Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

GRADUATION

31 Maret 2012.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lebaran 1434 H

sabisa-bisa kudu bisa pasti bisa

Kunjungan

Sahabat-sahabat dari Yogyakarta.

Kegiatan

Lomba Penegak Pramuka.

Sabtu, 16 Februari 2013

yang Terlupakan



DIMENSI SOSIAL DAN KULTURAL KEKERASAN
 BERBASIS GENDER DI INDONESIA:
 DARI LABELLING KE DISKRIMINASI KE KEKERASAN
(Melly G. Tan)

Pendahuluan
Ketika kita telah sampai di jembatan lima, kita melihat kerumunan orang dan toko-toko terbakar. Setelah itu seseorang berteriak ‘Cina-cina.’ Kemudian motor kami setangah memaksa  dirampas dari kami, dan suami saya dipukul. Saya bergegas untuk keluar dari kerumunan tersebut dengan pakain yang basah oleh air mata. Kemudian saya melihat sekitar 8 orang telah mengepung seora perempuan dan mulai menggenggam dada beserta bagain tubuh yang lain. Meli ditelanjangi, walaupun ia tidak diperkosa. Sejak saat itu Meli selalu mengalami rasa takut dan cemas ketika harus keluar rumah. Meli, Jakarta, mei 1998
Suatu ketika saya akan mandi di belakang rumah. Dua orang berseragam militer mencoba untuk memperkosa saya. Saya menolak, tetapi mereka mengancam kalau saya menolak mereka akan membunuh ayah saya. Saya telah dperkosa oleh dua orang militer dengan senjata yang disimpan disamping saya. Saya kehilangan kesadaran dan mendapatkan infeksi dalam alat kelamin saya. Rosnita, Aceh, September 1998
Cerita di atas merupakan salah satu bentuk contoh dari kekerasan berbasiskan gender selama sepuluh tahun terakhir. Cerita pertama diambil dalam situasi kerusuhan masa pada bulan mei 1998. Dan yang kedua merupakan situasi konfik Aceh antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Secara khusus, kedua kasus tersebut dilandasi oleh kekerasan Gender terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan didefinisikan dalam deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai berikut:
Istilah "kekerasan terhadap Perempuan" berarti setiap tindakan kekerasan berdasarkan gender yang mengakibatkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian fisik, seksual, atau psikologis, atau penderitaan perempuan, termasuk ancaman, tindakan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Kekerasan terhadap perempuan diartikan mencakup, tetapi tidak terbatas pada: a) Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, seperti memukul, pelecehan sexsual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, harta gono gini, marital rape (perkosaan perkawinan), mutilasi genital, dan eksploitasi wanita; b) Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam komunitas, meliputi: perkosaan, pelecehan seksual, dan intimidasi dalam pekerjaan, dala dunia pendidikan dan dimanapun; c) Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam negara diamanapun itu.
Jika melihat kekerasan terhadap wanita di atas, tercatat perempuan di Indonesia terus menerus menjadi “korban serangan dan teror terhadap tubuh dan seksualnya”. Observasi tersebut dinyatakan dalam catatan akhir tahun 2001 yang berjudul Terorisme seksual Mencekam Perempuan Indonesia, diambil dari Komisi Nasional Kekerasan terhadap perempuan pada Desember 2001. Terorisme seksual disana  didefinisikan sebagai suatu serangan yang diarahkan ke tubuh dan seksualitas perempuan, sehingga menyebabkan korban merasa terus menerus diintimidasi dan diancam.
Di dasarkan dari data dari 35NGOs (Non Govermental Organization) atau LSMs (Lebaga Swadaya Masyarakat)- partner komnas Perempuan- di bidang Hak Asasi Manusia di 14 kota dan provinsi di Jawa, Sumatera, Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Kaliamantan Barat, dengan total kasus kekerasan sebanyak 3.167 kekerasan terhadap perempuan sejak 2001. Kasus tersebut di bagi dalam lima kategori: domestik, perkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual/penyerangan dan pembunuhan. Kasus terbesar dalam kategori kekerasan domestik  sebanyak 1.253 kasus (39,5%), kemudian kasus perkosaan 1023 kasus (32,3%), kasus penyiksaan 543 kasus (17,2%), pelecehan/penyerangan seksual 228 kasus (7,2%), dan pembunuhan 122 kasus (3,8%). Jumlah terbesar di temukan di daerah Jawa Tengah dengan total 636 kasus dengan kasus penyiksaan tertinggi (270 kasus), kemudian Jakarta 500 kasus dengan kasus tertinggi pemerkosaan (227 kasus). Kemudian Jawa Timur dan Yogyakarta keduanya saa 356 kasus, tetapi berbeda kasus tertingginya. Jawa Timur mayoritas adalah kasus perkosaan (249 kasus) , sedangkan Yogyakarta kasus domestik mmerupakan kasus terbesar (320 kasus). Maluku menjadi kota terendah dalam berbagai kasus, yang hanya mencapai lima kasus.
Isu kekerasan terhadap perempuan tidak menjadi isu penting bagi kebanyakan orang Indonesia sampai kejadian 1998 yang mengejutkan. Walaupun sudah ada banyak perempuan dan kelompok laki-laki yang peduli dengan kondisi perempuan, terutama fokus terbesar pada ketimpangan, ketidakadilan dan konflik dalam hubungan perkawinan. kelompok ini menyediakan bantuan hukum dan terhadap eksploitasi yang dilakukan oleh suami.

Hubungan Sosial Etnis mengarahkan kepada Labelling  Diskriminasi dan Kekerasan
Hubungan sosial antara kelompok-kelompok orang dalam masyarakat dapat ditandai dengan kontinum (Rangkaian Kesatuan) dari konflik, dengan variasi-variasi di atara diskriminasi dan kekerasan. Etnis Cina dan Indonesia merupakan bentuk ilustrasi kekerasan yang didasarkan atas gender dalam hubungan sosial. Kasus etnis Cina menunjukan bahwa terdapat variasi hubungan antara mereka dengan etnis Indonesia, dimana di satu sisi dalam daerah dan situasi tertentu mereka bisa bekerjasama, disisi lain mereka bisa berkonflik. Variasi tersebut ditentukan oleh:
1.      Sejarah awal kedatangan etnis Cina dalam jumlah yang signifikan;
2.      Pemukiman dan situasi; dan
3.      Penerimaan oleh  masyarakat setempat.
Tercatat bahwa di daerah di mana penduduk lokal yang dominan dalam kegiatan ekonomi, sedikit sekali disana bahkan  tidak ada pemukiman etnis China, misalnya di Minangkabau atau di daerah suku Batak, di luar kota besar. Pada sisi lain, di daerah Jawa, dimana menjadi bagian dari kebijakan pemmerintah Belanda dan keengganan penduduk lokal terlibat dalam perdagangan, etnis Cina telah menetap dalam jumlah yang banyak, terutama di sepanjang pantai utara, yang  menjadi kekuatan dominan dalam perekonomian.
Situasi Etnis Cina di Indonesia sering digambarkan dalam hubungan antara minoritas-mayoritas, dengan etnis Cina mengalami semua masalah dari kelompok minoritas yang berbeda (diperkirakan sekitar 3% dari total populasi), mereka memiliki posisi dominan dalam perekonomian, khususnya, di sektor swasta; dan tidak ada posisi sama sekali dalam dunia politik dalam birokrasi.
Pertanyaan yang berkenaan dengan kehadiran etnis Cina di Indonesia adalah mengapa mereka tanpa terkecuali menjadi target serangan, tipikal korban dalam situasi-situasi dimana tersebar luas ketidakpuasan, apapun sebabnya, semakin banyak berkembang kedalam kegelisahan sosial dan memperluas aksi kekerasan. Hal ini berulang dalam hampir semua bentuk situasi kekerasan terhadap etnis Cina, fakta-fakta, dalam berbagai periode sampai sekarang (semenjak 1983).
Pola lain yang dapat dilihat dalam kekerasan anti-Cina adalah kekerasan itu biasanya mengarah kepada properti, seperti: Pabrik, toko, tempat tinggal, dan kendaraan; daripada kekerasan terhadap nyawa atau anggota tubuh. Namun, sejarah telah mencatat beberapa insiden pembantaian langsung kepada Cina. yang paling terkenal adalah insisden pada zaman kolonial di Batavia pada tahun 1740, dimana yang meninggal encapai 6000 orang.
Kemudian, di akhir perang pasifik, Belanda, sebagai bagian dari pasukan Sekutu, kembali ke Indonesia dengan tugas melucuti pasukan Jepang kalah. Mereka jelas berniat merebut kembali posisi mereka sebagai penjajah, tetapi kedatangan mereka di lawan para pejuang kemerdekaan indonesia. Bagi para nasionalis Indonesia, periode ini dinamakan "physical revolution". Dalam peperangan tersebut, Indonesia menggunakan kebijakan pembumi hangusan. Etnis Cina yang berada di luar kota-kota besar, yang memiliki toko-toko di jalan utama, atau yang banyak terlibat di sektor pertanian, seperti di daerah Tangerang, terperangkap di tengah-tengah, dimana hal itu menjadi bagian dari pembakaran dan penjarahan terbesar. Situasi ini diperburuk oleh kecurigaan orang-orang nasionalis Indonesia, bahwa Cina tidak mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan sebagai gantinya Cina dianggap pro-Belanda.
Insiden terburuk saat itu terjadi pada bulan Juni 1946, di perkampungan Etnis Cina Tangerang. Seperti dikutip Victor Purcell dalam New York Times 6 Juni (tahun 1946), 600 orang Cina dibunuh oleh etnis Indonesia. Pembunuhan besar-besaran tersebut tidak berhenti sampai tanggal 8 Juni. Chung Hwa Chung Hui,  sebuah perkumpulan dibentuk oleh etnis Cina dan diduga pro-Belanda oleh Indonesia, telah menulis memorandum tentang kekerasan, dan insiden. Laporan ini diuraikan dengan rincian atas kekejaman yang sangat mengerikan, termasuk di dalamnya laporan tentang adanya perempuan dan anak-anak yang dibakar hidup-hidup.
Menurut laporan yang diterima Yang Send di Batavia, 653 orang Cina telah terbunuh di Tangerang dan sekitarnya, yang meliputi 136 orang perempuan dan 36 anak-anak. Ada sekitar 25,000 pengungsi dari daerah Batavia, 1.256 tempat tinggal orang Cina dibakar, dan 236 lainnya dirusak. Lebih jauh lagi, dilaporkan pada September 1946, 200 orang Cina telah dibunuh, dan Januari 1947 dalam kekerasan di Palembang, 250 orang telah terbunuh.
Semenjak rezim Sukarno, secara terus menerus terjadi kekerasan anti Cina, terlebih setelah dikeluarkannya peraturan pemerintah No. 10. 1959-1960, yang berisi larangan perdagangan dengan orang asing di pedesaan, area-area di bawah level kabupaten, yang menyebabkan eksodus 100.000 etnis Cina. Kemudian insiden tahun 1963 di Bandung, Sukabumi dan daerah lain di Jawa Barat, yang mana menyebabkan banyak yang meninggal dunia dan cedera-cedera. Bagaimanapun, walaupun meluasnya kerusakan-kerusakan properti, tetapi tidak dilaporkan penyerangan orang secara disengaja.
Selama kerusuhan, setelah jatuhnya rezim Sukarno dan bangkitnya rezim Suharto pada tahun 1965. Lagi-lagi terdengar laporan pembunuhan. Hal Ini merupakan hasil dari  pandangan yang berlaku di kalangan mayoritas etnis Indonesia terhadap etnis Cina yang dianggap bersimpati kepada Komunis melalui perserikatan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), yang ketuanya, Siauw Giok Tjhan, dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia.
Sebagai catatan Coppel: “Secara umum, bagaimanapun karakteristik kekerasan anti Cina di tahun-tahun pascakudeta (Pergantian Presiden Sukarno ke Suharto), tidak ada kasus pembunuhan, kekerasan orang, atau penahanan, tetapi kerusakan pada properti seperti penjarahan, perampasan,dan pembakaran toko-toko, sekolah-sekolah, rumuah-rumah dan mobil-mobil. Meskipun demikian, tidak diberitakan jumlah orang yang tewas, khususnya dalam pers luar negeri. Misal pemberitaan oleh Coppel (1983), dalam life megazine dan Far Eastern Econoc Review, mengklaim bahwa ratusan ribu Cina telah dibantai.” Robert Shaplen telah menyebut sejumlah 20.000. Signifikannya, China News Agency menyebut untuk mempublikasi penganayaan anti Cina di Indonesia.
Contoh kekerasan yang teradi di Makasar dan Medan (Coppel, 1983:60). Di Makasar demonstrasi kekerasan anti Cina terjadi di Kedutaan pada tanggal 10 November 1965 (bertepatan dengan hari pahlawan), yang di organisir oleh mahasiswa Muslim dan organisasi pemuda, HMI dan ANSOR. Di hari itu dan hari selanjutnya “Hiruk pikuk ribuan perusuh menngamuk melawan Cina..Target para perusuh adalah bagian-bagian penting, bangunan Cina dan properti lain dihancurkan, tetapi tidak ada kerusakan lebih luas”. Kemudian Di Medan Anti Cina terjadi pada 10 Desember 1965. Dalam kasus ini kerusakan pada barang-barang  Cina tersebar luas, tetapi tidak mengarah kepada kekerasan terhadap orang.
Adam Schwars (1994) menggambarkan situasi dalam periode singkat ini sebagai “ketidak amanan yang menakutkan dan kekerasan hebat terhadap Cina Indonesia”. Pemegeang kekuasaan di Tahun 1965-1966, Sebelumnya menjadi musuh yang paling ditakuti.
Singkatnya setelah Suharto memegang kekuasaan, terjadi insiden kekerasan di kalimantan Barat tahun 1967, antara etnis Dayak dan etnis Cina. Kejadian teradi sekitar bulan Oktober -November .
Sejarah Etnis Cina pada rezim Suharto digambarkan sebagai suatu minoritas grup etnis yang tidak memiliki pilihan, dan harus patuh terhadap kebijakan yang diterapkan untuk dirinya. Kebijakan itu dinamakan “proses Asimilasi”. Asimilasi pada rezim Suharto didefinisikan sederhana sebagai akhir hilangnya keberadan etnis Cina dalam sosio kultur dan religius Indonesia. Kebijakan ini berimplikasi langsung terhadap kehidupan sosial etnis Cina, kultural, religius, politik serta kehidupan ekonomi.
Perlakuan yang dilakukan oleh rezim Suharto kepada etnis Cina adalah yang paling terang-terangan semenjak zaman kemerdekaan. Mereka membuat stigma dan label Tiong Hoa menjadi “Cina”. Stigma dan labelling terhadap seseorang atau sebuah grup diartikan sebagai suatu “penyimpangan” atau dalam kasus Etnis Cina ini yaitu “perbedaan” yang biasanya mengarah kepada konflik atau berpotensi membuat konflik. Berger dan Berger (1972) menuliskan “konflik merupakan suatu keadaan antara orang atau grup yang kecil dan tak berdaya dengan yang sebaliknya”.
Karakteristik stigma ini, menjadikan “perbedaan” dan pelabelan diaplikasikan dalam hubungan antara etnis Cina dan mayoritas etnis Indonesia. Karakteristik ini didukung atau mungkin lebih diprakarsai oleh rezim yang memimpin. Dalam seminar yang diadakan di Bandung tahun 1965, penggunaan term Cina pada rezim Suharto didiskusikan: “ ... terutama untuk menghilangkan perasaan rendah diri pada bangsa kita sendiri, sementara di sisi lain menghilangkan perasaan superioritas pada bagian dari gruop yang bersangkutan dalam negara kita, oleh karena itu pantas bagi kita untuk mencetuskan dan memutuskan dalam sminar ini menggunakan term tersebut bagi orang-orang Republik Rakya Cina (Republik Rakyat Tiongkok), dan dan warganegara Republik Rakyat Cina dan warganegara Cina. Hal tersebut mungkin justifikasi tinjauan dari segi kacamata historis dan Sosiologis .”
Pengaruh kuat militer dalam menentukan keputusan tersebut dapat dilihat sampai akhir Agustus tahun 1966, banyak koran yang memasukan kekerasan anti Cina, dimana masih menggunakan term Tionghoa, mengingat di awal bulan September, hampir semua, kecuali Suluh Marhaen dan Indonesia Raya (Mochtar Lubis) telah mengubah menjadi Cina. Kemudian pada 25 Juli 1967, kabinet Presidium mengambil putusan dalam seminar ABRI tersebut untuk menggunakan term  Cina untuk seluruh etnis Cina, baik itu orang luar ataupun warga negara.
Singkatnya penggunaan term Cina sebagai “non pribumi” atau “nonpri” untuk berarti telah bertentangan dengan pribumi atau pri (berasal dari pribumi). Makna singkatnya non pribumi, tetapi dalam konteks Indonesia, sangat ekslusif merujuk kepada etnis Cina. Lebih jauh lagi, non pribumi dalam term sosial politik dikonotasikan dengan tidak secara penuh termasuk bagaian dari warga negara Indonesia, dari term ekonomi, hal tersebut berarti sekelompok orang yang memilki tingkat ekononmi kuat. Label lain yang melekat pada etnis Cina adalah term konglomerat pada big businessman. Pertama kali dimunculkan di media, dan menjadi kebiasaan sejak tahun 1980an.

Praktik Budaya Yang Memiliki Konsekuensi Berbahaya Untuk Wanita
Akhir-akhir ini realisasi dan pengakuan akan adanya praktik berdasarkan budaya dan tradisi di hampir semua masyarakat yang berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Pertemuan ke-58 Komisi Hak Asasi Manusia pada bulan Januari 2002, melaporkan tentang kekerasan terhadap perempuan, sebab dan akibatnya, Radhika Coomaraswamy, menyerahkan laporan sesuai dengan Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia. Intisari laporan ini mengenai "Integrasi Hak Asasi Manusia perempuan dalam Perspektif gender" judul laporannya adalah "praktek budaya dalam keluarga yang penuh kekerasan terhadap perempuan". Dia menyatakan masalah dengan jelas sebagai berikut:
“Standar universal hak asasi manusia sering ditolak ketika datang ke hak-hak perempuan. Di seluruh dunia, terdapat praktik dalam keluarga yang penuh kekerasan terhadap perempuan dan berbahaya bagi kesehatan mereka. Para gadis, hidup di bawah aturan berpakaian yang memprihatinkan, diberikan dalam prostitusi, dan dibunuh demi kehormatan dalam keluarga. Laporan ini mendokumentasikan beberapa praktek-praktek budaya yang melanggar hak asasi manusia perempuan terhadap integritas tubuh dan ekspresi, serta merusak nilai-nilai penting dari kesetaraan dan martabat. Praktik-praktik ini dan banyak yang lainnya merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga, tetapi telah diabaikan oleh pengawasan nasional dan internasional karena mereka dianggap sebagai praktek-praktek budaya yang layak. Relativisme budaya sering digunakan sebagai alasan untuk mengizinkan praktik tidak manusiawi ini dan diskriminatif terhadap perempuan di masyarakat ...”

Di Indonesia, saya akan fokus pada praktek yang telah berlangsung diam-diam selama beberapa dekade ini, tanpa banyak masyarakat umum peduli untuk itu atau, apa lagi, mempertanyakan praktik di mana gadis-gadis muda etnis Tionghoa, yang sebagian besar dari keluarga berlatar belakang miskin, dikawinkan dengan laki-laki asing, dalam hal ini orang  Taiwan, oleh orang tua mereka.
Data yang disajikan di sini didasarkan pada studi yang dilakukan oleh Andy Yentriyani untuk tingkat S1 di Departemen Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Indonesia pada tahun 2000. Judul penelitian  tersebut adalah "Perdagangan Perempuan: Sebuah Konsekuensi sistem Kapitalis Dunia - Studi Kasus: Perkawinan Transnasional Indonesia-Taiwan 1992-1999.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan informasi yang diperoleh melalui wawancara yang mendalam terhadap tiga matchmaker (dua perempuan, satu laki-laki); tiga dari gadis-gadis muda yang menikahi orang Taiwan (salah satu dari mereka kurang dari 14 tahun ketika dia menikah ); dan tiga ibu dari gadis yang menikah Taiwan. Data statistik mengenai pernikahan transnasional diperoleh dari kantor Kotamadya Tingkat I Pontianak, Kabupaten Tingkat II Pontianak dan Kabupaten Sambas.
Data statistik dari tiga kantor menunjukkan bahwa dari tahun 1992 sampai Oktober 1999, ada total 5.293 pernikahan yang terdaftar antara perempuan Indonesia Cina dan orang asing, hampir semuanya berasal dari Taiwan (5.159), sedangkan ada 129 dari Malaysia, dua dari Australia dan masing-masing dari Amerika Serikat, Brunei Darussalam dan Jepang. Dari pernikahan dengan Taiwan, jumlah terdaftar tertinggi adalah 1.119 pernikahan pada tahun 1996. Berikutnya tahun 1999 dengan total 754. Yang ketiga tertinggi adalah pada tahun 1995 dengan 784 pernikahan, Selama tahun 1992 hingga 1999, Kabupaten Sambas sebenarnya telah memiliki jumlah tertinggi (3.268), sedangkan Kotamadya Pontianak dan Kabupaten Pontianak memiliki hampir total yang sama (903 dan 988 masing-masing).
Sebagai bukti, informasi yang paling lengkap datang dari Kabupaten Sambas (kecuali tahun 1999). Dua lainnya hanya memiliki kantor informasi mulai dari tahun 1996. Jika kita melihat total 5.293 perkawinan transasional, ini berarti rata-rata 661 pernikahan per tahun. Namun, karena ketidaklengkapan data, maka dikatakan bahwa rata-rata ada lebih dari 1.000 pernikahan setiap tahunnya. Jumlah terbesar dari pernikahan dengan orang Taiwan dapat dilihat dari bukti di Kotamadya Pontianak, proporsi pernikahannya adalah 90 persen, di Kabupaten Pontianak 98 persen, dan di Sambas Kabupaten 99 persen.
Dari judul penelitian tersebut, penulis studi ini mengacu pada aktivitas pernikahan transnasional di Kalimantan Barat sebagai "perdagangan wanita", suatu bentuk pelanggaran berat hak asasi perempuan. Perhatikan bahwa definisi "perdagangan perempuan" telah berkembang dari sebuah arti yang terbatas ke yang lebih luas. Resolusi ini diadopsi oleh PBB pada tahun 1994, mengacu pada perdagangan dalam wanita sebagai tindakan ilegal yang dilakukan oleh perekrut, penyelundup dan sindikat penyelundupan orang, sebagian besar dari negara-negara kurang berkembang, melintasi batas-batas negara dan internasional secara sembunyi-sembunyi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak-anak ke dalam eksploitasi seksual dan ekonomis. Tindakan ilegal ini melibatkan pemaksaan menjadi pembantu rumah tangga, kawin paksa, penyelundupan pekerja dan adopsi palsu.
Resolusi dari Senat Amerika, No 82 tahun 1998, juga mendefinisikan perdagangan perempuan sebagai berikut: ".. melibatkan satu atau lebih bentuk penculikan, pemenjaraan, pemerkosaan, pemukulan, kerja paksa, atau seperti perbudakan. Perdagangan terdiri dari semua tindakan yang terlibat dalam merekrut-pemerintah atau transportasi orang, di dalam atau lintas batas, penipuan, pemaksaan atau kekerasan, penyalahgunaan wewenang, jeratan utang atau penipuan, dengan tujuan untuk menempatkan orang-orang dalam situasi pelecehan atau eksploitasi seperti pelacuran paksa, pemukulan dan kekejaman yang ekstrim. "(seperti dikutip Yentriyani, 2000: 14).
Koalisi untuk Menghapuskan Perbudakan dan Perdagangan (dikutip dalam Yentriyani, 2000:15),didefinisikan lebih luas: "... perekrutan atau memindahkan seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dominan, penipuan atau bentuk kekerasan, dengan tujuan mengeksploitasi seksual maupun ekonomi untuk kepentingan orang lain, seperti perekrut, mucikari, pedagang, perantara, pemilik rumah bordil dan karyawan lainnya, pelanggan atau sindikat kriminal. Perdagangan juga harus dipahami seperti memindahkan orang dalam batas-batas negara, antar negara, kawasan atau antar benua. "
Dalam definisi ini dapat diterapkan pada situasi di Kalimantan Barat. Pada dasarnya, proses tersebut  dapat dianggap sebagai perjodohan dengan perantara atau mak comblang, meliputi orang tua dari gadis, gadis dirinya dan calon suami, dan biasanya disertai oleh seorang kerabat. Semuanya diatur mak comblang, dan gadis itu diperkenalkan kepada calonnya  sebelum keputusan akhir dibuat.
Namun, bukan hanya perjodohan tetapi juga transaksi keuangan finansial. Matchmaking adalah bisnis dengan pembagian kerja, yang melibatkan seseorang (biasanya mak comblang yang) mencari dan menangani "klien" prospektif di Taiwan, orang lain mencari gadis yang cocok (perekrut), dan lain merawat dokumen dan izin terlibat. Menariknya, sebagai catatan studi (hal. 45), ketiga mak comblang tersebut diwawancarai menyatakan bahwa mereka tidak melakukan hal ini sebagai sebuah bisnis (mereka memiliki bisnis yang tepat, seperti
sebagai perusahaan perdagangan),  tetapi hanya "untuk membantu orang-orang Taiwan yang mengalami kesulitan mendapatkan istri". Namun, para "klien" harus membayar pasti sejumlah biaya untuk bantuan / jasa sebelum proses pernikaha dimulai.
