Pages

Selasa, 23 Juli 2013

Romadhon bulan Asyik Membaca

Sesuatu tiba-tiba mengisi relung hatiku yang paling dalam saat memandang matahari yang semakin memejamkan sinarnya. Matahari yang kulihat hari itu adalah matahari yang sama sejak awal kehidupan alam semesta ini. Matahari yang sama yang menyaksikan semua pertikaian, ketegangan, hingga pertempuran antarmanusia dari berbagai zaman. Namun, dia jugalah matahari yang menyaksikan bagaimana Cordoba dan Andalusia selama beberapa abad telah menorehkan tinta emas peradaban manusia. Dan dia jugalah matahari yang masih akan menyaksikan apa yang akan terjadi seribu atau dua ribu tahun mendatang.
Aku melambaikan tanganku pada sumber cahaya bumi itu, melambaikan tangan dengan harapan bahwa esok dan seterusnya dia akan menyingsing dan menyaksikan kehidupan manusia yang lebih baik.
Perjalananku di Andalusia telah membawaku pada sebuah pertanyaan pada masa lalu. Pertanyaan sama yang ditanyakan guruku, Pak Djam'an, saat SMA dulu. Apa yang muncul dalam pikiranmu ketika seseorang mengatakan Andalusia?
Yang tersisa dalam memori tentang Andalusia adalah kekalahan, penaklukan, penghinaan, dan pengusiran, perebutan kehormatan, kebiadabansemua merangkum malapetaka sejarah yang takkan terlupakan. Tak tersisa sedikit ruang pun untuk memori indah.
Apa yang telah dilakukan nenek-nenek moyang negeri ini, yang bahu-membahu melahirkan manfaat dalam berbagai bidang dengan semangat toleransi, kebersamaan, cinta, dan kasih sayang, sirna begitu saja. Tergilas oleh perasaan sakit yang senantiasa dirayakan di muka bumi ini, hingga melupakan semua kontribusi kebaikan yang pernah ditinggalkan.
Aku hanya bisa berharap memori yang menyakitkan itu tak usah dipupuk agar lebih subur. Aku tahu hal ini membutuhkan jiwa besar yang luar biasa. Sejurus aku ingat bahwa hati manusia yang sakit itu seperti tembok yang dilubangi paku. Hati dan perasaan kita marah, lalu naik darah.
Meski paku itu dicabut, sayatannya terus membekas.
Namun aku tetap yakin, sayatan itu hanya layak diingat sebentar, untuk kemudian menyadarkan kita bahwa semua itulah yang membuat semua harmoni hancur. Aku semakin yakin, esensi sejarah bukanlah hanya siapa yang menang dan siapa yang kalah. Lebih dari itu: SIAPA YANG LEBIH CEPAT BELAJAR dari kememangan dan kekalahan (99 cahaya di langit Eropa, hal: 308-310 )



Saya rasa, membaca kembali buku yang pernah dibaca itu  mengasikan, kenapa? karena ada beberapa memori yang kembali setelah beberapa lama tercecer, dan ada informasi baru yang  ketika dibaca dulu belum "ngeh" sekarang rada "ngeh"... Mungkin dikarenakan ada kondisi dan pengalaman yang berbeda ketika saya baca dulu dan sekarang.....Kemudian, saya punya pemahaman gini  "Baca itu bagusnya banyak dan paham, karena ada banyak ilmu yang bisa kita ketahui.  Yang  membaca sedikit tapi paham cukup bagus  juga, karena pribahasa mengatakan sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit... hehe... nah gimana yang baca banyak gak ada yang paham? mungkin lebih baik daripada yang gak mau baca sama sekali kali ya.. ^^ Membaca itu jangan berhenti di paham, tapi juga harus bisa menggerakan, kemudian membuat perubahan yang lebih baik..  Dimana Ada ilmu Disitu ada Amal... Romadhon bulan asik untuk Membaca.

Hasbunallah wanikmal wakil