desain). Bisa juga diintegrasikan dengan  Matematika dan ilmu pengetahuan, Musik -misalnya, memilih lagu untuk belajar dari pilihan yang diberikan oleh guru- Bahkan dengan mengintegrasikan bermain dalam hal kebugaran fisik dimana  anak-anak disediakan  pilihan aktivitas fisik yang melibatkan interaksi sosial dengan teman dan kegiatan kreatif lainnya.

Secara keseluruhan, ketika lingkungan belajar dibangun dalam konteks yang memungkinkan belajar menjadi menyenangkan dan memberikan anak-anak dengan kesempatan untuk merasa mengendalikan proses pembelajaran, maka ada kemungkinan produktifitas anak di kelas semakin meningkat. Semangat BELAJAR :D



Senin, 03 Juni 2013

Authentic of Heart

Hari ini saya memutar sebuah tayangan Video yang sempat saya download di situs www.salingsapa.com. Video itu memutar acara  "Leaders with Character" bersama Ari Ginanjar Agustian, seorang penggagas Emotional Spiritual Quotient (ESQ), yang ditayangkan di Metro Tv. Bintang tamu yang dihadirkan adalah Raden Riski Muliawan Hayang Denada Kusuma, atau yang akrab dipanggil Dik doang. Berikut merupakan pemaran dari isi video ini.

Hidup adalah proses, dan proses adalah perubahan. Perubahan itulah yang menandakan kita hidup. Awalnya kita tidak tahu, bodoh, lalu kita menemukan kesadaran dan kita mencari kebenaran. Kebenaran itu ternyata ada di agama. Lalu saat kita bergama, Kita jangan berhenti denga hanya beragama, kita harus mencari keselamatan, dan terus mengasahnya hingga kita mendapat hidayah. Hidayah itu adalah petunjuk umum, seperti sholat wajib. Kita jangan berhenti di sana, asahlah terus sehingga kita mendapatkan  hidayah-hidayah lain, seperti  melaksanakan sholat Tahajud, Duha dan lainnya. Kitapun jangan berhenti sampai di situ, karena setelah kita mengerjakan itu, lama-lama kita akan mendapatkan Taufik. Taufik adalah kemampuan yang diberikan  oleh Allah untuk menjalani hidayah. Tidak semua orang mendapat kemampuan itu, karena  banyak orang yang berhenti berhenti hanya di agama, mencari keselamatan saja.

Kandang Jurang doang
Kemudian, Dik doang menuturkan bagaimana ia merasa hidayah itu datang kepadanya sebagai berikut: 
"Ketika seorang anak ku lahir, kupandangi wajahnya.., ini adalah kejadian besar di mana aku bisa melihat anakku lengkap, dan di situlah aku bisa memilih bahwa inilah jalan yang aku tempuh, sehingga aku memutuskan untuk membuat “kandang jurang doang”. 

Pendidikan Versi “Doang”
Perubahan besar bangsa ini harus diawali dari pendidikan. Pendidikan di kita ini sudah bagus, tapi prosesnya kurang tepat. Anak selalu disuruh belajar, padahal prosesnya bermain dulu baru belajar, makannya “kandang jurang doang” itu tempat bermain. “jangan kau cabut masa bermain anak-anakmu dengan cepat karena kelak kau akan menemukan anakmu yang dewasa, tetapi kekanak-kanakan”. Disitulah kesalahan diasah menjadi kebenaran. “Jangan belajar sambil bermain pasti itu tidak benar, tetapi kalau bermain sambil belajar itu pasti ada bonusnya”. Papar Dik doang.

Ari Ginanjar kemudian menambahkan "Inilah yang sering dilupakan dunia pendidikan kita, bahwa sesungguhnya Allah berbicara dengan manusia bukan melalui fikiran kita, tetapi Allah berbicara dengan manusia melalui hati yang ada di dalam dada. Akan tetapi bagaimana untuk menemukan hati supaya ia mampu mengeluarkan bunga-bunganya, dari mulutnya, dari matanya, dari perbuatannya?

Bunga-bunga itu ciri-ciri surga, selalu indah mewangi, ketika kita mampu menegtuk pintu Multazam yang ada di hati, maka akan keluar semua keindahan-keindahan nurani, 1000 kalimat yang tak pernah terucap, 1000 kata yang tak pernah terdengar, akan meluncur laksana air zam-zam yang tiada henti". 

Ilmu bulan dan matahari
Menurut Dik doang, ilmu itu ada dua, yaitu ilmu bulan dan matahari. Ilmu bulan itu kalo ada orang yang berbicara, dia selalu menyanggah, darimana dalilnya?, atau dari mana haditsnya?. Sepintas perilaku itu nampak benar. Tetapi sebenarnya itu adalah ilmu kesombongan, seperti  cahaya bulan, seolah-oleh dia bercahaya menerangi kegelapan, tetapi sebenarnya itu adalah cahaya yang terpantulkan dari matahari. Kemudian Satu lagi adalah Ilmu matahari. Ilmu matahari itu Kalau ada yang  berbicara ia mendengarkan, tidak berdebat, lalu dia bawa pulang kata-kata itu dan kemudian ia menyaringnya. Menurut Dik Doang ini yang baik dan yang buruk pasti akan terpilah-pilih di hati, nah yang tersaring itu akan mendekam di tempat yang dinamakan Qalbu. Ketika kita sampaikan kepada orang lain, dia menjadi cahaya, dan cahaya itu menjadi energi, tidak semua orang yang berkata mampu mengeluarkan ENERGI.

Menjadi matahari, kita harus dididik langsung oleh Allah, sebagaimana pohon-pohon tinggi dan rendah hidup berdampingan, bukankah dia langsung dididik oleh Allah, oleh NurNya? Nur itu adalah ilmu. Ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya itu pasti tersimpan di dalam Qalbu, bukan di mulut.

Hidup itu adalah harmoni, hidup harus mencapi titik keseimbangan, keseimbangan akan melahirkan leluasa dalam bergerak, dan leluasa dalam bergerak akan melahirkan kewajaran. Orang yang wajarlah yang telah menemukan kehidupannya. Meskipun ia artis, pejabat tinggi, kalo dia bisa berbicara dengan yang di atas, pada teman yang setara,  dengan teman yang di bawah, dia telah menjadi manusia yang wajib hidup di atas muka bumi ini.

Manusia telah dilahirkan cerdas oleh Allah, manusia telah dilahirkan mengetahui segalanya oleh Allah, manusia bukan dibuat oleh selembar buku, atau seorang guru, akan tetapi manusia diciptakan oleh Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Manusia diciptakan oleh Tuhan, yang menghamparkan bumi,  kemudian menumbuhkan bunga-bunga, yang di dalamnya ada sejuta bunga dan sejuta wangi, kemudian yang menciptakan manusia. Dia adalah yang menciptakan kumbang-kumbang, yang menciptakan kupu-kupu, yang menciptakan madu, yang menggerakan malaikat untuk memerintahkan alam ini begitu serasi, dan yang meniupkan ruh kepada manusia. Sehingga, yang diperlukan  para pendidik sebenarnya bukan mendoktrinkan selembar buku, sepatah pengetahuan kepada  manusia ciptaan Ilahi ini, yang diperlukan dalam mendidik manusia adalah membiarkan manusia itu membuka lembaran-lembaran hatinya, dan membuka lembaran alam semesta, untuk melihat kalimat-kalimat Allah. Tapi manusia itu egois, guru kadang egois, orang tua egois, seolah-olah dia yang sudah memiliki pengetahuan, seolah-oleh dia pemilik segalanya. Guru seharusnya bisa menghormati manusia dengan fitrahnya.

Semoga Allah selalu mencurahkan kebeningan hati kepada kita semua agar mampu senantiasa memancarkan ilmu dan cahayaNya di kehidupan ini. 

Hasbunallah wa nikmal wakil





Ilmu dan Amal

Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetaui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Baqararah[2]: 32)

Ilmu dan amal adalah dua hal yang mesti dimiliki oleh setiap orang, untuk  mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan Keridhoan Nya. Ilmu dan amal harus berjalan beriringan, karena tanpa ilmu, amal hanya akan menggantung sia-sia, dan tanpa amal, ilmu tidak akan bermanfaat.

Ya Allah sang pengusasa Alam
sang Pemilik ilmu
Terangilah hati-hati kami dengan cahayaMu
Hati para pencari ilmu
para pencari kebenaranMu
dan Ridhoilah kami untuk mendapatkan Ilmu Mu
Ilmu yang berbuah amal
Amal yang berdasarkan Ilmu
Maha suci Engkau
tidak ada yang kami Ketahui
Selain dari apa yang Engkau ajarkan
hasbunallah wanikmal wakil

