Judul Buku : Doing School How We Are Creating a Generation of Stressed Out,
Materialistic, and Miseducated Students
Penulis : Danise Clark Pope
Tahun Terbit: 2001
Penerbit : Yale University Press,
London
Sekolah adalah bagian terpenting dalam proses pendidikan dewasa ini. Tetapi
sistem yang dihadirkan sekolah tidak selalu memenuhi kebutuhan para siswanya. Sekolah
di satu sisi dibentuk sebagai tempat untuk menumbuh kembangkan anak, tetapi di
satu sisi sekolah menuntut nilai yang tinggi terhadap anak. Buku “Doing
School How We Are Creating a Generation of Stressed Out, Materialistic, and
Miseducated Students” ini memaparkan bagaimana kehidupan sekolah dari sudut
pandang siswa yang melakukan sekolah. Buku ini berisi paparan hasil penelitian
yang membahas tentang pengalaman pendidikan di sekolah dari sudut pandang
remaja. Penelitian ini dilakukan atas dasar bahwa sebagian besar
penelitian aspek pendidikan sekolah, seharusnya dikaitkan dengan subjek
pendidikan, misalnya kehidupan di lorong dan tempat parkir, atau pengalaman di
kelas, membutuhkan anak-anak muda yang tahu tentang apa yang mereka pikirkan di
tempat-tempat itu.
Dalam penelitian ini, Denise Clark Pope meminta para siswa secara
khusus untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman anak-anak di sekolah. Peneliti
mencoba untuk mendengar perspektif anak muda di sekolah, agar cita-cita sekolah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi
perkembangan siswa tercapai. Peneliti melakukan penelitian lebih dari delapan
bulan, untuk mengenal siswa sebagai individu, untuk membantu menyampaikan
pengalaman mereka dan perspektif mereka dalam rangka membantu pemahaman mereka,
seperti yang dianjurkan Dewey (1938)
yaitu untuk memiliki "pemahaman terhadap individu sebagai individu”;
dalam rangka memahami gagasan tentang apa yang sebenarnya ada dalam benak para
pelajar.
Penelitian ini dilakasanakan di sekolah menengah atas yang memiliki
reputasi, baik dari sisi gurunya, program-program inovatifnya, dan kepemimpinan
yang kuat di dalamnya, di mana sekitar 95 persen lulusan sekolah meneruskan
kuliah. Peneliti bertanya kepada berbagai siswa, jenis kelamin, etnis, latar
belakang sosial ekonomi, dan kepentingan akademis yang dianggap
"Sukses".
Selama satu semester di sekolah, Peneliti mengikuti masing-masing siswa
yang dijadikan subjek penelitian, mengamati perilaku mereka di kelas, menyertai
mereka untuk semua acara yang berkaitan dengan sekolah, berbicara dengan mereka
panjang lebar selama hari sekolah, dan mewawancarai mereka setiap minggu untuk
membantu mereka merefleksikan pengalaman mereka. Dalam rangka mencapai
rasa kepercayaan dan hubungan baik dengan siswa, peneliti sekaligus penulis
buku ini membatasi pengumpulan data untuk fokus pada remaja, dengan tidak
mewawancarai guru, orang tua, atau administrator. Oleh karena itu,
pengalaman yang ditangkap di sini
berakar pada kata-kata dan tindakan dari siswa itu sendiri.
Buku ini terdiri dari tujuh Bab, yang berisi tentang sekolah Faircrest dan kisah lima pelajar di dalamnya. Bab tersebut
meliputi:
1. Welcome
to Faircrest High School
2. Kevin
Romoni: A Kind of Guy
3. Eve Lin:
Life as a High School Machine
4. Teresa
Gomez: "I Want a Future"
5. Michelle
Spence: Keeping Curiosity Alive?
6. Roberto
Morales: When Values Stand in the Way
7. The Predicament of "Doing School"
RINGKASAN ISI BUKU
Bab I. Welcome to Faircrest High
School
Pada bab I penulis buku memaparkan tentang potret individu yang
menggambarkan kompleksitas kehidupan siswa serta dilema yang dihadapi olehnya dalam
sebuah sistem di sekolah Menengah Atas Faircrest. Lima siswa yang mewakili dan
menjadi subjek yaitu Kevin, Eve, Tersa, Michelle, dan Roberto menjelaskan bahwa
mereka sedang sibuk pada apa yang mereka sebut " doing school (melakukan
sekolah)." Mereka menyadari bahwa mereka terjebak dalam sistem
di mana
prestasi lebih tergantung pada "melakukan (doing)".
Para siswa fokus pada pengelolaan beban kerja dan mengasah strategi yang akan
membantu mereka untuk mencapai nilai tinggi (nilai secara kuantitatif). Tetapi,
untuk mendapat nilai yang tinggi tersebut, para siswa sering dibenturkan dengan
nilai yang biasa dianut di sekolah, seperti kejujuran, ketekunan, dan kerja
sama tim (nilai secara kualitatif).
Bab
II: Kevin Romoni: A Kind of Guy
Kevin Romoni adalah orang yang menyenangkan. Ia terkenal di sekolah karena
kepribadiannya ramah, nilainya yang tinggi, dan penampilannya yang mengesankan
di tim sepak bola sekolah. Selama dua tahun terakhir dia telah memimpin
murid-dalam pelayanan masyarakat. Ayahnya, seorang seorang insinyur aeronautika
dari Stanford, Berkeley, dan University of California di San Diego, dan ibunya,
seorang asisten eksekutif untuk CEO salah satu perusahaan konsultan terbesar di daerahnya. Kevin memiliki
kakak yang putus beberapa kali dari perguruan tinggi.
Kevin memiliki keyakinan akan pentingnya mendapatkan nilai bagus untuk
orientasi masa depannya, untuk kebanggaan orang tuanya, dan mendapat karir yang
menguntungkan. Karena itu ia sangat terobesi mendapat nilai tinggi walaupun dia
harus berpura-pura untuk mendapatkan nilai tersebut. Akhirnya, menjelang akhir
tahun, tekanan terjadi kepada Kevin. Dia menjelaskan apa yang disebutnya "gangguan" yang terjadi
ketika dia tidak bisa memenuhi harapan semua orang.
Bab III
: Eve Lin: Life as a High School Machine
Eve Lin adalah siswa yang memiliki nilai rata-rata 3,97. Dia termasuk
peringkat 10 besar di kelasnya dan terdaftar di setiap penghargaan dan
penempatan kursus yang tersedia baginya. Kegiatan sekolah yang ia ikuti sejak
tahun pertamanya, diantaranya hoki dan band symphonic di OSIS; klub Spanyol; dan Negarawan Junior Amerika (Junior
Statesmen of America). Dia menyelesaikan empat tahun sekolah di
Taiwan, yang sangat ketat, kompetitif, dan benar-benar terfokus pada akademisi”.
Eve memilih untuk menghabiskan seluruh akhir pekan nya belajar untuk ujian. Dia menghabiskan waktu dengan baik
untuk menapat perbedaan antara -A dan A, atau mungkin bahkan A+. Eva memilih
untuk fokus hanya pada komitmen sekolahnya dengan mengorbankan aktifitas kehidupan
sosialnya, dan juga sering dengan mengorbankan kesehatannya. Eve percaya bahwa
menahan stres ini akan membuat dia menjadi kuat, namun secara fisik dan mental,
tubuhnya tidak bisa mentolerir pekerjaannya. Eve terpengaruhi teori Darwin yang
memaparkan bahwa yang kuat yang akan bertahan. Meurutnya, orang-orang yang
berhasil bertahan "dengan mengambil
banyak stres " adalah mereka yang paling cocok dan "tetap bisa bertahan,
dan orang yang tidak bisa mengambil semua tekanan adalah mereka yang kalah. Eve mengakui bahwa teori semacam
itu tampaknya "keras" dan "kejam". Dia percaya bahwa
seseorang harus memiliki pola pikir seperti ini untuk bisa masuk ke universitas
terbaik
Eve sangat kecewa dengan perilaku menipu teman-temannya, ketika mereka mendapatkan A tanpa banyak belajar,
sementara Eve bekerja lebih untuk sebuah
kelas yang sama. Tapi dia tidak
melaporkan perilaku ini kepada pihak berwenang. Dia tidak ingin mendapatkan
teman-temannya dalam kesulitan atau membuang peluang mereka untuk kuliah di
tempat yang baik, meskipun dia percaya beberapa hal yang mereka melakukan adalah"benar-benar
tidak bermoral.
Eve membenci hidupnya sebagai robot sekolah dan cara-cara yang ia kerjakan untuk
bisa maju. Dia ingin memilih rute menuju kesuksesan secara bebas, tapi dia mengakui ada
banyak tekanan dari luar yang mempengaruhinya. Dia berharap bahwa
pada akhirnya penerimaan
perguruan tinggi membuktikan bahwa usahanya telah berhasil, dengan kesehatan,
dan kehidupan sosial yang baik, dalam rangka mempertahankan peringkatnya
sebagai salah satu siswa terbaik di kelas.
Bab IV: Teresa Gomez: "I Want a Future"
Teresa adalah seorang mahasiswa yang luar biasa dalam bisnis rumah, mahir
dalam keterampilan komputasi bisnis. Dia mengesankan guru atas keinginannya
untuk "menantang" dirinya dan komitmennya di Himpunan Mahasiswa Meksiko.
Teresa merupakan siswa Meksiko yang berskolah di Amerika. Ia tergolong
masyarakat menengah, sehingga selain sekolah, Teresa juga bekerja untuk
menghidupi keluarga. Teresa menghabiskan hampir setengah dari semester di luar
kelas. Masalah
kesehatannya menyebabkan ia banyak absen. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia sakit, tapi dia menjelaskan kepada
dokter bahwa dia tidak tidur berjam-jam atau makan dengan baik karena dia
memiliki jadwal dan pekerjaan yang menuntut persaingan; serta kewajiban
keluarga. Dia harus mengantar rutin ibunya untuk perawatan medis karena ibunya
terkendala dengan bahasa Inggris. Karena itu ia sering melewatkan sekolahnya.
Pada waktu studi, Teresa bekerja di sebuah restoran Meksiko setempat. Dia
bekerja sebagai kasir sekitar 35 jam seminggu (Rabu, Kamis, dan Jumat
pukul 04-10 pm,) yang hanya menyisakan
beberapa jam pada hari Senin dan Selasa untuk melakukan sebagian besar
pekerjaan rumahnya. Ibunya ingin dia berhenti, tapi Teresa menolak. Menurutnya
banyak uang adalah kesuksesan, sehingga dia berpendapat bahwa sekolah
merupakan alat untuknya yang memungkinkan ia bisa sukses dengan "banyak
uang".
Salah satu sumber utama frustrasi Teresa adalah kesulitan nya dengan bahasa
Inggris, dan kesulitannya untuk berinteraksi dengan para pejabat sekolah.
Walaupun demikian, Teresa selalu berusaha
melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh gurunya. Dia percaya bahwa
sekolah harus menjadi tempat di mana seseorang harus mendapatkan nilai bagus
dan layak, tanpa membeda-bedakan status sosialnya. Dia ingin ditantang dan
terlibat di kelas, dia ingin mendapat nilai dan kehormatan yang layak, dan dia ingin bangga dengan cara
dia berprilaku terhadap dirinya, dengan guru dan teman sebayanya. Keinginan Teresa
untuk "menantang" dan "mendorong" kerja kerasnya dapat
membedakan dia dari teman-temannya, Teresa pun mengorbankan keyakinan dan
bertindak dengan cara-cara yang tidak membuatnya bangga.
Bab V:
Michelle Spence: Keeping Curiosity Alive?
Michelle, seorang mahasiswa drama dan musik yang luar biasa, untuk
penampilannya aktingnya, dia mendapat nilai teratas. Dia terdaptar dalam sebuah
program khusus yang disebut Proyek Komunitas
(The Community Project/ TCP). TCP mewakili bahwa sekolah menengan
atas harus menawarkan Kursus Alternatif. TCP, menurut Richard, bukan hanya
kursus di Faircrest, tapi merupakan sekolah alternatif yang dirancang untuk
menjadi: berbeda signifikan dari sekolah konvensional, dalam hal
kebebasan, kepekaan terhadap emosi, metode penyelidikan, dan struktur
administrasi. Salah satu aspek penting dari TCP adalah bahwa di sana di ajarkan
"sistem psikologis" bagi ara siswa. Untuk berhasil
berpartisipasi dalam TCP, siswa menerima kredit sekolah dalam psikologi,
sejarah, bahasa Inggris, pendidikan jasmani, dan studi lingkungan. Ilmu
lain, bahasa, dan kelas matematika dapat diambil setelah periode keempat, di
luar TCP, di sekolah konvensional.
Michelle memilki ketakutan untuk membuat keputusan yang salah. Ketakutan tersebut
berasal dari pengetahuan bahwa dia sering menghentikan kegiatan ketika ia
menjadi bosan dan bahwa ia biasanya menyesali tindakannya sesudahnya.
ketakutan dan intimidasi yang ia rasakan juga dihasilkan dari gagasan bahwa
keberhasilan di sekolah tinggi berkait erat dengan kesuksesan dalam
kehidupan. Seperti Kevin dan Eve, Michelle merasakan tekanan luar biasa
untuk mendapatkan nilai A.
Orang tua Michelle juga memberikan dorongan dan cinta, yang memungkinkan
dirinya untuk membuat keputusan "dirinya" dan meyakinkan bahwa mereka
akan mendukung keputusan apapun yang dia membuat. Mereka tahu kapan harus
turun tangan dan mengambil tindakan, terampil menavigasi sistem sekolah,
mengatur pertemuan dengan kepala sekolah untuk memastikan bahwa putri mereka
akan diperlakukan secara adil, dan menindaklanjuti panggilan telepon
penghargaan yang diberikan untuk Michelle. Michelle berterima kasih atas
bantuan ini dan terutama memuji dukungan ayahnya
Michelle melihat hubungan antara apa yang ia pelajari di sekolah tinggi dan
karir masa depannya, dan ia khawatir bahwa ia tidak akan "berhasil"
dalam hidup jika dia tidak berhasil secara akademis. Dia juga menyadari
ketidakjelasan sistem yang menempatkan begitu
banyak penekanan pada nilai dan menunjukkan begitu sedikit perhatian untuk
kebutuhan akademik individu.
Menjelang akhir tahun senior nya Michelle menerima "penghargaan
tertinggi" di kompetisi drama seluruh negara bagian dan memenangkan
beasiswa drama sebuah perguruan tinggi kecil di Southern California. Meskipun
ia masih tidak yakin bahwa dia ingin kuliah, dia tidak ingin kehilangan uang
untuk kuliah. Pada bulan Juni dia
memilih untuk menerima beasiswa dan pertunjukan teater.
Bab VI:
Roberto Morales: When Values Stand in the Way
Pada kelas empat sekolah dasar, Roberto, kesulitan dalam melafalkan bahasa
Inggris, kemudian ia sering dibantu bibinya. Keluarga Roberto sangat berperan
penting dalam perkembangan Roberto. Keluarga Roberto dan teman dekat memanggilnya
Roberto, Berto atau Bertito. Dia digambarkan sebagai seorang "jenius".
Dia adalah salah satu dari sedikit kelompok yang mengambil kursus persiapan
kuliah dan ia belajr dengan keras, dan dia adalah satu-satunya yang secara
konsisten mendapat nilai A dan B pada rapornya. Diligkungannya banyak anak-anak
yang kecanduan obat, tetapi Roberto lebih memilih untuk bergaul dengan
teman-teman nya yang pintar Di sela-sekolahnya pun Roberto memilki pekerjaan.
Di tempat kerja, Berto sangat
disukai dan dicari. Dia bekerja sebagai asisten manajer di sebuah restoran
cepat saji lokal sekitar 20 sampai 30 jam per minggu. Dia seharusnya bekerja
tujuh jam sehari pada akhir pekan dan Jumat sore, tapi belakangan ini dia memilki
banyak tugas. Dia mengakui bahwa beerja di restoran ini mengganggu pekerjaan
sekolahnya. Namun, dia berharap dia bisa menemukan keseimbangan yang lebih baik
antara pekerjaan dan sekolah. Dia butuh uang untuk membayar untuk perlengkapan
sekolah, pakaian, makan siang, transportasi, "hampir semuanya,"
karena orangtuanya tidak cukup uang.
Berto, merasa senang dengan dirinya dan prestasinya. Dia dipuji sebagai
seorang yang jenius oleh keluarga dan teman-temannya; sangat disukai dan
dipercaya oleh banyak guru; dan dihormati oleh rekan-rekan kerjanya. Tapi dia merasa
tergangggu oleh kecemasan tentang masa depannya. Apakah dia bisa masuk ke
perguruan tinggi pilihannya? Apakah dia bisa memenuhi impiannya menjadi seorang
insinyur listrik? Apakah dia bisa "menjaga nilainya tetap tinggi?
