Oleh : Emha Ainun Nadjib
Bisakah luka yang teramat dalam ini nantinya akan sembuh, bisakah
kekecewan dan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta
saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis, adakah kemungkinan kita
merangkak naik kebumi dari jurang yang teramat curam dan dalam, akankah
api akan berkobar-kobar lagi apakah asap akan membumbung tinggi dan
memenuhi angkasa tanah air, akankah kita akan bertabrakan lagi jarah
menjarah dengan pengorbanan yang tak terkirakan, adakah kita tahu apa
yang sebenarnya sedang kita jalani, bersediakah sebenarnya kita untuk
tau persis apa yang sesungguhnya kita cari, cakrawala manakah yang
menjadi tujuan sebenarnya langkah-langkah kita, pernahkah kita bertanya
bagaimana melangkah yang , pernakah kita mencoba menyesali hal-hal yang
barangkali perlu kita sesali dari prilaku-prilaku kita yang kemarin,
bisakah kita menumbuhkan kerendah hatian dibalik kebanggaan-kebanggaan,
masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk
sesekali berkata pada diri kita sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya
mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan ia tetapi juga kita masih
tersediakah peluang didalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun
saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barang kali menyakitkan diri
kita sendiri mencari hal-hal yang benar-benar kita butuhkan supaya
sakit…sakit..sakit kita ini benar benar sembuh total, sekurang-kurang
dengan perasaan santai kepada diri kita sendiri untuk menyadari dengan
sportif bahwa yang mesti disembuhkan bukanlah yang berada diluar tubuh
kita tetapi didalam diri kita, yang perlu utama kita lakukan adalah
penyembuhan diri yang kita yakini harus betul-betul disembuhkan justru
adalah segala sesuatu yang berlaku didalam hati dan akal pikiran kita.
Saya ingin mengajak engkau semua memasuki dunia Lir Ilir……(Lir iLir….Lir
iLir….Tandure woh sumilir tak ijo royo-royo tak sengguh temanten
anyar……)
Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita,
tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri
namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair
itu telah Ia lantunkan dan tak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah
paham, padahal kata-kata beliau mengeja kehidupan kita ini sendiri,
alfa….beta..alif…ba….’ ta’….kebingungan sejarah kita dari hari-kehari,
sejarah tentang sebuah negri yang puncak kerusakannya terletak pada
ketidak sanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu
sudah sedemikian tidak terperi “menggeliatlah dari matimu!!! tutur sang
Sunan…” Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari
nyenyak tidurmu sungguh negri ini adalah penggalan Surga!! Surga
seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan
cipratan keindahan itu bernama Indonesia Raya. Kau bisa tanam benih
kesejahteraanapa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan
ditengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra.
Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini,
kita telah memboroskan anugerah tuhan ini dengan bercocok tanam
ketidakadilan dan panen-panen kerakusan. (Cah angon….cah angon penekno
blimbing kuwi…..lunyu-lunyu penekno..kanggo mbasuh dhodot iro…) kanjeng
sunan tidak memilih figure misalnya (Pak Jendral…Pak Jendral,,,,) juga
bukan intelektual, Ulama-ulama’, seniman, sastrawan atau apapun, tetapi
cah angon, beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwi bukan (Penekno
pelem kuwi….)bukan penekno sawo kuwi, bukan penekno buah yang lain, tapi
belimbing bergigir lima terserah apa tafsirmu tentang lima, yang jelas
harus ada yang memanjat pohon yang licin itu, lunyu…lunyu penekno…agar
belimbing bisa kita capai bersama dan yang harus memanjat adalah cah
angon anak gembala, tentu saja dia boleh seorang doctor, kyai, ulama,
seniman, sastrawan atau siapapun, namun dia harus memiliki daya angon
daya menggembalakan kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter
untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesame saudara sebangsa,
determinasi yang menciptakan garis besutan kedamaian bersama, pemancar
kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima semua warna, semua golongan,
semua kecendrungan, bocah angon adalah pemimpin nasional, bukan tokoh
golongan atau pemuka suatu grombolan.
Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon
harus memanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang
dirobohkan atau diperebutkan dan air sari pati belimbing gigir lima itu
diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah
akhlak, pakaian adalah yang menjadikan manusia bukan binatang kalau
engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu
maka engkau kehilangan harkatmu sebagai manusia.
Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia, pakaian adalah
pegangan nilai, landasan moral, dan system nilai. Sistem nilai itulah
yang harus kita cuci dengan pedoman lima! Satu syair tidak bisa
diselesaikan ditafsirkan dengan seribu jilid buku, satu tembang syair
tidak selesai ditafsirkan dengan waktu dan seribu orang. Kami ingin
mengajakmu untuk berkeliling untuk memandang warna-warni yang
bermacam-macam dan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing, agar
kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita.