Tulisan berikut merupakan ringkasan dan terjemahan dari hasil penelitian Vaida & Ghimbulut
(2014), dengan judul: Yourself. The Design, Structure and Content of the first Romanian
Program on Social Emotional Competencies Development for Young Adults. Bisa di Download di http://search.proquest.com/docview/1553534591?accountid=25704
LatarBelakang Teoritis
Selain pengembangan professional (Profesional development), pengembangan pribadi (personaldevelopment) merupakan
aspek
penting dalam keberhasilan seseorang untuk terjun di masyarakat. Pengembangan pribadi merupakan sebuah usaha yang tepat dalam menemukan makna hidup,
yang memberikan manfaat jelas pada: peningkatan perilaku positif dan mengurangi yang
negatif, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan,pencegahan penggunaan alkohol, obat-obatan dan agresivitas, penurunan tingkat gangguan emosi, perbaiakan komunikasi, kerja tim dan kepemimpinan (Durlak, Weissberg & Pachan,
2010; Seal, Naumann,
Scott & Royce-Davis, 2011). Pengembangan profesional mungkin telah
berhasil dijalankan bagi anak muda tetapi pengembangan pribadi, seakan-akan
tidak dianggappenting, padahal peengmabnagn pribadi merupakan hal penting dalam
menjalankan kehidupan yangebih baik.
Pengembangan sosial-emosional sebagai salah bentuk pengembangan pribadi
tentunya merupakan sebuah proses
peningkatan kompetensi sosial dan emosional yang menawarkan pengalaman dan lingkungan belajar yang tepat. Penekanannya terletak pada pembelajaran aktif dan pengembangan kompetensi yang mengarah pada sisi emosi, perilaku dan proses berpikir yang membantu seseorang menjadi anggota masyarakat yang sehat dan kompeten (Elias,
2003).
Konsep pengembangan kompetensi sosial-emosional merupakan integrasi dari teori tentang kecerdasan
sosial (Thorndike, 1920; Gardner, 1993), kecerdasan
emosional (Bar-On, 2006; Salovey & Mayer,
1990; Goleman, 1995)
dan pengembangan kompetensi (Boyatzis, 1982) yang diterapkan untuk pendidikan (Seal et al., 2011).
Tidak seperti dimensi kecerdasan umum atau kepribadian,
yang sifatnya tetap dari semenjak di
kecil sampai dewasa, kompetensi dalam
sosial-emosional khususnya,
dapat ditingkatkan melalui proses
pembelajaran (Kolb, 1984).
Dengan cara ini, pengembangan kompetensi sosial-emosional
sangat berguna dan penting pada usia
berapa pun dan untuk setiap
kelompok apapun (Seal, Boyatzis & Bailey,
2006).
Vaida (2010) telah menyusun dan menguji program
pengembangan kompetensi sosial-emosional, yang darisudut teoritis. program ini didasarkan pada prinsip-prinsip
Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT) (Ellis, 1979), yang merupakan
salah satu pendekatan terbaik untuk pendidikan. Program pengembanga ini disebut Your-SELF (Your Social Emotional Learning
Facilitator) yang terdiri dari pelatihan mingguan praktis dan bernilai guna selama 3-4 jam.
The Design of Yourself Program
Untuk memahami bagaimana fungsi program pengembangan kompetensi sosial-emosional, seseorang harus
mendefinisikanhal tersebut dalam tiga tingkat (Boyatzis, 2009): yaitu pada the
competences level; (2) the social-emotional development level
dan (3) the life skills development
level.
Pada level kompetensi, kami mendasarkan desain kami pada definisi dari Waters & Sroufe (1983), yang beranggapan bahwa seorang individu akan memilki kompeten dalam bidang tertentu ketika dia mampu menemukan solusi adaptif terhadap masalah yang mungkin muncul dan memanfaatkan ketersidiaan peluang lingkungan. Pada pendekatan ini, kami memastikan untuk mengajarkan peserta dalam program untuk: (a) mengidentifikasi masalah di lingkungan mereka; (b) mencari solusi yang layak untuk masalah tersebut; (c) menerapkan dan menguji solusi ini dan (d) mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang menarik yang muncul di lapangan mereka.
Salah satu aspek yang paling penting tentang kompetensi adalah bahwa kompetensi dapat dikembangkan pada tahapan usia berapa pun. Penelitian yang dilakukan selama beberapa
dekade terakhir telah membuktikan bahwa orang dapat mengubah
perilaku mereka, sikap dan juga citra diri mereka menjadi lebih baik (Boyatzis, 2009). Kami menganggap hal-hal tersebut dari sudut emotive behaviour education (Barlow, 1988), program pelatihan
atau "self-help" program (Kanfer &
Goldstein, 1991), yang berkesimpulan sama – bahwa seseorang memilki kemampuan untuk berubah, yang ini karena adanya pengembangan kompetensi, sehingga menyebabkan keahlian di daerah tertentu.
Pada tingkat sosial-emosional,kami mendefinisikan konsep Johnson & Johnson (dalam Zins et al., 2004) yaitu sebagai bentuk keahlian dan keterampilan interpersonal serta pengembangan keterampilan prososial yang memungkinkan tercapainya solusi yang akan dicapai . Pendekatan ini dimaksudkan untuk menawarkan kepada peserta kerangka yang tepat untuk mempraktekkan perilaku dan sikap prososial (menyadari kebutuhan orang lain, membantu orang lain, memulai proyek atau terlibat dalam proyek-proyek sosial), mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan, dan melatih kemampuan interaksi sosial.
Pada tingkat kecakapan hidup, kami menggunakan definisi WHO (World Health Organization) yang didepfinisikan sebagai "kemampuan untuk menunjukkan
perilaku positif dan adaptif yang memungkinkan individu untuk secara efisien mengatasi tantangan sehari-hari". Untuk pemahaman yang lebih baik, kami juga
menggunakan definisi UNICEF (United Nations International Children's
Emergency Fund), yang menganggap kecakapan hidup sebagai "kemampuan
psikososial adaptif dan perilaku positif yang memungkinkan
individu menangani secara efektif tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari, yang dikelompokkan dalam tiga kategori keterampilan berupa: 1) keterampilan kognitif untuk menganalisis dan menggunakan
informasi, 2) keterampilan pribadi untuk mengembangkan pribadi dan mengelola diri sendiri serta keterampilan antar-pribadi untuk berkomunikasi
dan berinteraksi secara
efektif dengan orang lain ".
Menguatkan dua definisi
ini dengan UNESCO (United Nations Education, Science and Culture
Organization) menggambarkan sepuluh kecakapan hidup penting yang harus dimiliki yaitu: problem solving, critical thinking, creative thinking, decision making,
efficient communication, interpersonal
relationship skills, (self) awareness skills, empathy and
coping with stressful or emotional situations. Badan kesehatan dunia
WHO pun membagi kecakapan hidup ke dalam tiga kategori utama: (1)
critical thinking and decision making skills (termasuk pemecahan masalah dan pengumpulan informasi);
(2) interpersonal and communication
skills (komunikasi verbal dan nonverbal, mendengarkan aktif, mengekspresikan emosi dan umpan balik, negosiasi dan perilaku asertif, empati, kerja tim); (3)
adapting and self-management skills (keterampilan
yang meningkatkan locus of control,
harga diri, kesadaran diri, penetapan tujuan, manajemen wktu dan stres, kemampuan berpikir positif dan kemampuan relaksasi).
Dari tiga pendekatan ini ( competence level, social-emotional skills and
life skills), kami menyimpulkan bahwa banyak
kemampuan tersebut hampir sama atau tumpang tindih. Karena itu
dipilihlah yang sesuai dan mendukung dari tujuan program yang akan diselnggarakan.
Pada tahun 2007 dan 2013, the Collaborative
for Academics in Social-Emotional Learning (CASEL), sebuah organisasi terbesar di dunia
yang berfokus untuk mempelajari manfaat dari social emotional program, menawarkan panduan tentang penataan bentuk program. Mereka merekomendasika
akronim SAFE, yang berarti Sequential (percontohan), Active (keaktifan), Focus (Fokus), dan Explicit (kejelasan) (Durlak et al, 2010 dalam Vaida & Ghimbulut 2014). Sequential berarti suatu program harus mengandung dan menggunakan satu set kordinasi dan kegiatan yang saling berhubungan, untuk membantu mencapai tujuan.
Aktif berarti bahwa suatu program harus memberikan pembelajaran aktif untuk mengembangkan
kemampuan baru. Fokus berarti bahwa program ini memiliki paling sedikit satu komponen yang didedikasikan untuk pengembangan kemampuan pribadi atau sosial.
Dan eksplisit berarti
bahwa program ini mengembangkan
kemampuan khusus untuk pengembangan sosial-emosional, tidak hanya kemampuan umum.
Kami juga menggunakan panduan ini untuk
praktik terbaik dan memeriksa bahwa program YourSELF memilki empat kriteria yang disebutkan oleh Durlak et al. (2010): sekuensial, aktif, terfokus
dan eksplisit.
a. Kami menyimpulkan bahwa program ini memiliki karakter yang berurutan, karena semua kegiatan dan
latihan saling berhubungan dan
terkoordinasi untuk mencapai tujuan penelitian.
b. Karakter aktif diberikan
dalam mayoritas kegiatan yang digunakan, dari metode presentasi,permainan peran, pembuka percakapan,
latihan teambuilding, simulasi,dan semua kegiatan pada tujuan yang sama -
yaitu memotivasi dan melibatkan peserta sehingga
pembelajaran dan satu aktif.
c.
Karakter terfokus berasal dari sebagian
besar komponen program, yang
ditujukan untuk hal yang sama - mengembangkan kompetensi
sosial-emosional peserta
dalam program ini, untuk adaptasi yang lebih baik dengan kenyataan. Kegiatan khusus seperti pengenalan emosi, identifikasi kekuatan dan kelemahan, empati dan rasa hormat terhadap
orang lain, pemecahan masalah, manajemen stres dan pengaturan hubungan baru, semuanya mengarah pada yang sama lima kategori utama tujuan
umum yang membangun esensi dari
perkembangan emosi sosial.
d. Karakter eksplisit berasal dari semua
informasi yang disajikan sejauh ini,
informasi yang berfokus pada fakta bahwa Diri sebagai
program berikut terutama
untuk mengembangkan kompetensi sosial
emosional (kesadaran diri dan kesadaran
sosial, keterampilan sosial, rasa
hormat terhadap orang lain, pengambilan
keputusan dan drive untuk
perubahan).
Berdasarkan meta-analisis yang sama (Durlak et al., 2010), para peneliti di CASEL menyusun panduan yang memungkinkan mereka yang tertarik di lapangan untuk memeriksa apakah sebuah program pembelajaran sosial-emosional tersebut merupakan program pengembangan atau tidak (Newman, 2011 ). Oleh karena itu, untuk program yang akan dipertimbangkan dalam kategori ini, kriteria berikut harus terpenuhi:
a Program tersebut harus efisien, berdasarkan desain
eksperimental atau kuasi eksperimental.
b Harus memiliki minimal satu hasil
positif dan signifikan terhadap salah
satu daerah yang diidentifikasi dalam meta-analisis Casel
(Durlak et al,
2010)
c Harus disusun sedemikian rupa
sehingga dapat digunakan dengan program
reguler lainnya dan tidak memerlukan kondisi khusus.
d Harus dbangun bahwa pengembangan sosial-emosional memilki tujuan-tujuan yang mungkin tercapai.
Struktur dan Isi Program
Isi dari program ini mencakup semua lima bidang utama yang direkomendasikan oleh
para ahli CASEL: self-awareness,
self-management, social awareness, relationship skills and responsible decision
making. Selain lima ini, kami pun merekomendasikan
pa yangdisampaikan Seal et al. (2011): self respect/ respect towards others and leadership, as
well as other categories considered essential for a good life adjustment:
communication, teamwork as well as promoting mental and physical health
Kesimpulan
Kebutuhan dan kegunaan pelatihan yang berkesinambungan dan / pengembangan profesional pribadi untuk orang dewasa muda jelas, sebagaimana dibuktikan oleh teori human capital (Lucas, 1993). Secara
umum, modal manusia dapat
didefinisikan sebagai jenis
pendidikan formal, dan pelatihan dalam pembangunan sosial-emosional tentu cocok dengan kategori ini. Di luar produktivitas, efisiensi
pelatihan dapat diukur berdasarkan empat kriteria, menurut model Kirkpatrick (1987), dan pengalihan
pengetahuan dan keterampilan (Kraiger, Ford &
Salas, 1983). Kriteria
pertama dalam model ini adalah reaksi, yaitu
cara bereaksi terhadap pelatihan (dalam hal informasi, kegiatan, dan pelatih). Tujuannya adalah untuk membuat para peserta merasa bahwa mereka memiliki pengalaman yang berharga, karena pelatih telah
dipersiapkan dengan baik, dan mereka ingin mengulang pengalaman itu. Kriteria kedua kekhawatiran
pembelajaran, lebih tepatnya berapa
banyak peserta belajar, yang dapat
diukur dengan tujuan pembelajaran.
Kriteria ketiga adalah
tentang emosi dan perilaku atau cara peserta menggunakan
informasi yang mereka peroleh dan
bagaimana cara mereka menerapannya. Penting untuk diingat
bahwa perubahan perilaku tertentu
hanya muncul dalam kondisi yang tepat
dan jika kadang-kadang hal itu tidak muncul, karena bisa disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka belum dihargai, bukan karena mereka belum belajar. Kriteria
keempat dan terakhir dari model ini adalah tentang hasil, yang dapat diatur oleh pelatih
atau pelaku sosial lainnya. Umumnya,
mereka yang menghitung hasil
dapat bermanfaat bagi semua orang yang
terlibat.
Referensi
Bar-On, R. (2006). The Bar-On model of
emotional-social intelligence (ESI). Psicothema, 18(suppl.), 13-25.
Barlow, D. H. (1988). Anxiety and its
disorders: The nature and treatment of anxiety and panic. New York:
Guilford Press.
Boyatzis, R. E. (1982). The competent manager:
A model for effective performance. NY: John Wiley & Sons.
Boyatzis, R. E. (2009). Competencies as a
behavioral approach to emotional intelligence. Journal of Management
Development, 28(9), 749-770.
CASEL (2013). CASEL Guide. Effective Social
and Emotional Learning Programs, retrieved from http://casel.org/guide/
Durlak, J. A., Weissberg, R. P., & Pachan,
M. (2010). A meta-analysis of after-school programs that seek to promote
personal and social skills in children and adolescents. American Journal of Community Psychology, 45,
294–309.
Elias, J.M. (2003). Academic and Social –
Emotional Learning. International
Academy of Education. Retrieved from http://www.ibe.unesco.org.
Gardner, H. (1993). Frames of mind: The theory of multiple
intelligences. New York, NY: Basic Books.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence:
why it can matter more than IQ. New York: Bantam.
Kanfer F.H. & Goldstein A.P. (1991):
Helping People Change. New York: Pergamon Press.
Kirkpatrick, D.L. (1976), Evaluation of
training, in Craig, R.L. (Ed.), Training and Development Handbook, 2nd ed.,
McGraw-Hill, New York, NY, 301-319.
Kolb, D. A. (1984). Experiential learning:
Experience as the source of learning and development. New Jersey:
Prentice-Hall.
Kraiger, K., Ford, J.K. and Salas, E. (1993).
Application of cognitive, skill-based, and affective theories of learning
outcomes to new methods of training evaluation, Journal of Applied Psychology,
Vol. 78, 311-28.
Lucas,
R.E. (1993). Making a miracle, Econometrica, vol.61,
251 –272.
Newman, J.Z. (2011). Call for Evaluation Studies of Social and
Emotional Learning Programs. CASEL: University of Illinois at Chicago.
Salovey, P. & Mayer, J.D. (1990).
Emotional Intelligence. Baywood Publishing.
Seal, C. R., Boyatzis, R. E., & Bailey, J.
R. (2006). Fostering emotional and social intelligence in organizations. Organization Management Journal, 3(3), 190-209.
Seal, C.R., Naumann, S., Scott, A. &
Royce-Davis, J. (2011). Social-emotional development: a new model of student
learning in higher education. Research in Higher Education Journal, 10, 1-13.
Thorndike, E.L. (1920). Intelligence and its
uses. Harper Magazine, 140, 227-235.
Vaida, S. (2012). The Effects of a Social
Emotional Learning Program on the Thinking Pattern of a Group of University
Students. Problems of Psychology in the
21st Century, 4(4):62-70.
Waters, E., & Sroufe, L. A. (1983). Social
competence as a developmental construct. Developmental Review, 3, 79–97.
Zins, J. E., Weissberg, R. P., Wang, M. C., &
Walberg. H. J. (Eds.). (2004). Building academic success on social and
emotional learning: What does the research say? New York: Teachers College
Press.