Belajar dari sahabat adalah bagian dari belajar untuk benar, karena para sahabat sudah terjamin amalannya dengan amalan yang benar yang sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah lewat RasulNya. Sahabat nabi adalah tokoh yang mesti kita ambil banyak pelajaran darinya, dari kesabarannnya, dari keta'atannya, dan kekuatan aqidahnya. Mungkin banyak dari kita mengidolakan tokoh-tokoh yang sepertinya sangat inspiratif dan pantas ditiru. Itu sah-sah saja. Tapi mencontoh teladan yang sudah dijamin dengan surgaNya itu lebih baik, dan lebih di anjurkan. Caranya mudah saja, kenali mereka, dan lakukan apa yang mereka lakukan. Hasbunallah wanikmal wakil.
MUSH'AB BIN UMAIR
Mush'ab bin Umair salah seorang sahabat Muhammad . Alangkah baiknya bila
kita memulai kisah di buku ini dengan dirinya.
Mush'ab bin Umair
adalah seorang remaja Quraisy terkemuka, paling tampan,
penuh dengan jiwa dan semangat muda. Sejarawan dan ahli riwayat
menjelaskan masa mudanya dengan ungkapan, "Seorang penduduk Mekkah yang
mempunyai nama paling harum."
Dia lahir dan
dibesarkan dalam kesenangan serta tumbuh dalam lingkungannya. Mungkin tidak
seorang pun di antara anak-anak muda Mekkah yang beruntung dimanjakan oleh
kedua orang tuanya sedemikian rupa sebagaimana Mush'ab bin Umair.
Mungkinkah anak
muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja, menjadi buah bibir
gadis-gadis Mekkah, dan menjadi bintang di
tempat-tempat pertemuan, akan berubah menjadi pelaku cerita tentang keimanan dan kepahlawanan?
Demi Allah,
kisah Mush'ab bin Umair atau yang dijuluki oleh kaum muslimin dengan sebutan "Mush'ab
Yang Baik" adalah kisah yang penuh pesona. la merupakan salah
satu di antara orang-orang yang ditempa oleh Islam dan dididik oleh Muhammad Namun, bagaimana sosok sejatinya?
Sungguh, kisah
hidupnya merupakan suatu kehormatan bagi seluruh umat manusia. Suatu hari, anak muda ini mendengar tentang Muhammad
Al-Amin yang mulai menjadi perhatianbagipendudukMekkah; bahwa
Muhammad menyatakan
dirinya telah diutus oleh Allah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan, sebagai penyeru yang mengajak umat beribadah
kepada Allah Yang Maha Esa.
Saat siang dan
malam perhatian penduduk Mekkah tidak lepas dari berita itu.
Ketika yang ada hanya perbincangan tentang Rasulullah dan agama yang
dibawanya, anak muda yang manja ini paling banyak mendengar berita
itu.
Meskipun usianya
masih belia, ia menjadi bunga di setiap tempat pertemuan dan
perkumpulan. Setiap pertemuan apa pun, mereka selalu berharap Mush'ab
hadir di dalamnya. Penampilannya yang anggun dan otaknya yang cerdas merupakan
keistimewaan Ibnu Umair, yang mampu membuka
semua hati dan pintu.
Mush'ab telah mendengar bahwa
Rasulullah; bersama pengikutnya sering mengadakan pertemuan di suatu tempat yang
jauh dari gangguan dan ancaman orang-orang Quraisy. Pertemuan itu dilaksanakan
di bukit Shafa di rumah AI-Al-Argam bin Abul Al-Arqam.
Tanpa berpikir
panjang dan tanpa seorang pun yang menemani, pada suatu senja is
pergi ke rumah Al-Arqam. Kerinduan dan rasa penasaran telah
mendorongnya melakukan itu.
Di tempat itulah, Rasulullah bertemu dengan para sahabatnya, untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur'an kepada mereka
dan shalat bersama mereka, menghadap
kepada Allah Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa.
Ketika Mush'ab baru saja duduk,
ayat-ayat Al-Qur'an mulai mengalir dari kalbu
Rasulullah, bergema melalui kedua bibir beliau, mengalir sampai ke telinga dan meresap ke dalam hati para
pendengar. Di senja itu hati Mush'ab
telah berubah menjadi hati yang tunduk oleh ayat-ayat AlQuran. Keharuan yang is rasakan hampir-hampir saj
a membuat tubuhnya terangkat dari
tempat duduknya. Ia seolah-olah terbang oleh
perasa gembira. Tetapi,
Rasulullah 40 mengulurkan tangannya yang penuh kasih sayang dan
mengurut dada pemuda yang sedang bergejolak itu. Tibatiba, hatinya berubah tenang dan
damai, bagai lautan yang dalam.
Pemuda yang baru
saja masuk Islam dan beriman itu tampak telah memiliki hikmah
yang leas dan berlipat ganda dari ukuran usianya. Ia mempunyai
kepekatan hati yang mampu mengubah jalan sejarah.
Ibunda Mush'ab,
Khannas binti Malik, adalah sosok ibu yang memiliki
kekuatan kepribadian yang cemerlang. Pesona pribadinya itu telah membuatnya
disegani. Setelah memeluk Islam, tidak ada sosok yang paling
membuat Mush'ab khawatir dan takut di muka bumi ini selain ibundanya.
Seandainya
Mekkah, dengan segala patung, tokoh-tokoh terhormat, dan padang
pasirnya membentuk sebuah formasi yang mengepung dan memusuhinya,
Mush'ab akan menganggap itu bukanlah musuh yang berat saat itu. Tetapi, bila musuh
itu adalah ibunya, inilah kekhawatiran yang
membuatnya gelisah.
Dia berpikir
cepat dan memutuskan untuk menyembunyikan keislamannya, kecuali jika Allah
berkehendak lain. Tetapi, is tetap bolakbalik
ke Darul Al-Arqam dan bermajelis bersama Rasulullah . Dia benarbenar merasa tenteram dengan menjadi orang yang beriman dan tetap berupaya menghindari kemurkaan ibunya, yang sampai
saat itu tidak tahu sama sekali cerita tentang keislamannya.
Hanya saja, di
Mekkah tiada rahasia yang tersembunyi. Mata dan telinga
orang-orang Quraisy ada di setiap tempat mengikuti setiap langkah dan
menyusuri setiap jejak. Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab ketika
memasuki rumah AL-Argam secara diam-diam. Kali lain, Utsman melihatnya shalat seperti yang
dilakukan oleh Muhammad , . la pun
segera menemui ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.
Mush'ab berdiri
di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekkah yang
berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang benar-benar yakin dan
mantap, Mush'ab membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang disampaikan oleh Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan
kemuliaan; kejujuran dan ketakwaan.
Ketika sang ibu
hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras,
tangan yang terayun bagai anak panah itu tiba-tiba lunglai dan jatuh
terkulai di hadapan cahaya yang membuat wajah yang telah berseri cemerlang itu
kian berwibawa dan tenang. Kewibawaannya telah menimbulkan
penghormatan dan ketenangannya menumbuhkan kepercayaan.
Sebagai seorang
ibu, ibunda Mush'ab tidak tega memukul dan menyakiti putranya.
Tetapi pengaruh berhala-berhala terhadap dirinya membuat dirinya
harus bertindak dengan cara lain. la membawa putranya itu ke ruang yang
terisolir di dalam rumahnya, lalu mengurungnya di dalam ruangan
itu dan ditutup rapat-rapat.
Mush'ab tinggal
dalam kurungan itu sekian lama hingga beberapa orang di antara kaum muslimin hijrah
ke Habasyah (Etiopia). Mendengar berita hijrah ini Mush'ab pun mencari
muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan
penjaga-penjaganya, lalu hijrah ke Habasyah dengan penuh ketaatan, la tinggal di sana bersama
saudara-saudaranya kaum Muhajirin, lalu
pulang ke Mekkah.
Kemudian ia pergi lagi untuk hijrah kedua bersama para sahabat atas
titah Rasulullah, dan karena taat kepada beliau. Tetapi, di Habasyah maupun di Mekkah
tidak ada bedanya bagi Mush'ab. Ujian dan penderitaan yang
harus dihadapi Mush'ab kian meningkat tanpa kenal waktu dan
tempat.
Mush'ab telah berhasil membentuk pola kehidupannya dengan format baru sesuai
dengan yang dicontohkan oleh sosok pilihan, Muhammad "Dia kini telah sampai pada keyakinan bahwa hidupnya
sudah sepantasnya dipersembahkan
untuk Penciptanya Yang Maha tinggi, Rabb-nya
Yang Maha-agung.
Suatu hari ia muncul di
hadapan beberapa kaum muslimin yang sedang duduk di sekeliling Rasulullah Saat memandang Mush'ab, mereka semua menundukkan kepala dan merasa
prihatin. Beberapa orang di antara mereka berlinang air mata karena
terharu. Hal itu karena mereka melihat
Mush'ab memakai jubah usang yang penuh dengan tambalan. Mereka teringat
penampilannya sebelum masuk Islam, ketika pakaiannya bagaikan bunga-bunga di taman hijau yang terawat dan menyebarkan bau yang wangi.