Jelas, hubungan antara keluarga si gadis  dan klien itu asimetris. Biasanya, gadis itu berasal dari keluarga dengan banyak anak, di mana pendapatan keluarga sedikit dan karena itu ia memiliki sekolah yang terbatas, meskipun klien sendiri ternyata sebagian besar dalam kategori pekerja kerah biru (pekerja pabrik, pekerja pertanian atau pengumpul sampah ), karyawan di perusahaan swasta (mekanik atau petugas toko), petani atau nelayan. Dalam penelitian tercatat bahwa orang-orang terpinggirkan oleh proses industrialisasi di Taiwan, yang merupakan bagian dari proses kapitalisme global (hal. 43).
Namun, meskipun mereka termasuk dalam kategori "miskin" di Taiwan, dibandingkan dengan keluarga gadis-gadis di Pontianak dan Sambas, mereka lebih kaya karena mereka mampu untuk membayar ongkos untuk datang ke Kalimantan Barat, untuk layanan dari mak comblang dan untuk biaya pesta pernikahan.
Di sinilah pertanyaan tentang penyalahgunaan kekuasaan dan eksploitasi posisi dominan, dan karena itu, para gadis dan keluarganya tidak memiliki kemampuan menawar, dan dia akan setuju untuk menerima klien pertama yang setuju untuk menikahinya. Studi ini menjelaskan situasi khas, misalnya seorang gadis berusia 21 tahun, anak ketiga dari delapan bersaudara, kelas dua SMA, yang pindah dan bekerja di sebuah toko di Jakarta. Kemudian ada suatu peristiwa yang meneybabkan toko itu dibakar sehingga ia merasa ketakutan tinggal disana, dan akhirnya ia kembali ke Pontianak, di mana dia mengurus orang tuanya dan tiga adik-adiknya.
Kemudian seseorang menyarankan agar ia menikah dengan pria dari Taiwan. Mak comblang ini adalah seorang rekan Mr Liu, salah satu informan dalam penelitian ini. Gadis itu, kemudian menikahi seseorang dari Taiwan
orang Taiwan. Pernikahan ini dianggap sebagai berkah oleh keluarga karena mereka berdua dapat mengirim uang ke rumah. Karena dia tidak punya pekerjaan, gadis itu menerima tawaran untuk berada di "pasar pengantin". Dia diperkenalkan kepada enam atau tujuh klien tetapi dia menolak. Akhirnya, ia diperkenalkan dengan seorang mekanik yang 42 tahun, telah bercerai dan memiliki dua anak, yang anak tertuanya berusia delapan tahun. Ketika dia ditanya apakah dia bersedia menikah dengannya, dia tidak merasa dia memiliki kekuatan untuk memilih, dia tidak menyukai orang itu, tapi dia juga tidak bisa menolak. Mereka bertemu tiga kali sebelum pernikahan dan sambil mempersiapkan untuk pergi ke Taiwan. Pertama kali adalah ketika ia diperkenalkan kepada klien dan kedua kalinya sebagai di sebuah restoran di mana mereka lebih mengenal satu sama lain. Ketiga kalinya, yang juga merupakan hari ketiga kunjungannya, mereka pergi berbelanja untuk pakaian baginya untuk dibawa ke Taiwan. Sementara itu, para calo dan orang tua gadis itu disiapkan untuk pesta pernikahan.yang hanya mengundang kerabat dekat saja.
Mengapa praktek ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dari perempuan di Kalimantan Barat yang menikahi orang asing? Kita harus melihat kembali pada laporan Ms Coomaraswamy yang telah dikutip sebelumnya, di mana dia menyatakan: "Laporan ini mendokumentasikan beberapa praktek budaya ... serta merusak nilai-nilai penting dari kesetaraan dan martabat ... praktek ini dan banyak yang lainnya merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga. "
Dalam uraiannya terhadap perilaku para gadis, jelas bahwa mereka menerima apa pun keputusan yang telah dibuat untuk mereka karena mereka tidak punya pilihan, tetapi memang merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai kesetaraan dan martabat dan merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Mengapa nilai-nilai ini tetap mendarah daging bagi para remaja Cina di Indonesi selama beberapa generasi?karena orang Cina masih memegang perinsip nilai. Nilai ini disebut "hao", yaitu nilai hormat kepada orang tua, dan pengabdian yang diberikan oleh anak-anak dan cucu-cucu mereka (awalnya diharapkan dari anak-anak saja, menunjukkan sifat patriarchal kebudayaan tradisional China), dan dinyatakan dengan merawat orang tua di usia tua mereka, menjunjung tinggi nama keluarga dan mengambil tanggung jawab untuk kesejahteraan keluarga. Dalam kasus gadis-gadis di Kalimantan Barat, mereka merasa bertanggung jawab untuk mengurangi kondisi keuangan yang buruk dari keluarga dan dengan menikahi orang Taiwan, mereka merasa mereka membantu untuk melakukan sesuatu tentang hal itu, sehingga memenuhi tugas untuk kembali ke orang tua mereka apa yang diberikan kepada mereka ketika orang tua mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka.
Pada simposium di Denpasar di mana saya mempresentasikan makalah ini, saya datang ke majalah Inggris “Latitudes” yang diterbitkan di Denpasar, Bali (Vol. 11, Desember 2001) yang memiliki sebuah artikel tentang topik ini, berjudul "Brides for Sale" oleh Bodrek Arsana. Judul artikel tersebut menunjukkan ekspos dari perdagangan nyata pada wanita yang terjadi di Kalimantan Barat. Hal ini terkait dengan kisah seorang gadis 15 tahun, anak ketiga dari sepuluh anak-anak dari etnis Cina yang hidup miskin di sebuah desa kecil dekat kota Singkawang. Dia setuju untuk menikah dengan seorang pria Taiwan karena keluarga akan menerima uang yang kemudian akan digunakan untuk membayar utang kakaknya yang suka minum dan berjudi. Dia tidak terlalu khawatir tentang pernikahan ini karena ada anak perempuan menikah dengan Taiwan yang bisa mengirim uang kembali ke keluarga mereka untuk menerima US $ 2.500 untuk pernikahannya ke Taiwan. Setelah satu minggu, Taiwan, ternyata orang yang dinikahinya itu bukan seorang pengusaha (pada ketika ia mengatakan pengusaha kepada keluarganya), tetapi ia merupakan pekerja pabrik yang tinggal bersama orangtuanya di pedesaan. Setelah enam bulan, ia mengaku telah dipecat dari pekerjaannya dan dijual ke germo. Setiap malam, ia menjatuhkan dirinya di sebuah klub malam di mana ia harus bekerja sebagai pelacur. Dia berhasil melarikan diri dan kembali ke Singkawang. Artikel ini mencatat bahwa ada sekitar 10.000 wanita dari Singkawang yang tinggal di Taiwan dan bahwa dalam periode satu tahun 1993-1994, sekitar 2.000 perempuan berangkat ke Taiwan.

Implikasi
Dimensi sosial dari kekerasan berbasis gender yang berasal dari hubungan antara kelompok atau kategori orang merupakan hasil dari sebuah proses yang dimulai dengan labeling, kemudian menyebabkan diskriminasi dan akhirnya kekerasan. Untuk menghentikan proses yang  bisa menagakibatkan hancurnya struktur masyarakat ini, maka harus ada kesadaran akan  multikultural masyarakat yang ada di Indonesia, yang memerlukan penerimaan pandangan positif dari semua. Perilaku diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat merupakan indikasi dari pola pikir yang didasarkan atas ketidakadilan. ketidakadilan ini merupakan pola pikir dan perilaku yang melekat. Jika diarahkan ke dalam kelompok etnis atau jenis kelamin tertentu, maka akan bisa terlihat jelas ketika orang menyadari keberadan kelompok-kelompok etnis tertentu atau keberadaan perempuan dan laki-laki sebagai suatu "kecelakaan lahir" atau "tindakan Tuhan". Kita juga tahu bahwa sikap dan perilaku itu dipelajari, bukan  melekat pada manusia. Oleh karena itu, sangat penting bagi anak sedini mungkin untuk ditanamkan keragaman nilai dan penghormatan serta apresiasi dari perbedaan dalam lingkungan rumah dan sekolah. ini adalah inti dari pluralisme dan demokrasi, serta komponen penting dalam kultur kedamaian.
Bagaimanapun, mewujudkan sikap dan perilaku ini membutuhkan lingkungan yang kondusif. ini berarti perlunya reformasi hukum, perlunya perubahan pola fikir sosial dan perubahan pola fikir wanita terhadap dirinya.
Dalam hal reformasi hukum, apa yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan menghapus semua hukum, regulasi, kebijakan, dan pelaksanaan daripadanya, dengan cara apapun indikasi diskriminasi atas dasar gender khususnya terhadap perempuan dari ras tertentu, atau kelompok etnis tertentu. Secara umum, hukum-hukum dan prosedur pidana sekarang di tempat yang sepenuhnya tidak memadai dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia. Sekarang, konsep transisi keadilan telah dieksplorasi untuk diterapkan dalam membawa keadilan dalam kasus ini.
 Untuk merubah mindset perempuan ini sangat terkait dengan peningkatan level pendidikan, dan peningkatan kepercayaan diri, harga diri, keberhargaan diri mereka. Kuncinya adalah perempuan harus memiliki ekonomi finansial sosial yang mandiri.
Terakhir, dugaan multikulturalisme terhadap perempuan dipahami sebagai relativis kultural guna menegakan kebenaran kebudayaan atau etnis grup tentu mempraktekan  tradisi nilai kebudayaan dengan lengkap jika hal itu  adalah berbahaya bagi perempuan, kemudian nilai budaya dan prkatik nya tersebut akan diperhitungakan kembali dan , jika telah merasa sebagai bahaya tekah dihapus.

