Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

GRADUATION

31 Maret 2012.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lebaran 1434 H

sabisa-bisa kudu bisa pasti bisa

Kunjungan

Sahabat-sahabat dari Yogyakarta.

Kegiatan

Lomba Penegak Pramuka.

Selasa, 11 November 2014

Desain Pengambangan Program Kompetensi Sosial-Emosional

Tulisan berikut merupakan ringkasan dan terjemahan dari hasil penelitian Vaida & Ghimbulut (2014), dengan judul:  Yourself. The Design, Structure and Content of the first Romanian Program on Social Emotional Competencies Development for Young Adults. Bisa di Download di http://search.proquest.com/docview/1553534591?accountid=25704

LatarBelakang Teoritis

Selain pengembangan professional (Profesional development), pengembangan pribadi (personaldevelopment) merupakan aspek penting dalam keberhasilan seseorang untuk terjun di masyarakat. Pengembangan pribadi merupakan sebuah usaha yang tepat dalam menemukan makna hidup, yang memberikan manfaat jelas pada: peningkatan perilaku positif dan mengurangi yang negatif, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan,pencegahan penggunaan alkohol, obat-obatan dan agresivitas, penurunan tingkat gangguan emosi, perbaiakan komunikasi, kerja tim dan kepemimpinan (Durlak, Weissberg & Pachan, 2010; Seal, Naumann, Scott & Royce-Davis, 2011). Pengembangan profesional mungkin telah berhasil dijalankan bagi anak muda tetapi pengembangan pribadi, seakan-akan tidak dianggappenting, padahal peengmabnagn pribadi merupakan hal penting dalam menjalankan kehidupan yangebih baik.
Pengembangan sosial-emosional sebagai salah bentuk pengembangan pribadi tentunya  merupakan sebuah proses peningkatan kompetensi sosial dan emosional yang menawarkan pengalaman dan lingkungan belajar yang tepat. Penekanannya terletak pada pembelajaran aktif dan pengembangan kompetensi yang mengarah pada sisi emosi, perilaku dan proses berpikir yang membantu seseorang menjadi anggota masyarakat yang sehat dan kompeten (Elias, 2003)
Konsep pengembangan kompetensi sosial-emosional merupakan integrasi dari teori tentang kecerdasan sosial (Thorndike, 1920; Gardner, 1993), kecerdasan emosional (Bar-On, 2006; Salovey & Mayer, 1990; Goleman, 1995) dan pengembangan kompetensi (Boyatzis, 1982) yang diterapkan untuk pendidikan (Seal et al., 2011).
Tidak seperti dimensi kecerdasan umum atau kepribadian, yang sifatnya tetap dari semenjak di kecil sampai dewasa, kompetensi dalam sosial-emosional khususnya, dapat ditingkatkan melalui proses pembelajaran (Kolb, 1984). Dengan cara ini, pengembangan kompetensi sosial-emosional sangat berguna dan penting pada usia berapa pun dan untuk setiap kelompok apapun (Seal, Boyatzis & Bailey, 2006).
Vaida (2010) telah menyusun dan menguji program pengembangan kompetensi sosial-emosional, yang darisudut teoritis. program ini didasarkan pada prinsip-prinsip Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT) (Ellis, 1979), yang merupakan salah satu pendekatan terbaik untuk pendidikan. Program pengembanga ini disebut Your-SELF (Your Social Emotional Learning Facilitator) yang terdiri dari pelatihan mingguan praktis dan bernilai guna  selama 3-4 jam.

The Design of Yourself Program
Untuk memahami bagaimana fungsi program pengembangan kompetensi sosial-emosional, seseorang harus mendefinisikanhal tersebut dalam tiga tingkat (Boyatzis, 2009): yaitu pada the competences level; (2) the social-emotional development level  dan (3) the life skills development level.

Pada level  kompetensi, kami mendasarkan desain kami pada definisi dari Waters & Sroufe (1983), yang beranggapan bahwa seorang individu akan memilki kompeten dalam bidang tertentu ketika dia mampu menemukan solusi adaptif terhadap masalah yang mungkin muncul dan memanfaatkan ketersidiaan peluang lingkungan. Pada pendekatan ini, kami memastikan untuk mengajarkan peserta dalam program untuk: (a) mengidentifikasi masalah di lingkungan mereka; (b) mencari solusi yang layak untuk masalah tersebut; (c) menerapkan dan menguji solusi ini dan (d) mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang menarik yang muncul di lapangan mereka.

Salah satu aspek yang paling penting tentang kompetensi adalah bahwa kompetensi dapat dikembangkan pada tahapan usia berapa pun. Penelitian yang dilakukan selama beberapa dekade terakhir telah membuktikan bahwa orang dapat mengubah perilaku mereka, sikap dan juga citra diri mereka menjadi lebih baik (Boyatzis, 2009). Kami menganggap hal-hal tersebut dari sudut emotive behaviour  education (Barlow, 1988), program pelatihan atau "self-help" program (Kanfer & Goldstein, 1991), yang berkesimpulan sama bahwa  seseorang memilki kemampuan untuk berubah, yang  ini karena adanya  pengembangan kompetensi, sehingga menyebabkan keahlian di daerah tertentu.

Pada tingkat sosial-emosional,kami  mendefinisikan konsep Johnson & Johnson (dalam Zins et al., 2004) yaitu sebagai bentuk keahlian dan keterampilan interpersonal serta pengembangan keterampilan prososial  yang memungkinkan tercapainya solusi yang akan dicapai . Pendekatan ini dimaksudkan untuk menawarkan kepada peserta kerangka yang tepat untuk mempraktekkan perilaku dan sikap prososial (menyadari kebutuhan orang lain, membantu orang lain, memulai proyek atau terlibat dalam proyek-proyek sosial), mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan, dan melatih kemampuan interaksi sosial.

Pada tingkat kecakapan hidup, kami menggunakan definisi  WHO (World Health Organization) yang didepfinisikan sebagai "kemampuan untuk menunjukkan perilaku positif dan adaptif yang memungkinkan individu untuk secara efisien mengatasi tantangan sehari-hari". Untuk pemahaman yang lebih baik, kami juga menggunakan definisi  UNICEF (United Nations International Children's Emergency Fund), yang menganggap kecakapan hidup sebagai "kemampuan psikososial adaptif dan perilaku positif yang memungkinkan individu menangani secara efektif tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari, yang dikelompokkan dalam tiga kategori keterampilan berupa: 1) keterampilan kognitif untuk menganalisis dan menggunakan informasi, 2) keterampilan pribadi untuk mengembangkan pribadi dan mengelola diri sendiri serta keterampilan antar-pribadi untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain ". Menguatkan dua definisi ini dengan UNESCO (United Nations Education, Science and Culture Organization) menggambarkan sepuluh kecakapan hidup penting yang harus dimiliki yaitu: problem solving, critical thinking, creative thinking, decision making, efficient communicationinterpersonal relationship skills, (self) awareness skills, empathy and coping with stressful or emotional situations. Badan kesehatan dunia WHO pun membagi kecakapan hidup ke dalam tiga kategori utama: (1) critical thinking and decision making skills (termasuk pemecahan masalah dan pengumpulan informasi); (2) interpersonal and communication skills (komunikasi verbal dan nonverbal, mendengarkan aktif, mengekspresikan emosi dan umpan balik, negosiasi dan perilaku asertif, empati, kerja tim); (3) adapting and self-management skills (keterampilan yang meningkatkan locus of control, harga diri, kesadaran diri, penetapan tujuan, manajemen wktu dan stres, kemampuan berpikir positif dan kemampuan relaksasi). 
Dari tiga pendekatan ini ( competence level, social-emotional skills and life skills), kami menyimpulkan bahwa banyak kemampuan tersebut hampir sama atau tumpang tindih. Karena itu dipilihlah yang sesuai dan mendukung dari tujuan program yang akan diselnggarakan.
Pada tahun 2007 dan 2013, the Collaborative for Academics in Social-Emotional Learning (CASEL), sebuah organisasi terbesar di dunia yang berfokus untuk mempelajari manfaat dari social emotional program, menawarkan panduan tentang penataan bentuk program. Mereka merekomendasika  akronim SAFE, yang berarti Sequential (percontohan), Active (keaktifan), Focus (Fokus), dan Explicit (kejelasan)  (Durlak et al, 2010 dalam Vaida & Ghimbulut 2014).  Sequential berarti suatu program harus mengandung dan menggunakan satu set kordinasi  dan kegiatan yang saling berhubungan, untuk membantu mencapai tujuan. Aktif berarti bahwa suatu program harus memberikan pembelajaran aktif untuk mengembangkan kemampuan baru. Fokus berarti bahwa program ini memiliki paling sedikit satu komponen yang didedikasikan untuk pengembangan kemampuan pribadi atau sosial. Dan eksplisit berarti bahwa program ini mengembangkan kemampuan khusus untuk pengembangan sosial-emosional, tidak hanya kemampuan umum.
Kami juga menggunakan panduan ini untuk praktik terbaik dan memeriksa bahwa program YourSELF  memilki empat kriteria yang disebutkan oleh Durlak et al. (2010): sekuensial, aktif, terfokus dan eksplisit.
a. Kami menyimpulkan bahwa program ini memiliki karakter yang berurutan, karena semua kegiatan dan latihan saling berhubungan dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan penelitian.
b. Karakter aktif diberikan dalam mayoritas kegiatan yang digunakan, dari metode presentasi,permainan peran, pembuka percakapan, latihan teambuilding, simulasi,dan semua kegiatan pada tujuan yang sama - yaitu memotivasi dan melibatkan peserta sehingga pembelajaran dan satu aktif.
c.   Karakter terfokus berasal dari sebagian besar komponen program, yang ditujukan untuk hal yang sama - mengembangkan kompetensi sosial-emosional peserta dalam program ini, untuk adaptasi yang lebih baik dengan kenyataan. Kegiatan khusus seperti pengenalan emosi, identifikasi kekuatan dan kelemahan, empati dan rasa hormat terhadap orang lain, pemecahan masalah, manajemen stres dan pengaturan hubungan baru, semuanya mengarah pada yang sama lima kategori utama tujuan umum yang membangun esensi dari perkembangan emosi sosial.
d.  Karakter eksplisit berasal dari semua informasi yang disajikan sejauh ini, informasi yang berfokus pada fakta bahwa Diri sebagai program berikut terutama untuk mengembangkan kompetensi sosial emosional (kesadaran diri dan kesadaran sosial, keterampilan sosial, rasa hormat terhadap orang lain, pengambilan keputusan dan drive untuk perubahan).

Berdasarkan meta-analisis yang sama (Durlak et al., 2010), para peneliti di CASEL menyusun panduan yang memungkinkan mereka yang tertarik di lapangan untuk memeriksa apakah sebuah program pembelajaran sosial-emosional tersebut merupakan program  pengembangan atau tidak (Newman, 2011 ). Oleh karena itu, untuk program yang akan dipertimbangkan dalam kategori ini, kriteria berikut harus terpenuhi:
a Program tersebut harus  efisien, berdasarkan desain eksperimental atau kuasi eksperimental.
b   Harus memiliki minimal satu hasil positif dan signifikan terhadap salah satu daerah yang diidentifikasi dalam meta-analisis Casel (Durlak et al, 2010)
c  Harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dengan program reguler lainnya dan tidak memerlukan kondisi khusus.
d  Harus dbangun bahwa pengembangan sosial-emosional memilki tujuan-tujuan yang mungkin tercapai.

Struktur dan Isi Program
Isi dari program ini mencakup semua lima bidang utama yang direkomendasikan oleh para ahli CASEL: self-awareness, self-management, social awareness, relationship skills and responsible decision making. Selain lima ini, kami pun merekomendasikan pa yangdisampaikan Seal et al. (2011): self respect/ respect towards others and leadership, as well as other categories considered essential for a good life adjustment: communication, teamwork as well as promoting mental and physical health
 
Kesimpulan
Kebutuhan dan kegunaan pelatihan yang berkesinambungan dan / pengembangan profesional pribadi untuk orang dewasa muda jelas, sebagaimana dibuktikan oleh teori human capital (Lucas, 1993). Secara umum, modal manusia dapat didefinisikan sebagai jenis pendidikan formal, dan pelatihan dalam pembangunan sosial-emosional tentu cocok dengan kategori ini. Di luar produktivitas, efisiensi pelatihan dapat diukur berdasarkan empat kriteria, menurut model Kirkpatrick (1987), dan pengalihan pengetahuan dan keterampilan (Kraiger, Ford & Salas, 1983). Kriteria pertama dalam model ini adalah reaksi, yaitu cara bereaksi terhadap pelatihan (dalam hal informasi, kegiatan, dan pelatih). Tujuannya adalah untuk membuat para peserta merasa bahwa mereka memiliki pengalaman yang berharga, karena pelatih telah dipersiapkan dengan baik, dan mereka ingin mengulang pengalaman itu. Kriteria kedua kekhawatiran pembelajaran, lebih tepatnya berapa banyak peserta belajar, yang dapat diukur dengan tujuan pembelajaran. Kriteria ketiga adalah tentang emosi dan perilaku atau cara peserta menggunakan informasi yang mereka peroleh dan bagaimana cara mereka menerapannya. Penting untuk diingat bahwa perubahan perilaku tertentu hanya muncul dalam kondisi yang tepat dan jika kadang-kadang hal itu tidak muncul, karena bisa disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka belum dihargai, bukan karena mereka belum belajar. Kriteria keempat dan terakhir dari model ini adalah tentang hasil, yang dapat diatur oleh pelatih atau pelaku sosial lainnya. Umumnya, mereka yang menghitung hasil dapat bermanfaat bagi semua orang yang terlibat.

Referensi
Bar-On, R. (2006). The Bar-On model of emotional-social intelligence (ESI). Psicothema, 18(suppl.), 13-25. 
Barlow, D. H. (1988). Anxiety and its disorders: The nature and treatment of anxiety and panic. New York: Guilford Press.
Boyatzis, R. E. (1982). The competent manager: A model for effective performance. NY: John Wiley & Sons.
Boyatzis, R. E. (2009). Competencies as a behavioral approach to emotional intelligence. Journal of Management Development, 28(9), 749-770.
CASEL (2013). CASEL Guide. Effective Social and Emotional Learning Programs, retrieved from http://casel.org/guide/ 
Durlak, J. A., Weissberg, R. P., & Pachan, M. (2010). A meta-analysis of after-school programs that seek to promote personal and social skills in children and adolescents.  American Journal of Community Psychology, 45, 294–309.
Elias, J.M. (2003).  Academic and Social  –  Emotional Learning.  International Academy of Education. Retrieved from http://www.ibe.unesco.org.
Gardner, H. (1993).  Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New York, NY: Basic Books.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: why it can matter more than IQ. New York: Bantam.
Kanfer F.H. & Goldstein A.P. (1991): Helping People Change. New York: Pergamon Press.
Kirkpatrick, D.L. (1976), Evaluation of training, in Craig, R.L. (Ed.), Training and Development Handbook, 2nd ed., McGraw-Hill, New York, NY, 301-319.
Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. New Jersey: Prentice-Hall.
Kraiger, K., Ford, J.K. and Salas, E. (1993). Application of cognitive, skill-based, and affective theories of learning outcomes to new methods of training evaluation, Journal of Applied Psychology, Vol. 78, 311-28.
Lucas,  R.E.  (1993).  Making a miracle, Econometrica,  vol.61,  251 –272.
Newman, J.Z. (2011).   Call for Evaluation Studies of Social and Emotional Learning Programs. CASEL: University of Illinois at Chicago. 
Salovey, P. & Mayer, J.D. (1990). Emotional Intelligence. Baywood Publishing. 
Seal, C. R., Boyatzis, R. E., & Bailey, J. R. (2006). Fostering emotional and social intelligence in organizations.  Organization Management Journal, 3(3), 190-209.
Seal, C.R., Naumann, S., Scott, A. & Royce-Davis, J. (2011). Social-emotional development: a new model of student learning in higher education. Research in Higher Education Journal, 10, 1-13.
Thorndike, E.L. (1920). Intelligence and its uses. Harper Magazine, 140, 227-235.
Vaida, S. (2012). The Effects of a Social Emotional Learning Program on the Thinking Pattern of a Group of University Students.  Problems of Psychology in the 21st Century, 4(4):62-70.
Waters, E., & Sroufe, L. A. (1983). Social competence as a developmental construct. Developmental Review, 3, 79–97.
Zins, J. E., Weissberg, R. P., Wang, M. C., & Walberg. H. J. (Eds.). (2004). Building academic success on social and emotional learning: What does the research say? New York: Teachers College Press.
 

Minggu, 09 November 2014

Bahasa Teguran



Di sebuah ruang keluarga, seorang ibu menegur putrinya kecilnya karena menggunkan smartphone miliknya. Si ibu bilang, “adek, pakai smartphone nya ade kalau mau download-download”.  Putri kecil itu cuma diam tidak menggubris.  Setelah itu si ibu bilang, “ade kalau ade pakai smarthphone nya ibu, nanti baterai nya cepat abis, ibu gak bisa jualan, ade gak bakal punya uang”. 

Dari percakapan itu saya belajar beberapa hal. Pertama, saya belajar bahwa seorang ibu harus bisa mendidik anaknya dengan kedisiplinan, dengan pembiasaan-pembiasaan yang membuat anaknya bisa lebih mandiri. Percakapan si ibu yang meminta anaknya untuk memakai smartphone nya sendiri, menujukan bahwa si ibu sudah membiasakan anaknya untuk mandiri dan bertanggungjawab akan barangnya sendiri (terlepas dari boleh apa tidaknya ngasih smartphone buat anak-anak).

Kemudian hal ke dua yang saya pelajari adalah tentang bahasa teguran yang dipakai.  Seperti hal nya percakapan di atas, si ibu menegur anaknya dengan bahasa ‘ancaman’. Barangkali bahasa seperti ini sudah lumrah dilakukan para ibu ketika menegur ibunya. “Nak jangan main kotor,  awas nanti ibu jewer; “nak kalau nakal terus nanti ibu kasih kamu ke orang lain lho”; nak jangan nangis, nak jangan ini, nak jangan itu.... Bahasa-bahasa teguran yang bernada ancaman ini langsung atapun tidak langsung sebenarnya telah membangun mental anak.

Alangkah lebih baiknya, kalo dalam  bahasa teguran itu, tidak ada nada ancaman. Tunjukanlah sesuatu yang secara nalar anak masuk, benar adanya,  tetapi tidak bernada ancaman. Misalnya dari percakapan di atas. Ketika si ibu bilang “adek, pakai smartphone nya ade ya kalau mau download-download”... “nanti baterai smartphone nya ibu abis”   sampai sana juga cukup. Tidak perlu ada tambahan embel-embel ancaman “ade ga bakal punya uang” atau lainnya. Selain itu, bahasa yang disampaikan tentunya harus berisi muatan nilai. “Pesan ade gak bakal uang” tadi se akan-akan mengajarkan pada anak bahwa uang merupakan hal yang palingberharga. Padahal, etika, kesopanan serta keagamaan merupakan nilai yang lebih tinggi dari sekedar uang. 

Memang tidak mudah untuk memilih bahasa yang tepat untuk disampaikan kepada anak-anak. Tetapi kita pasti bisa belajar, bisa membiasakan diri. Semoga dengan semakin banyak belajar, dan membiaskan diri untuk berbicara yang benar dan bernilai, proses pendidikan kita terhadap anak semakin berkualitas.

Allahu’alam
Hasbunallah wanikmal wakil