Pages

Minggu, 09 November 2014

Bahasa Teguran



Di sebuah ruang keluarga, seorang ibu menegur putrinya kecilnya karena menggunkan smartphone miliknya. Si ibu bilang, “adek, pakai smartphone nya ade kalau mau download-download”.  Putri kecil itu cuma diam tidak menggubris.  Setelah itu si ibu bilang, “ade kalau ade pakai smarthphone nya ibu, nanti baterai nya cepat abis, ibu gak bisa jualan, ade gak bakal punya uang”. 

Dari percakapan itu saya belajar beberapa hal. Pertama, saya belajar bahwa seorang ibu harus bisa mendidik anaknya dengan kedisiplinan, dengan pembiasaan-pembiasaan yang membuat anaknya bisa lebih mandiri. Percakapan si ibu yang meminta anaknya untuk memakai smartphone nya sendiri, menujukan bahwa si ibu sudah membiasakan anaknya untuk mandiri dan bertanggungjawab akan barangnya sendiri (terlepas dari boleh apa tidaknya ngasih smartphone buat anak-anak).

Kemudian hal ke dua yang saya pelajari adalah tentang bahasa teguran yang dipakai.  Seperti hal nya percakapan di atas, si ibu menegur anaknya dengan bahasa ‘ancaman’. Barangkali bahasa seperti ini sudah lumrah dilakukan para ibu ketika menegur ibunya. “Nak jangan main kotor,  awas nanti ibu jewer; “nak kalau nakal terus nanti ibu kasih kamu ke orang lain lho”; nak jangan nangis, nak jangan ini, nak jangan itu.... Bahasa-bahasa teguran yang bernada ancaman ini langsung atapun tidak langsung sebenarnya telah membangun mental anak.

Alangkah lebih baiknya, kalo dalam  bahasa teguran itu, tidak ada nada ancaman. Tunjukanlah sesuatu yang secara nalar anak masuk, benar adanya,  tetapi tidak bernada ancaman. Misalnya dari percakapan di atas. Ketika si ibu bilang “adek, pakai smartphone nya ade ya kalau mau download-download”... “nanti baterai smartphone nya ibu abis”   sampai sana juga cukup. Tidak perlu ada tambahan embel-embel ancaman “ade ga bakal punya uang” atau lainnya. Selain itu, bahasa yang disampaikan tentunya harus berisi muatan nilai. “Pesan ade gak bakal uang” tadi se akan-akan mengajarkan pada anak bahwa uang merupakan hal yang palingberharga. Padahal, etika, kesopanan serta keagamaan merupakan nilai yang lebih tinggi dari sekedar uang. 

Memang tidak mudah untuk memilih bahasa yang tepat untuk disampaikan kepada anak-anak. Tetapi kita pasti bisa belajar, bisa membiasakan diri. Semoga dengan semakin banyak belajar, dan membiaskan diri untuk berbicara yang benar dan bernilai, proses pendidikan kita terhadap anak semakin berkualitas.

Allahu’alam
Hasbunallah wanikmal wakil