Pengetahuan memiliki jarak tertentu dengan ilmu, walaupun dalam kebahasaan, kata pengetahuan selalu bersatu dengan ilmu menjadi ilmu pengetahuan. Ilmu baru terjadi ketika ia telah menyatu dengan diri kita, bukan hanya sekedar kita tahu, tapi ilmu juga ditandai oleh realitas menyeluruh, dimana pengatahuan menjadi bagian dari kita, dari badan kita, akal fikir kita, emosi kita dan termasuk kearifan jiwa kita. Pengatahuan baru sekedar tataran rendah dari persyaratan eksistensi manusia.
Ilmu "Makan sejati" ialah makan
sungguh-sungguh untuk perut. adapun kebanyakan kita lakukan selama ini
adalah memberi makan kepada nafsu. Perut itu terbatas, karena itu Allah
mengajarinya untuk tahu membatasi diri. Sementara nafsu adalah api yang
tiada terhingga sekala perbesaran dan pemuaiannya.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tetapi untuk berhenti sebelum kenyang, manusia memerlukan
dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia juga
memerlukan nalar ilmu dan kearifan yang lebih tinggi agar ia memperoleh
ketepatan pula dalam aktivitas "makan" yang lain di bidang-bidang
kehidupan.
Ilmu makan yang diajarkan Rasulullah "hanya makan ketika
lapar dan berhenti makan sebelum kenyang" juga berlaku untuk segala
makan dalam kehidupan lainnya. Alangkah sedihnya melihat manusia yang
tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta banyak manusia
yang tidak habis-habis makan, padahal ia amat kekenyangan...
Sumber: Emha Ainun
Najib, 2012, Tuhan Pun Berpuasa. Jakarta: Kompas Media Nusantara. hal: 35-43)
Minggu, 17 Maret 2013
Ilmu Makan Sejati
Minggu, Maret 17, 2013