Rasulullah sendiri menatapnya dengan
pandangan yang bijaksana. Pandangan
yang penuh rasa syukur dan kasih sayang. Kedua bibir beliau menyunggingkan senyuman mulia, seraya bersabda:
`Aku
telah mengetahui Mush'ab ini sebelumnya. Tidak ada pemuda Mekkah yang lebih dimanja oleh orangtuanya seperti dirinya.
Kemudian ia meninggalkan itu semua karena cinta kepadaAllah dan
Rasul-Nya."
Sejak ibunya merasa putus
asa untuk mengembalikan Mush'ab kepada agama yang lama, segala fasilitas yang dahulu
dinikmatinya dihentikan. Bahkan, ibunya tdak sudi nasinya dimakan orang yang telah
mengingkari berhala. Sang ibu tega membiarkannya menanggung derita kemurkaannya, walau itu
adalah anak kandungnya sendiri.
Akhir pertemuan Mush'ab
dengan ibunya adalah ketika perempuan itu hendak mengurungnya kembali setelah ia pulang dari Habasyah. la pun bersumpah dan menyatakan
tekadnya untuk membunuh orangorang yang membantu melaksanakan rencananya. Karena sang
ibu telah mengetahui kebulatan tekad putranya yang tdak bisa ditawar lagi, tdak ada
jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush'ab pun tdak
kuasa menahan tangis.
Perpisahan itu menggambarkan
kepada kita kegigihan yang luar biasa dari pihak ibu dalam kekafiran,
sebaliknya kebulatan tekad sangat kuat dari pihak anak dalam mempertahankan
keimanan. Sang ibu mengusirnya dari rumah. Dia berkata, "Pergilah
sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi."
Mush'ab menghampiri ibunya
seraya berkata, "Wahai Bunda! Saya ingin menyampaikan nasihat
kepada bunda, dan ananda merasa kasihan kepadamu. Saksikanlah bahwa
tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya."
Ibunya menjawab dengan
penuh emosi dan kesal, "Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke
dalam agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan akalku akan melemah."
Mush'ab kini meninggalkan
kemewahan dan kesenangan yang dinikmatinya selama ini, dan memilih hidup miskin dan
sengsara. Pemuda berpenampilan mewah dan wangi itu kini telah menjadi seorang
melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang. Satu hari ia adakalanya makan dan beberapa hari
menderita lapar. Tetapi, jiwanya yang telah dihiasi dengan akidah yang
suci dan memancar oleh cahaya Ilahi, telah mengubah dirinya menjadi
seorang manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.
Suatu saat Rasulullah memilih Mush'ab untuk
melakukan tugas yang paling agung saat itu. Ia menjadi utusan Rasulullah ke Madinah untuk mengajarkan agama
kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di bukit Aqabah, mengajak orang-orang yang lain agar menganut agama Allah,
dan mempersiapkan Madinah untuk hijrah yang agung.
Ketika itu sebenarnya masih
banyak tokoh yang lebih tua di kalangan sahabat, lebih berpengaruh,
dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah; daripada Mush'ab. Tetapi,
Rasulullah menjatuhkan
pilihannya kepada "Mush'ab yang Baik". Beliau menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas
yang besar di pundak pemuda itu, dan
menyerahkan nasib agama Islam kepadanya di Madinah, yang tidak lama lagi akan menjadi Darul Hijrah,
pusat para dai dan dakwah, dan markas para pengemban misi Islam dan
prajurit perang.
Mush'ab memikul amanat itu
dengan bekal kearifan pikir dan kemuliaan akhlak yang dikaruniakan Allah kepadanya.
Kezuhudan, kejujuran, dan kesungguhan hatinya telah berhasil melunakkan dan menawan
hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.
Pada saat awal tiba di Madinah, yang menganut agama Islam
di sana hanya dua belas
orang, yang telah berbaiat di bukit Aqabah. Tetapi, beberapa bulan
kemudian, banyak orang bersedia memenuhi panggilan Allah dan
Rasul-Nya.
Pada musim haji
berikutnya setelah tahun Perjanjian Aqabah, kaum muslimin Madinah
mengirim utusan yang mewakili mereka menemui Nab. Jumlah mereka adalah tujuh
puluh mukmin laki-laki dan perempuan. Mereka berangkat dipimpin oleh guru mereka,
yang tidak lain
adalah orang yang diutus oleh Nabij, kepada mereka, yaitu "Mush'ab Yang
Baik".
Dengan kesopanan
dan kebaikan yang ditunjukkan, Mush'ab bin Umair telah menjadi bukti bahwa
Rasulullah tahu bagaimana memilih orang yang tepat. Ia memahami tugas dengan sepenuhnya, dan mampu menempatkan diri pada batas-batas yang telah ditetapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada agama Allah,
menyampaikan berita gembira tentang
agama-Nya yang mengajak manusia menuju hidayah Allah, membimbing mereka ke jalan yang lurus. Tugasnya hanyalah menyampaikan agama Allah seperti tugas Rasulullah
yang diimaninya.
Di Madinah
Mush'ab tinggal sebagai tamu di rumah As'ad bin Zurarah. la
bersama As'ad mengunjungi kabilah-kabilah, rumahrumah dan tempat
pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Kitab Suci Rabbnya, yang
telah ia ketahui. Mereka berdua menyampaikan kalimat Allah "bahwa Allah adalah Ilah
Yang Maha Esa" secara hati-hati.
Mush'ab pernah
menghadapi beberapa peristiwa yang mengancam keselamatan diri
dan sahabatnya, yang nyaris celaka jika tanpa kecerdasan akal dan
kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang
memberikan petuah kepada orang-orang, tiba-tiba disergap oleh Usaid
bin Al-Hudhair, pemimpin kabilah Abdul Asyhal di Madinah. Usaid menodong
Mush'ab dengan belati yang terhunus.
Dia sangat murka
dan sakit hati menyaksikan Mush'ab yang datang untuk
menyelewengkan kaumnya dari agama mereka, membujuk mereka agar meninggalkan
tuhan-tuhan mereka, dan menceritakan Allah Yang Maha Esa yang belum pernah
mereka ketahui sebelum itu. Tuhan-tuhan yang selama ini mereka kenal bisa dilihat
dengan jelas terpajang di tempatnya dan bila seseorang berkepentingan, ia tahu di mana tempat Tuhannya.
Dia bisa langsung menghadap tuhannya untuk membparkan
kesulitan serta menyampaikan permohonan. Demikianlah yang tergambar
dan terbayang dalam pikiran suku Abdul Asyhal. Berbeda dengan Rabb
Muhammad, yang sedang
didakwahkan oleh utusan yang datang kepada mereka itu; tiada seorang pun yang
mengetahui tempatNya atau melihat-Nya.
Saat kaum
muslimin yang sedang duduk bersama Mush'ab melihat kedatangan
Usaid bin Al-Hudhair dengan membawa kemurkaan bagaikan api yang
berkobar, mereka pun merasa khawatir. Tetapi, "Mush'ab Yang Baik" tetap tenang, percaya
diri, dan menunjukkan kegembiraan.
Bagaikan singa
hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush'ab dan As'ad bin
Zurarah, seraya berkata, "Apa maksud kalian datang ke kampung kami?
Apakah kalian hendak membodohi orang-orang yang lemah di antara
kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika kalian tidak ingin mati!"
Bagaikan samudra yang tenang dan
dalam; laksana cahaya fajar yang ceria dan
damai, ketulusan hati "Mush'ab Yang Baik" mampu menggerakkan lidahnya untuk mengeluarkan ucapan
yang lembut, "Mengapa Anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya Anda menyukai, Anda
dapat menerimanya. Sebaliknya, jika tidak, kami akan menghentikan apa
yang Anda benci."
Usaid adalah
sosok yang berakal cerdas. Dalam hal ini, ia melihat bahwa Mush'ab
mengajaknya berdialog dan meminta pertimbangan kepada hati
nuraninya sendiri. ia hanya dimohon
bersedia mendengar, bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush'ab, dan jika tidak, Mush'ab
berjanji akan meninggalkan kampung dan penduduknya untuk mencari tempat dan masyarakat
lain, dengan tidak merugikan orang lain ataupun dirugikan. Ketika itulah, Usaid
menjawab, "Sekarang aku insaf."
Dia pun melemparkan belatinya ke
tanah dan duduk mendengarkan. Ketika Mush'ab
membacakan ayat-ayat AL-Qur'an dan menguraikan seruan yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah , dada
Usaid mulai terbuka dan bercahaya,
berdetak mengikuti naik turunnya suara, serta meresapi keindahannya. Belum selesai Mush'ab
menyampaikan uraiannya, Usaid sudah berseru kepadanya dan orang-orang
yang bersamanya, "Alangkah indah dan benarnya ucapan itu. Apakah yang harus dilakukan
oleh orang yang hendak masuk agama ini?"
Mereka pun
menjawabnya dengan suara tahlil yang menggemuruh bagai hendak
mengguncangkan bumi. Kemudian Mush'ab berkata kepada Usaid, "Hendaklah ia menyucikan badan dan pakaiannya, serta bersaksi bahwa tiada Ilah (yang
berhak diibadahi) selain Allah."
Setelah itu Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali
dengan rambut yang
masih meneteskan air sisa bersuci. Ia berdiri sambil
menyatakan pengakuannya bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah
dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.
Berita keislaman Usaid pun cepat tersebarbagai cahaya.
Keislamannya disusul oleh kehadiran Sa'ad
bin Mu'adz. Setelah mendengar uraian Mush'ab,
Sa'ad pun merasa puas dan masuk Islam. Langkah ini disusul oleh Sa'ad bin Ubadah. Dengan keislaman
merekabertiga, maka selesailah sudah persoalan dengan berbagai suku di
Madinah.
Warga Madinah
saling berdatangan dan bertanya-tanya antara sesama mereka,
"Jika Usaid bin Al-Hudhair, Sa'ad bin Ubadah, dan Sa'ad bin Mu'adz telah
masuk Islam, apalagi yang kita tunggu? Ayolah kita pergi kepada Mush'ab
dan beriman bersamanya. Kata orang, kebenaran itu terpatri dari
celah-celah giginya."
Demikianlah,
duta Rasulullah ; yang pertama telah mencapai hasil gemilang.
Keberhasilan yang memang wajar dan pantas diraih oleh Mush'ab.
Hari berganti
hari dan tahun demi tahun terus berjalan hingga tiba waktu
Rasulullah bersama para sahabat beliau hijrah ke Madinah. Orang-orang
Quraisy semakin terbakar oleh dendam. Mereka menyiapkan segala yang
diperlukan untuk melanjutkan tindak kezaliman terhadap hamba-hamba
Allah yang saleh. Perang Badar meletus dan kaum Quraisy pun harus
menelan pil pahit yang menghabiskan sisa-sisa pikiran sehat mereka, hingga
mereka berusaha untuk menuntut balas.
Setelah itu Perang Uhud
menjelang dan kaum muslimin pun bersiapsiap mengatur barisan.
Rasulullah berdiri di tengah barisan itu, menatap setiap wajah orang beriman, untuk memilih
siapa di antara mereka yang berhak membawa bendera perang. Beliau pun memanggil
"Mush'ab
Yang Baik", dan akhirnya ia tampil sebagai pembawa
panji perang kaum muslimin.
Peperangan berkobar dan berkecamuk dengan
sengitnya. Namun, sayang, pasukan pemanah
melanggar perintah Rasulullah. Mereka
meninggalkan posisinya di puncak
bukit setelah melihat orang-orang musyrik mundur dan menderita kekalahan.
Perbuatan mereka itu secepatnya
mengubah suasana, hingga kemenangan kaum muslimin beralih menjadi kekalahan. Pasukan kaum muslimin
dikagetkan oleh serangan balik pasukan berkuda Quraisy yang menyatroni mereka
dari puncak bukit. Mereka diserang
saat dalam keadaan lengah dengan pedang-pedang yang haus darah dan
mengamuk bagai orang gila.
Ketika musuh melihat
barisan kaum muslimin porak-poranda, mereka pun mengalihkan serangan ke
arah Rasulullah untukmembunuh beliau. Mush'ab bin Umair menyadari ancaman yang
berbahaya tersebut. Dia pun mengangkat panji perang setinggi-tingginya dan
bagaikan raungan singa ia bertakbir sekeras-kerasnya. Ia berjalan ke depan,
melompat, mengelak dan berputar lalu menerkam. Ia memfokuskan semua upaya untuk menarik perhatian
musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah
. la bertahan sendirian
bagaikan satuan pasukan.
Sungguh, walaupun seorang
diri, Mush'ab bertempur laksana pasukan tentara besar. Sebelah tangannya memegang bendera
bagaikan tameng kesaktian, sedangkan yang sebelah lagi menebaskan pedang dengan
matanya yang tajam. Tetapi, musuh kian bertambah banyak, mereka hendak menyeberang
dengan menginjak-injak tubuhnya untuk mencapai posisi Rasulullah.
Sekarang marilah kita perhatikan saksi mata yang
akan menceritakan saat-saat terakhir dalam
kehidupan Mush'ab bin Umair. Ibnu Sa'ad menuturkan, "Ibrahim bin Muhammad
bin Syurahbil Al-Abdari menceritakan
kepada kami dari ayahnya yang berkata: