DIMENSI SOSIAL DAN
KULTURAL KEKERASAN
BERBASIS GENDER DI INDONESIA:
DARI LABELLING KE DISKRIMINASI KE KEKERASAN
(Melly G. Tan)
Pendahuluan
Ketika kita telah
sampai di jembatan lima, kita melihat kerumunan orang dan toko-toko terbakar.
Setelah itu seseorang berteriak ‘Cina-cina.’ Kemudian motor kami setangah
memaksa dirampas dari kami, dan suami
saya dipukul. Saya bergegas untuk keluar dari kerumunan tersebut dengan pakain
yang basah oleh air mata. Kemudian saya melihat sekitar 8 orang telah mengepung
seora perempuan dan mulai menggenggam dada beserta bagain tubuh yang lain. Meli
ditelanjangi, walaupun ia tidak diperkosa. Sejak saat itu Meli selalu mengalami
rasa takut dan cemas ketika harus keluar rumah. Meli, Jakarta, mei 1998
Suatu ketika saya akan
mandi di belakang rumah. Dua orang berseragam militer mencoba untuk memperkosa
saya. Saya menolak, tetapi mereka mengancam kalau saya menolak mereka akan
membunuh ayah saya. Saya telah dperkosa oleh dua orang militer dengan senjata
yang disimpan disamping saya. Saya kehilangan kesadaran dan mendapatkan infeksi
dalam alat kelamin saya. Rosnita, Aceh, September 1998
Cerita di atas
merupakan salah satu bentuk contoh dari kekerasan berbasiskan gender
selama sepuluh tahun terakhir. Cerita pertama diambil dalam situasi kerusuhan
masa pada bulan mei 1998. Dan yang kedua merupakan situasi konfik Aceh antara
pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Secara khusus, kedua kasus
tersebut dilandasi oleh kekerasan Gender terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap
perempuan didefinisikan dalam deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai berikut:
Istilah "kekerasan
terhadap Perempuan" berarti setiap tindakan kekerasan berdasarkan gender
yang mengakibatkan, atau mungkin mengakibatkan, kerugian fisik, seksual, atau
psikologis, atau penderitaan perempuan, termasuk ancaman, tindakan tersebut,
pemaksaan atau perampasan kebebasan sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi.
Kekerasan terhadap perempuan
diartikan mencakup, tetapi tidak terbatas pada: a) Kekerasan fisik, seksual dan
psikologis yang terjadi dalam keluarga, seperti memukul, pelecehan sexsual
terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, harta gono gini, marital rape
(perkosaan perkawinan), mutilasi genital, dan eksploitasi wanita; b) Kekerasan
fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam komunitas, meliputi:
perkosaan, pelecehan seksual, dan intimidasi dalam pekerjaan, dala dunia
pendidikan dan dimanapun; c) Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang
terjadi dalam negara diamanapun itu.
Jika melihat kekerasan
terhadap wanita di atas, tercatat perempuan di Indonesia terus menerus menjadi
“korban serangan dan teror terhadap tubuh dan seksualnya”. Observasi tersebut
dinyatakan dalam catatan akhir tahun 2001 yang berjudul Terorisme seksual
Mencekam Perempuan Indonesia, diambil dari Komisi Nasional Kekerasan terhadap perempuan
pada Desember 2001. Terorisme seksual disana
didefinisikan sebagai suatu serangan yang diarahkan ke tubuh dan
seksualitas perempuan, sehingga menyebabkan korban merasa terus menerus
diintimidasi dan diancam.
Di dasarkan dari data
dari 35NGOs (Non Govermental Organization) atau LSMs (Lebaga Swadaya
Masyarakat)- partner komnas Perempuan- di bidang Hak Asasi Manusia di 14 kota
dan provinsi di Jawa, Sumatera, Sulawesi Utara, Sulawesi selatan, Nusa Tenggara
Timur, Maluku, dan Kaliamantan Barat, dengan total kasus kekerasan sebanyak
3.167 kekerasan terhadap perempuan sejak 2001. Kasus tersebut di bagi dalam
lima kategori: domestik, perkosaan, penyiksaan, pelecehan seksual/penyerangan
dan pembunuhan. Kasus terbesar dalam kategori kekerasan domestik sebanyak 1.253 kasus (39,5%), kemudian kasus
perkosaan 1023 kasus (32,3%), kasus penyiksaan 543 kasus (17,2%),
pelecehan/penyerangan seksual 228 kasus (7,2%), dan pembunuhan 122 kasus
(3,8%). Jumlah terbesar di temukan di daerah Jawa Tengah dengan total 636 kasus
dengan kasus penyiksaan tertinggi (270 kasus), kemudian Jakarta 500 kasus
dengan kasus tertinggi pemerkosaan (227 kasus). Kemudian Jawa Timur dan
Yogyakarta keduanya saa 356 kasus, tetapi berbeda kasus tertingginya. Jawa
Timur mayoritas adalah kasus perkosaan (249 kasus) , sedangkan Yogyakarta kasus
domestik mmerupakan kasus terbesar (320 kasus). Maluku menjadi kota terendah
dalam berbagai kasus, yang hanya mencapai lima kasus.
Isu kekerasan terhadap
perempuan tidak menjadi isu penting bagi kebanyakan orang Indonesia sampai
kejadian 1998 yang mengejutkan. Walaupun sudah ada banyak perempuan dan
kelompok laki-laki yang peduli dengan kondisi perempuan, terutama fokus
terbesar pada ketimpangan, ketidakadilan dan konflik dalam hubungan perkawinan.
kelompok ini menyediakan bantuan hukum dan terhadap eksploitasi yang dilakukan
oleh suami.
Hubungan Sosial Etnis
mengarahkan kepada Labelling Diskriminasi dan Kekerasan
Hubungan sosial antara
kelompok-kelompok orang dalam masyarakat dapat ditandai dengan kontinum (Rangkaian
Kesatuan) dari konflik, dengan variasi-variasi di atara diskriminasi dan
kekerasan. Etnis Cina dan Indonesia merupakan bentuk ilustrasi kekerasan yang
didasarkan atas gender dalam hubungan sosial. Kasus etnis Cina menunjukan bahwa
terdapat variasi hubungan antara mereka dengan etnis Indonesia, dimana di satu
sisi dalam daerah dan situasi tertentu mereka bisa bekerjasama, disisi lain mereka
bisa berkonflik. Variasi tersebut ditentukan oleh:
1. Sejarah awal kedatangan etnis Cina dalam jumlah yang signifikan;
2. Pemukiman dan situasi; dan
3. Penerimaan oleh masyarakat setempat.
Tercatat bahwa di
daerah di mana penduduk lokal yang dominan dalam kegiatan ekonomi, sedikit
sekali disana bahkan tidak ada pemukiman
etnis China, misalnya di Minangkabau atau di daerah suku Batak, di luar kota
besar. Pada sisi lain, di daerah Jawa, dimana menjadi bagian dari kebijakan pemmerintah
Belanda dan keengganan penduduk lokal terlibat dalam perdagangan, etnis Cina
telah menetap dalam jumlah yang banyak, terutama di sepanjang pantai utara,
yang menjadi kekuatan dominan dalam
perekonomian.
Situasi Etnis Cina di
Indonesia sering digambarkan dalam hubungan antara minoritas-mayoritas, dengan etnis Cina mengalami semua
masalah dari kelompok minoritas yang
berbeda (diperkirakan
sekitar 3% dari total
populasi),
mereka memiliki posisi
dominan dalam perekonomian, khususnya, di
sektor swasta; dan tidak ada posisi sama
sekali dalam dunia politik dalam
birokrasi.
Pertanyaan yang berkenaan dengan kehadiran etnis Cina di Indonesia
adalah mengapa mereka tanpa terkecuali menjadi target serangan, tipikal korban
dalam situasi-situasi dimana tersebar luas ketidakpuasan, apapun sebabnya,
semakin banyak berkembang kedalam kegelisahan sosial dan memperluas aksi
kekerasan. Hal ini berulang dalam hampir semua bentuk situasi kekerasan
terhadap etnis Cina, fakta-fakta, dalam berbagai periode sampai sekarang
(semenjak 1983).
Pola lain yang dapat
dilihat dalam kekerasan anti-Cina adalah kekerasan itu biasanya mengarah kepada
properti, seperti: Pabrik, toko, tempat tinggal, dan kendaraan; daripada kekerasan
terhadap nyawa atau anggota tubuh. Namun, sejarah telah mencatat beberapa
insiden pembantaian langsung kepada Cina. yang paling terkenal adalah insisden pada
zaman kolonial di Batavia pada tahun 1740, dimana yang meninggal encapai 6000
orang.
Kemudian, di akhir perang
pasifik, Belanda, sebagai bagian dari pasukan Sekutu, kembali ke Indonesia
dengan tugas melucuti pasukan Jepang kalah. Mereka jelas berniat merebut
kembali posisi mereka sebagai penjajah, tetapi kedatangan mereka di lawan para
pejuang kemerdekaan indonesia. Bagi para nasionalis Indonesia, periode ini
dinamakan "physical revolution". Dalam peperangan tersebut,
Indonesia menggunakan kebijakan pembumi hangusan. Etnis Cina yang berada di
luar kota-kota besar, yang memiliki toko-toko di jalan utama, atau yang banyak terlibat
di sektor pertanian, seperti di daerah Tangerang, terperangkap di
tengah-tengah, dimana hal itu menjadi bagian dari pembakaran dan penjarahan terbesar.
Situasi ini diperburuk oleh kecurigaan orang-orang nasionalis Indonesia, bahwa
Cina tidak mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan sebagai gantinya Cina
dianggap pro-Belanda.
Insiden terburuk saat
itu terjadi pada bulan Juni 1946, di perkampungan Etnis Cina Tangerang. Seperti
dikutip Victor Purcell dalam New York Times 6 Juni (tahun 1946), 600
orang Cina dibunuh oleh etnis Indonesia. Pembunuhan besar-besaran tersebut
tidak berhenti sampai tanggal 8 Juni. Chung Hwa Chung Hui, sebuah perkumpulan dibentuk oleh etnis Cina
dan diduga pro-Belanda oleh Indonesia, telah menulis memorandum tentang
kekerasan, dan insiden. Laporan ini diuraikan dengan rincian atas kekejaman
yang sangat mengerikan, termasuk di dalamnya laporan tentang adanya perempuan
dan anak-anak yang dibakar hidup-hidup.
Menurut laporan yang
diterima Yang Send di Batavia, 653 orang Cina telah terbunuh di Tangerang dan
sekitarnya, yang meliputi 136 orang perempuan dan 36 anak-anak. Ada sekitar
25,000 pengungsi dari daerah Batavia, 1.256 tempat tinggal orang Cina dibakar,
dan 236 lainnya dirusak. Lebih jauh lagi, dilaporkan pada September 1946, 200
orang Cina telah dibunuh, dan Januari 1947 dalam kekerasan di Palembang, 250
orang telah terbunuh.
Semenjak rezim Sukarno,
secara terus menerus terjadi kekerasan anti Cina, terlebih setelah
dikeluarkannya peraturan pemerintah No. 10. 1959-1960, yang berisi larangan
perdagangan dengan orang asing di pedesaan, area-area di bawah level kabupaten,
yang menyebabkan eksodus 100.000 etnis Cina. Kemudian insiden tahun 1963 di
Bandung, Sukabumi dan daerah lain di Jawa Barat, yang mana menyebabkan banyak yang
meninggal dunia dan cedera-cedera. Bagaimanapun, walaupun meluasnya
kerusakan-kerusakan properti, tetapi tidak dilaporkan penyerangan orang secara
disengaja.
Selama kerusuhan,
setelah jatuhnya rezim Sukarno dan bangkitnya rezim Suharto pada tahun 1965. Lagi-lagi
terdengar laporan pembunuhan. Hal Ini merupakan hasil dari pandangan yang berlaku di kalangan mayoritas
etnis Indonesia terhadap etnis Cina yang dianggap bersimpati kepada Komunis melalui
perserikatan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), yang
ketuanya, Siauw Giok Tjhan, dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia.
Sebagai catatan Coppel:
“Secara umum, bagaimanapun karakteristik kekerasan anti Cina di tahun-tahun
pascakudeta (Pergantian Presiden Sukarno ke Suharto), tidak ada kasus
pembunuhan, kekerasan orang, atau penahanan, tetapi kerusakan pada properti
seperti penjarahan, perampasan,dan pembakaran toko-toko, sekolah-sekolah,
rumuah-rumah dan mobil-mobil. Meskipun demikian, tidak diberitakan jumlah orang
yang tewas, khususnya dalam pers luar negeri. Misal pemberitaan oleh Coppel
(1983), dalam life megazine dan Far Eastern Econoc Review,
mengklaim bahwa ratusan ribu Cina telah dibantai.” Robert Shaplen telah
menyebut sejumlah 20.000. Signifikannya, China News Agency menyebut
untuk mempublikasi penganayaan anti Cina di Indonesia.
Contoh kekerasan yang
teradi di Makasar dan Medan (Coppel, 1983:60). Di Makasar demonstrasi kekerasan
anti Cina terjadi di Kedutaan pada tanggal 10 November 1965 (bertepatan dengan
hari pahlawan), yang di organisir oleh mahasiswa Muslim dan organisasi pemuda,
HMI dan ANSOR. Di hari itu dan hari selanjutnya “Hiruk pikuk ribuan perusuh
menngamuk melawan Cina..Target para perusuh adalah bagian-bagian penting,
bangunan Cina dan properti lain dihancurkan, tetapi tidak ada kerusakan lebih
luas”. Kemudian Di Medan Anti Cina terjadi pada 10 Desember 1965. Dalam kasus
ini kerusakan pada barang-barang Cina
tersebar luas, tetapi tidak mengarah kepada kekerasan terhadap orang.
Adam Schwars (1994) menggambarkan
situasi dalam periode singkat ini sebagai “ketidak amanan yang menakutkan dan
kekerasan hebat terhadap Cina Indonesia”. Pemegeang kekuasaan di Tahun
1965-1966, Sebelumnya menjadi musuh yang paling ditakuti.
Singkatnya setelah
Suharto memegang kekuasaan, terjadi insiden kekerasan di kalimantan Barat tahun
1967, antara etnis Dayak dan etnis Cina. Kejadian teradi sekitar bulan Oktober
-November .
Sejarah Etnis Cina pada
rezim Suharto digambarkan sebagai suatu minoritas grup etnis yang tidak memiliki
pilihan, dan harus patuh terhadap kebijakan yang diterapkan untuk dirinya.
Kebijakan itu dinamakan “proses Asimilasi”. Asimilasi pada rezim
Suharto didefinisikan sederhana sebagai akhir hilangnya keberadan etnis Cina
dalam sosio kultur dan religius Indonesia. Kebijakan ini berimplikasi langsung
terhadap kehidupan sosial etnis Cina, kultural, religius, politik serta
kehidupan ekonomi.
Perlakuan yang dilakukan
oleh rezim Suharto kepada etnis Cina adalah yang paling terang-terangan
semenjak zaman kemerdekaan. Mereka membuat stigma dan label Tiong Hoa menjadi
“Cina”. Stigma dan labelling terhadap seseorang atau sebuah grup
diartikan sebagai suatu “penyimpangan” atau dalam kasus Etnis Cina ini yaitu
“perbedaan” yang biasanya mengarah kepada konflik atau berpotensi membuat
konflik. Berger dan Berger (1972) menuliskan “konflik merupakan suatu keadaan
antara orang atau grup yang kecil dan tak berdaya dengan yang sebaliknya”.
Karakteristik stigma
ini, menjadikan “perbedaan” dan pelabelan diaplikasikan dalam hubungan antara
etnis Cina dan mayoritas etnis Indonesia. Karakteristik ini didukung atau
mungkin lebih diprakarsai oleh rezim yang memimpin. Dalam seminar yang diadakan
di Bandung tahun 1965, penggunaan term Cina pada rezim Suharto didiskusikan:
“ ... terutama untuk menghilangkan perasaan rendah diri pada bangsa kita
sendiri, sementara di sisi lain menghilangkan perasaan superioritas pada bagian
dari gruop yang bersangkutan dalam negara kita, oleh karena itu pantas bagi
kita untuk mencetuskan dan memutuskan dalam sminar ini menggunakan term
tersebut bagi orang-orang Republik Rakya Cina (Republik Rakyat Tiongkok), dan
dan warganegara Republik Rakyat Cina dan warganegara Cina. Hal tersebut mungkin
justifikasi tinjauan dari segi kacamata historis dan Sosiologis .”
Pengaruh kuat militer
dalam menentukan keputusan tersebut dapat dilihat sampai akhir Agustus tahun
1966, banyak koran yang memasukan kekerasan anti Cina, dimana masih menggunakan
term Tionghoa, mengingat di awal bulan September, hampir semua, kecuali Suluh
Marhaen dan Indonesia Raya (Mochtar Lubis) telah mengubah menjadi
Cina. Kemudian pada 25 Juli 1967, kabinet Presidium mengambil putusan dalam seminar
ABRI tersebut untuk menggunakan term Cina untuk seluruh etnis Cina, baik itu orang
luar ataupun warga negara.
Singkatnya penggunaan
term Cina sebagai “non pribumi” atau “nonpri” untuk berarti telah bertentangan
dengan pribumi atau pri (berasal dari pribumi). Makna singkatnya non pribumi,
tetapi dalam konteks Indonesia, sangat ekslusif merujuk kepada etnis Cina.
Lebih jauh lagi, non pribumi dalam term sosial politik dikonotasikan
dengan tidak secara penuh termasuk bagaian dari warga negara Indonesia, dari
term ekonomi, hal tersebut berarti sekelompok orang yang memilki tingkat
ekononmi kuat. Label lain yang melekat pada etnis Cina adalah term konglomerat
pada big businessman. Pertama kali dimunculkan di media, dan menjadi
kebiasaan sejak tahun 1980an.
Praktik
Budaya Yang Memiliki Konsekuensi Berbahaya Untuk Wanita
Akhir-akhir ini realisasi dan
pengakuan akan adanya praktik berdasarkan
budaya dan tradisi di
hampir semua masyarakat yang
berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental perempuan. Pertemuan ke-58 Komisi Hak Asasi Manusia pada bulan
Januari 2002,
melaporkan tentang
kekerasan terhadap perempuan, sebab
dan akibatnya, Radhika Coomaraswamy, menyerahkan laporan sesuai dengan Resolusi Komisi Hak
Asasi Manusia. Intisari laporan ini mengenai "Integrasi Hak
Asasi Manusia perempuan dalam Perspektif gender" judul
laporannya adalah "praktek
budaya dalam
keluarga yang penuh kekerasan terhadap
perempuan".
Dia menyatakan masalah
dengan jelas sebagai berikut:
“Standar universal hak
asasi manusia sering ditolak ketika datang ke hak-hak perempuan. Di seluruh dunia, terdapat praktik dalam keluarga yang penuh kekerasan terhadap perempuan dan berbahaya bagi kesehatan mereka. Para gadis, hidup di bawah aturan berpakaian yang memprihatinkan, diberikan dalam prostitusi, dan dibunuh demi kehormatan dalam keluarga. Laporan ini mendokumentasikan beberapa praktek-praktek budaya yang melanggar hak asasi manusia perempuan terhadap integritas tubuh dan ekspresi, serta merusak nilai-nilai penting dari kesetaraan dan martabat. Praktik-praktik ini dan banyak yang lainnya merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
tetapi telah diabaikan oleh
pengawasan nasional dan internasional karena mereka dianggap sebagai praktek-praktek budaya yang layak. Relativisme budaya sering digunakan sebagai alasan untuk mengizinkan praktik tidak manusiawi ini dan diskriminatif terhadap perempuan di masyarakat ...”
Di Indonesia, saya akan fokus pada praktek yang telah berlangsung
diam-diam selama beberapa dekade ini, tanpa banyak masyarakat umum peduli untuk
itu atau, apa lagi, mempertanyakan praktik di mana gadis-gadis muda etnis
Tionghoa, yang sebagian besar dari keluarga berlatar belakang miskin,
dikawinkan dengan laki-laki asing, dalam hal ini orang Taiwan, oleh orang tua mereka.
Data yang disajikan di sini didasarkan pada studi yang dilakukan
oleh Andy Yentriyani untuk tingkat S1 di Departemen Hubungan Internasional di
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Indonesia pada tahun 2000.
Judul penelitian tersebut adalah
"Perdagangan Perempuan: Sebuah Konsekuensi sistem Kapitalis Dunia - Studi
Kasus: Perkawinan Transnasional Indonesia-Taiwan 1992-1999.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan informasi
yang diperoleh melalui wawancara yang mendalam terhadap tiga matchmaker (dua
perempuan, satu laki-laki); tiga dari gadis-gadis muda yang menikahi orang
Taiwan (salah satu dari mereka kurang dari 14 tahun ketika dia menikah ); dan
tiga ibu dari gadis yang menikah Taiwan. Data statistik mengenai pernikahan
transnasional diperoleh dari kantor Kotamadya Tingkat I Pontianak, Kabupaten
Tingkat II Pontianak dan Kabupaten Sambas.
Data statistik dari tiga kantor menunjukkan bahwa dari tahun 1992
sampai Oktober 1999, ada total 5.293 pernikahan yang terdaftar antara perempuan
Indonesia Cina dan orang asing, hampir semuanya berasal dari Taiwan (5.159),
sedangkan ada 129 dari Malaysia, dua dari Australia dan masing-masing dari
Amerika Serikat, Brunei Darussalam dan Jepang. Dari pernikahan dengan Taiwan,
jumlah terdaftar tertinggi adalah 1.119 pernikahan pada tahun 1996. Berikutnya tahun
1999 dengan total 754. Yang ketiga tertinggi adalah pada tahun 1995 dengan 784
pernikahan, Selama tahun 1992 hingga 1999, Kabupaten Sambas sebenarnya telah
memiliki jumlah tertinggi (3.268), sedangkan Kotamadya Pontianak dan Kabupaten
Pontianak memiliki hampir total yang sama (903 dan 988 masing-masing).
Sebagai bukti, informasi yang paling lengkap datang dari Kabupaten
Sambas (kecuali tahun 1999). Dua lainnya hanya memiliki kantor informasi mulai
dari tahun 1996. Jika kita melihat total 5.293 perkawinan transasional,
ini berarti rata-rata 661 pernikahan per tahun. Namun, karena ketidaklengkapan
data, maka dikatakan bahwa rata-rata ada lebih dari 1.000 pernikahan setiap
tahunnya. Jumlah terbesar dari pernikahan dengan orang Taiwan dapat dilihat
dari bukti di Kotamadya Pontianak, proporsi pernikahannya adalah 90 persen, di
Kabupaten Pontianak 98 persen, dan di Sambas Kabupaten 99 persen.
Dari judul penelitian tersebut, penulis studi ini mengacu pada
aktivitas pernikahan transnasional di Kalimantan Barat sebagai "perdagangan
wanita", suatu bentuk pelanggaran berat hak asasi perempuan. Perhatikan
bahwa definisi "perdagangan perempuan" telah berkembang dari sebuah
arti yang terbatas ke yang lebih luas. Resolusi ini diadopsi oleh PBB pada
tahun 1994, mengacu pada perdagangan dalam wanita sebagai tindakan ilegal yang
dilakukan oleh perekrut, penyelundup dan sindikat penyelundupan orang, sebagian
besar dari negara-negara kurang berkembang, melintasi batas-batas negara dan
internasional secara sembunyi-sembunyi, dengan tujuan memaksa perempuan dan
anak-anak ke dalam eksploitasi seksual dan ekonomis. Tindakan ilegal ini
melibatkan pemaksaan menjadi pembantu rumah tangga, kawin paksa, penyelundupan pekerja
dan adopsi palsu.
Resolusi dari Senat Amerika, No 82 tahun 1998, juga mendefinisikan perdagangan
perempuan sebagai berikut: ".. melibatkan satu atau lebih bentuk
penculikan, pemenjaraan, pemerkosaan, pemukulan, kerja paksa, atau seperti
perbudakan. Perdagangan terdiri dari semua tindakan yang terlibat dalam
merekrut-pemerintah atau transportasi orang, di dalam atau lintas batas,
penipuan, pemaksaan atau kekerasan, penyalahgunaan wewenang, jeratan utang atau
penipuan, dengan tujuan untuk menempatkan orang-orang dalam situasi pelecehan
atau eksploitasi seperti pelacuran paksa, pemukulan dan kekejaman yang ekstrim.
"(seperti dikutip Yentriyani, 2000: 14).
Koalisi untuk
Menghapuskan Perbudakan dan Perdagangan (dikutip dalam Yentriyani,
2000:15),didefinisikan lebih luas: "... perekrutan atau memindahkan
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi dominan, penipuan atau bentuk kekerasan, dengan tujuan
mengeksploitasi seksual maupun ekonomi untuk kepentingan orang lain, seperti
perekrut, mucikari, pedagang, perantara, pemilik rumah bordil dan karyawan
lainnya, pelanggan atau sindikat kriminal. Perdagangan juga harus dipahami
seperti memindahkan orang dalam batas-batas negara, antar negara, kawasan atau
antar benua. "
Dalam definisi ini
dapat diterapkan pada situasi di Kalimantan Barat. Pada dasarnya, proses
tersebut dapat dianggap sebagai perjodohan
dengan perantara atau mak comblang, meliputi orang tua dari gadis, gadis
dirinya dan calon suami, dan biasanya disertai oleh seorang kerabat. Semuanya diatur
mak comblang, dan gadis itu diperkenalkan kepada calonnya sebelum keputusan akhir dibuat.
Namun, bukan hanya perjodohan
tetapi juga transaksi keuangan finansial. Matchmaking adalah bisnis
dengan pembagian kerja, yang melibatkan seseorang (biasanya mak comblang
yang) mencari dan menangani "klien" prospektif di Taiwan, orang lain
mencari gadis yang cocok (perekrut), dan lain merawat dokumen dan izin
terlibat. Menariknya, sebagai catatan studi (hal. 45), ketiga mak comblang
tersebut diwawancarai menyatakan bahwa mereka tidak melakukan hal ini sebagai
sebuah bisnis (mereka memiliki bisnis yang tepat, seperti
sebagai perusahaan perdagangan), tetapi hanya "untuk membantu orang-orang Taiwan yang mengalami kesulitan mendapatkan istri". Namun, para "klien" harus membayar pasti sejumlah biaya untuk bantuan / jasa sebelum proses pernikaha dimulai.
sebagai perusahaan perdagangan), tetapi hanya "untuk membantu orang-orang Taiwan yang mengalami kesulitan mendapatkan istri". Namun, para "klien" harus membayar pasti sejumlah biaya untuk bantuan / jasa sebelum proses pernikaha dimulai.
Jelas, hubungan antara
keluarga si gadis dan klien itu
asimetris. Biasanya, gadis itu berasal dari keluarga dengan banyak anak, di
mana pendapatan keluarga sedikit dan karena itu ia memiliki sekolah yang
terbatas, meskipun klien sendiri ternyata sebagian besar dalam kategori pekerja
kerah biru (pekerja pabrik, pekerja pertanian atau pengumpul sampah ), karyawan
di perusahaan swasta (mekanik atau petugas toko), petani atau nelayan. Dalam penelitian
tercatat bahwa orang-orang terpinggirkan oleh proses industrialisasi di Taiwan,
yang merupakan bagian dari proses kapitalisme global (hal. 43).
Namun, meskipun mereka
termasuk dalam kategori "miskin" di Taiwan, dibandingkan dengan
keluarga gadis-gadis di Pontianak dan Sambas, mereka lebih kaya karena mereka
mampu untuk membayar ongkos untuk datang ke Kalimantan Barat, untuk layanan
dari mak comblang dan untuk biaya pesta pernikahan.
Di sinilah pertanyaan
tentang penyalahgunaan kekuasaan dan eksploitasi posisi dominan, dan karena
itu, para gadis dan keluarganya tidak memiliki kemampuan menawar, dan dia akan
setuju untuk menerima klien pertama yang setuju untuk menikahinya. Studi ini
menjelaskan situasi khas, misalnya seorang gadis berusia 21 tahun, anak ketiga
dari delapan bersaudara, kelas dua SMA, yang pindah dan bekerja di sebuah toko di
Jakarta. Kemudian ada suatu peristiwa yang meneybabkan toko itu dibakar sehingga
ia merasa ketakutan tinggal disana, dan akhirnya ia kembali ke Pontianak, di
mana dia mengurus orang tuanya dan tiga adik-adiknya.
Kemudian seseorang
menyarankan agar ia menikah dengan pria dari Taiwan. Mak comblang ini adalah
seorang rekan Mr Liu, salah satu informan dalam penelitian ini. Gadis itu, kemudian
menikahi seseorang dari Taiwan
orang Taiwan. Pernikahan ini dianggap sebagai berkah oleh keluarga karena mereka berdua dapat mengirim uang ke rumah. Karena dia tidak punya pekerjaan, gadis itu menerima tawaran untuk berada di "pasar pengantin". Dia diperkenalkan kepada enam atau tujuh klien tetapi dia menolak. Akhirnya, ia diperkenalkan dengan seorang mekanik yang 42 tahun, telah bercerai dan memiliki dua anak, yang anak tertuanya berusia delapan tahun. Ketika dia ditanya apakah dia bersedia menikah dengannya, dia tidak merasa dia memiliki kekuatan untuk memilih, dia tidak menyukai orang itu, tapi dia juga tidak bisa menolak. Mereka bertemu tiga kali sebelum pernikahan dan sambil mempersiapkan untuk pergi ke Taiwan. Pertama kali adalah ketika ia diperkenalkan kepada klien dan kedua kalinya sebagai di sebuah restoran di mana mereka lebih mengenal satu sama lain. Ketiga kalinya, yang juga merupakan hari ketiga kunjungannya, mereka pergi berbelanja untuk pakaian baginya untuk dibawa ke Taiwan. Sementara itu, para calo dan orang tua gadis itu disiapkan untuk pesta pernikahan.yang hanya mengundang kerabat dekat saja.
orang Taiwan. Pernikahan ini dianggap sebagai berkah oleh keluarga karena mereka berdua dapat mengirim uang ke rumah. Karena dia tidak punya pekerjaan, gadis itu menerima tawaran untuk berada di "pasar pengantin". Dia diperkenalkan kepada enam atau tujuh klien tetapi dia menolak. Akhirnya, ia diperkenalkan dengan seorang mekanik yang 42 tahun, telah bercerai dan memiliki dua anak, yang anak tertuanya berusia delapan tahun. Ketika dia ditanya apakah dia bersedia menikah dengannya, dia tidak merasa dia memiliki kekuatan untuk memilih, dia tidak menyukai orang itu, tapi dia juga tidak bisa menolak. Mereka bertemu tiga kali sebelum pernikahan dan sambil mempersiapkan untuk pergi ke Taiwan. Pertama kali adalah ketika ia diperkenalkan kepada klien dan kedua kalinya sebagai di sebuah restoran di mana mereka lebih mengenal satu sama lain. Ketiga kalinya, yang juga merupakan hari ketiga kunjungannya, mereka pergi berbelanja untuk pakaian baginya untuk dibawa ke Taiwan. Sementara itu, para calo dan orang tua gadis itu disiapkan untuk pesta pernikahan.yang hanya mengundang kerabat dekat saja.
Mengapa praktek ini
dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dari perempuan di
Kalimantan Barat yang menikahi orang asing? Kita harus melihat kembali pada
laporan Ms Coomaraswamy yang telah dikutip sebelumnya, di mana dia menyatakan:
"Laporan ini mendokumentasikan beberapa praktek budaya ... serta merusak
nilai-nilai penting dari kesetaraan dan martabat ... praktek ini dan banyak
yang lainnya merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga. "
Dalam uraiannya
terhadap perilaku para gadis, jelas bahwa mereka menerima apa pun keputusan
yang telah dibuat untuk mereka karena mereka tidak punya pilihan, tetapi memang
merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai kesetaraan dan martabat dan
merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Mengapa nilai-nilai ini
tetap mendarah daging bagi para remaja Cina di Indonesi selama beberapa
generasi?karena orang Cina masih memegang perinsip nilai. Nilai ini disebut
"hao", yaitu nilai hormat kepada orang tua, dan pengabdian
yang diberikan oleh anak-anak dan cucu-cucu mereka (awalnya diharapkan dari
anak-anak saja, menunjukkan sifat patriarchal kebudayaan tradisional
China), dan dinyatakan dengan merawat orang tua di usia tua mereka, menjunjung
tinggi nama keluarga dan mengambil tanggung jawab untuk kesejahteraan keluarga.
Dalam kasus gadis-gadis di Kalimantan Barat, mereka merasa bertanggung jawab
untuk mengurangi kondisi keuangan yang buruk dari keluarga dan dengan menikahi orang
Taiwan, mereka merasa mereka membantu untuk melakukan sesuatu tentang hal itu,
sehingga memenuhi tugas untuk kembali ke orang tua mereka apa yang diberikan
kepada mereka ketika orang tua mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan
mereka.
Pada simposium di
Denpasar di mana saya mempresentasikan makalah ini, saya datang ke majalah Inggris
“Latitudes” yang diterbitkan di Denpasar, Bali (Vol. 11, Desember 2001) yang
memiliki sebuah artikel tentang topik ini, berjudul "Brides for Sale"
oleh Bodrek Arsana. Judul artikel tersebut menunjukkan ekspos dari perdagangan
nyata pada wanita yang terjadi di Kalimantan Barat. Hal ini terkait dengan
kisah seorang gadis 15 tahun, anak ketiga dari sepuluh anak-anak dari etnis Cina
yang hidup miskin di sebuah desa kecil dekat kota Singkawang. Dia setuju untuk
menikah dengan seorang pria Taiwan karena keluarga akan menerima uang yang
kemudian akan digunakan untuk membayar utang kakaknya yang suka minum dan
berjudi. Dia tidak terlalu khawatir tentang pernikahan ini karena ada anak
perempuan menikah dengan Taiwan yang bisa mengirim uang kembali ke keluarga
mereka untuk menerima US $ 2.500 untuk pernikahannya ke Taiwan. Setelah satu
minggu, Taiwan, ternyata orang yang dinikahinya itu bukan seorang pengusaha
(pada ketika ia mengatakan pengusaha kepada keluarganya), tetapi ia merupakan
pekerja pabrik yang tinggal bersama orangtuanya di pedesaan. Setelah enam
bulan, ia mengaku telah dipecat dari pekerjaannya dan dijual ke germo. Setiap
malam, ia menjatuhkan dirinya di sebuah klub malam di mana ia harus bekerja
sebagai pelacur. Dia berhasil melarikan diri dan kembali ke Singkawang. Artikel
ini mencatat bahwa ada sekitar 10.000 wanita dari Singkawang yang tinggal di
Taiwan dan bahwa dalam periode satu tahun 1993-1994, sekitar 2.000 perempuan
berangkat ke Taiwan.
Implikasi
Dimensi sosial dari
kekerasan berbasis gender yang berasal dari hubungan antara kelompok atau
kategori orang merupakan hasil dari sebuah proses yang dimulai dengan labeling,
kemudian menyebabkan diskriminasi dan akhirnya kekerasan. Untuk menghentikan
proses yang bisa menagakibatkan
hancurnya struktur masyarakat ini, maka harus ada kesadaran akan multikultural masyarakat yang ada di
Indonesia, yang memerlukan penerimaan pandangan positif dari semua. Perilaku
diskriminatif terhadap kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat merupakan
indikasi dari pola pikir yang didasarkan atas ketidakadilan. ketidakadilan ini merupakan
pola pikir dan perilaku yang melekat. Jika diarahkan ke dalam kelompok etnis
atau jenis kelamin tertentu, maka akan bisa terlihat jelas ketika orang
menyadari keberadan kelompok-kelompok etnis tertentu atau keberadaan perempuan
dan laki-laki sebagai suatu "kecelakaan lahir" atau "tindakan Tuhan".
Kita juga tahu bahwa sikap dan perilaku itu dipelajari, bukan melekat pada manusia. Oleh karena itu, sangat
penting bagi anak sedini mungkin untuk ditanamkan keragaman nilai dan
penghormatan serta apresiasi dari perbedaan dalam lingkungan rumah dan sekolah.
ini adalah inti dari pluralisme dan demokrasi, serta komponen penting dalam
kultur kedamaian.
Bagaimanapun,
mewujudkan sikap dan perilaku ini membutuhkan lingkungan yang kondusif. ini berarti perlunya reformasi hukum,
perlunya perubahan pola fikir sosial dan perubahan pola fikir wanita terhadap
dirinya.
Dalam hal reformasi
hukum, apa yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan menghapus semua hukum, regulasi, kebijakan, dan
pelaksanaan daripadanya, dengan cara apapun indikasi diskriminasi atas
dasar gender khususnya terhadap perempuan dari
ras tertentu, atau kelompok
etnis tertentu. Secara umum, hukum-hukum dan
prosedur pidana sekarang di tempat yang sepenuhnya tidak memadai dalam kasus pelanggaran hak
asasi manusia.
Sekarang, konsep transisi keadilan telah dieksplorasi untuk diterapkan dalam
membawa keadilan dalam kasus ini.
Untuk merubah mindset perempuan ini
sangat terkait dengan peningkatan level pendidikan, dan peningkatan kepercayaan
diri, harga diri, keberhargaan diri mereka. Kuncinya adalah perempuan harus
memiliki ekonomi finansial sosial yang mandiri.
Terakhir, dugaan multikulturalisme
terhadap perempuan dipahami sebagai relativis kultural guna menegakan
kebenaran kebudayaan atau etnis grup tentu mempraktekan tradisi nilai kebudayaan dengan lengkap jika hal
itu adalah berbahaya bagi perempuan,
kemudian nilai budaya dan prkatik nya tersebut akan diperhitungakan kembali dan
, jika telah merasa sebagai bahaya tekah dihapus.