Babakan Cau, 05.40 WIB

Minggu, 02 Juni 2013

Surga bukan Tujuan


Secara sengaja (karena tidak ada yang kebetulan) Saya membuka Youtube pagi ini, dan melihat sebuah tayangan dari Kenduri Cinta yang diasuh oleh Emha Ainun Najib. Di sana dituliskan judul "Surga bukan tujuan". Emha Ainun Najib, atau yang akrab dipanggil Cak Nun ini adalah seorang budayawan, seniman, dan menurut saya juga seorang Filosof, karena fikiran-fikiran beliau ini memang sifatnya filsafati, yaitu logis, walaupun belum ada pembuktian-pembuktian seperti halnya sain empris. Sampai detik ini saya masih ngefans sama beliau, sama pemikiran-pemikiran beliau, sama karya-karya beliau, yang berusaha untuk "radikal", yaitu mencari kebenaran mendalam, kebenaran yang memang benar, dan benar-benar Benar. Saya belajar ke Mbah Nun tentang saling menghargai, tidak saling menjatuhkan, tidak saling menyalahkan.., dan mengajak kita untuk tidak "Tuturut munding" dalam istilah sunda atau "Taklid" kalo dalam Islam.

Seperti yang dituliskan dalam judul video di Youtube itu "surga bukan tujuan", cak Emha  menyampaikan bahwa "Surga bukan pencapaian orang yang berbuat baik, manusia lebih tinggi dari surga, karena manusia adalah Ahsanu takwim. Masterpiece nya Allah adalah manusia, jadi tidak mungkin manusia mengejar-ngejar apa yang tidak lebih tinggi dari dia" tutur Emha. Lebih lanjut, Emha menyampaikan bahwa tingkatan orang untuk surga itu ada tiga yaitu:

Pertama adalah orang yang rajin beribadah. "Surga nya ini masih berada di kelas ekonomi, bagian dek", papar cak Nun. Orang Idonesia menurutnya masih berada pada tahap satu ini, tahap rajin beribadah, senang berumrah apalagi yang korupsi. Emha bertutur bahwa menurut Zawawi Imran dari madura  “sangat sukar menemukan koruptor yang tidak naik haji”meskipun tidak dibalik sangat sukar memukan haji yang tidak korupsi.

Tingkat ke dua adalah orang yang sellau berusaha mencari ilmu, baik dalam beribadah ataupun dalam bekerja. Orang seperti ini selalu mencari ilmu, selalu menganalisis, selalu memaknai, selalu memiliki tradisi untuk menemukan makna dan nilai di setiap benda, di setiap yang dilihat, di setiap yang didengar, di setiap yang dilakukan. Tingkatan ini lebih tinggi dari tigkat pertama yang hanya sekedar seneng ibadah, tapi mungkin ia tidak tau ilmu dan lainnya.

Tingkatan paling tinggi adalah para pekerja keras. Para pekerja keras adalah mereka yag selalu memadukan ilmu dan amalnya untuk mencari Ridho Allah. Emha menuturkan "barang siapa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik dengan keras, “Man yamal amalan sholihan”, maka dia bukan hanya mendapatkan surga, karena surga kecil baginya, tapi dia mendapat tempat tersendiri di mana dia hidup bersama Allah, dan dibukakan wajahnya Allah". Inilah tipe orang yang sudah mengaktualisasikan seluruh pengetahuan dan amalnya, sehingga apa yang dilakukannya ini memang atas dasar kesadaran diri tentang hakekat dan fungsinya sebagai manusia di dunia ini. 

Kemudian, Caknun mengkritik kehidupan di Indonesia saat ini yang masih melihat cangkang, di badning isinya, mengkotakan golongan, dan hanya berfikir satu tipe. Cak Nun menuturkan:

"bangsa Indonesia ini baru bangsa tingkat pertama rajin beribadah, bikin sinetron yang di religi-religikan, soal tingkat ke dua, ilmu kita masih sagat rendah, kalo sudah ngobrol di kenduri cinta karena ngomong liberalisme katanya kita ini kaum pluralis liberalis, tapi dalam perilaku katanya Islam eksklusif, jadi ngertinya itu kalo kuplukan itu orang baik, ngunu to, jadi ilmu kita baru di situ, peko sapeko-pekoe. Kita ini orang yang masih linear berfikir, di tengah empat cara berfikir, linier, siksak, spiral dan sirkular, atau siklikal atau kafah dalam Islam."

Semoga kita digolongkan menjadi orang di tahap ketiga, orang yang tahu ilmunya dan senang beramal, sehingga Allah bisa meridhoi kita untuk masuk di SurgaNya, dan kitapun ridho menjalankan segala ketentuan dan ketetapanNya.

Hasbunallah wanikmal wakil

Babakan Cau, pukul 07.20 WIB