Di sebuah ruang keluarga, seorang ibu menegur putrinya kecilnya karena
menggunkan smartphone miliknya. Si ibu bilang, “adek, pakai smartphone nya ade
kalau mau download-download”. Putri
kecil itu cuma diam tidak menggubris.
Setelah itu si ibu bilang, “ade kalau ade pakai smarthphone nya ibu,
nanti baterai nya cepat abis, ibu gak bisa jualan, ade gak bakal punya uang”.
Dari percakapan itu saya belajar beberapa hal. Pertama, saya belajar bahwa
seorang ibu harus bisa mendidik anaknya dengan kedisiplinan, dengan
pembiasaan-pembiasaan yang membuat anaknya bisa lebih mandiri. Percakapan si
ibu yang meminta anaknya untuk memakai smartphone nya sendiri, menujukan bahwa
si ibu sudah membiasakan anaknya untuk mandiri dan bertanggungjawab akan
barangnya sendiri (terlepas dari boleh apa tidaknya ngasih smartphone buat
anak-anak).
Kemudian hal ke dua yang saya pelajari adalah tentang bahasa teguran yang
dipakai. Seperti hal nya percakapan di
atas, si ibu menegur anaknya dengan bahasa ‘ancaman’. Barangkali bahasa seperti
ini sudah lumrah dilakukan para ibu ketika menegur ibunya. “Nak jangan main
kotor, awas nanti ibu jewer; “nak kalau
nakal terus nanti ibu kasih kamu ke orang lain lho”; nak jangan nangis, nak
jangan ini, nak jangan itu.... Bahasa-bahasa teguran yang bernada ancaman ini langsung
atapun tidak langsung sebenarnya telah membangun mental anak.
Alangkah lebih baiknya, kalo dalam
bahasa teguran itu, tidak ada nada ancaman. Tunjukanlah sesuatu yang
secara nalar anak masuk, benar adanya, tetapi tidak bernada ancaman. Misalnya dari
percakapan di atas. Ketika si ibu bilang “adek, pakai smartphone nya ade ya kalau
mau download-download”... “nanti baterai smartphone nya ibu abis” sampai
sana juga cukup. Tidak perlu ada tambahan embel-embel ancaman “ade ga bakal
punya uang” atau lainnya. Selain itu, bahasa yang disampaikan tentunya harus
berisi muatan nilai. “Pesan ade gak bakal uang” tadi se akan-akan mengajarkan
pada anak bahwa uang merupakan hal yang palingberharga. Padahal, etika, kesopanan
serta keagamaan merupakan nilai yang lebih tinggi dari sekedar uang.
Memang tidak mudah untuk memilih bahasa yang tepat untuk disampaikan kepada
anak-anak. Tetapi kita pasti bisa belajar, bisa membiasakan diri. Semoga dengan
semakin banyak belajar, dan membiaskan diri untuk berbicara yang benar dan bernilai,
proses pendidikan kita terhadap anak semakin berkualitas.
Allahu’alam
Hasbunallah wanikmal wakil