Menabur Kebaikan di Bumi



Jangan mati-matian mencari sesuatu yang tidak dibawa mati. Kalimat sederhana yang menyiratkan berbagai makna khusus bagi saya pribadi. Innallah yabsutu rizqo liman yasaa (sesuangguhnya Allah melapangkan rezeki kepada orang yang Dia kehendaki). Setiap orang sudah pasti punya takaran rizkinya masing-masing. Manusia tidak bisa memaksa “sama” atau  rizki yang dimiliki antara satu orang dengan orang lain. kita bisa dan pandai menerima dan memanfatkan apa yang ada, itulah kekayaan sejati.
Ada orang yang hidupnya terus menerus digunakan untuk mencari dan menumpuk materi. Orang tersebut menganggap bahwa dengan materi itu ia akan bahagia, seakan surga sudah digenggama ketika ia mendapat materi yan berlimpah. Itulah tipe orang yang buta, orang yang “menduniakan akhirat” yang tidak sadar bahwa dunia itu tidak ada apa-apanya dibanding akhirat. Berbeda halnya dengan orang yang telah tercerahkan, moral nya bagus, etikanya baik, konsisten. Orang tersebut selalu berusaha untuk “mengakhiratkan dunia” dan “menduni akahiratkan kehidupan”. Orang tersebut adalah orang yang memilki visi yang menembus realitas dunia.
Sedekat apapun kita dengan makhluk jangan pernah sekali-kali menyandarkan kepadanya,karena boleh jadi ia akan membuat kita kecewa. Allah adalah satu-satunya sandaran bagi kita. Kita tidak mungkin menemukan alasan untuk menolak akan kemahakuasaan Allah dan kelemahan makhluk. Semoga semakin terdorong untuk senantiasa lebih baik dan lebih maju.