Selama kelasnya, Berto hanya mencoba menjadi rajin. Berto adalah salah satu
dari sedikit orang yang membuka buku-bukunya segera ketika pulag sekolah dan
harus segera bekerja denganya. Berto jarang menggunakan waktu kelasnya untuk
melakukan pekerjaan dalam mata pelajaran lain. Sebaliknya, dia suka untuk
menyelesaikan tugas sebelumnya dan menawarkan bantuan kepada orang lain. Dia
direkomendasikan untuk ketekunan dan dedikasi untuk tujuan ini, serta catatan
sukses, di mana dalam sebuah seminar ia dianugerahi sebagai Commendation
Koordinator for Excellence.
Roberto selalu melakukan pekerjaan tepat waktu, menunjukkan keinginan untuk
belajar, memperhatikan dan berpartisipasi dalam kelas. Namun kualitas ini,
bersama dengan integritas dan kemurahan hatinya, tidak memungkinkan dia untuk
mencapai nilai rata-rata yang diinginkan. Seperti siswa lainnya dalam
penelitian ini yang merasa perlu untuk kompromi atas keyakinan atau cita-cita
mereka dalam proses “melakukan sekolah”, Berto juga menyerah dan berhenti
membantu orang lain ketika ia dihadapkan denngan tekanan besar. Namun, ia juga
menunjukkan semacam kenaifan tentang cara kerja sistem sekolah. Tidak seperti
yang lain yang menemukan cara untuk memanipulasi proses sekolah, ia hanya
berjanji kepada dirinya sendiri untuk bekerja "lebih keras" tahun
depan dan berharap bahwa "roh" dan kepercayaan dirinya akan
"melihat dia." Dia tidak menyadari bahwa untuk mencapai keberhasilan
yang dicita-citakan, ia akan harus bekerja "lebih cerdas" di samping
lebih keras.
Bab 7:
The Predicament of "Doing School"
Bab ini mengeksplorasi kondisi dan konsekuensi meraih kesuksesan di sekolah dan dilema yang dihadapi para siswa dalam
sebuah sistem sekolah. Para siswa di sekolah Faircrest belajar untuk mengelola
beban kerja melalui berbagai teknik, yakni :
1. Establishing allies and treaties (Membentuk sekutu dan perjanjian). Sekolah telah digambarkan sebagai
tempat yang menyebabkan siswa merasa anonim dan tak berdaya. Namun, siswa dalam
penelitian ini, berusaha untuk bersekutu, mencari keuntungan untuk menemukan
orang-orang yang mengenal mereka secara pribadi dan yang bisa campur tangan
atas mereka sebagai pendukung, yang bersedia
untuk mendengarkan keluhan mereka, menawarkan kepercayaan mereka, dan
memberikan kebaikan dalam berbagai cara .
2. Multi-tasking. Multi-tasking, istilah yang dipinjam dari dunia bisnis yang berarti
bekerja secara simultan pada berbagai tugas. Ahli efisiensi menyarankan
eksekutif sibuk untuk memaksimalkan waktu mereka dengan melakukan berbagai
tugas rutin. Misalnya, seperti yang dipraktekan Eve dan Kevin, keduanya menemukan
cara untuk mengalihkan perhatian guru, seperti mengangkat tangan mereka setiap
sepuluh menit untuk memberikan ilusi partisipasi dalam diskusi kelas, atau
yang
3. Cheating (Kecurangan). Kecurangan meluas yang saya amati merupakan strategi
manajemen kelas juga. Bentuk-bentuk yang lebih tradisional dari
kecurangan-mencontek, menjiplak, untuk Kevin dan Teresa, kecurangan menjadi penopang
kebiasaan, memungkinkan mereka untuk " mendapatkan nilai.
4. "Squeaky
Wheels.", misalnya Kevin teratur menyuarakan perbedaan pendapat atas
kesalahan yang ditandai pada tes dan kuis, sering mengakibatkan perubahan ke
kelas yang lebih tinggi. Teresa, Eve, dan Michelle mendekati kepala
sekolah pada kesempatan terpisah untuk mengeluh tentang gaya mengajar atau
keputusan administratif. Untuk Berto, yang menolak untuk kontes keputusan
guru gambarnya dan memilih bukan untuk kelas yang lebih rendah, taktik tersebut
mungkin tampak drastis dan tidak sopan, tetapi untuk yang lain, strategi ini
adalah bagian penting.
Strategi manajemen ini, meskipun efektif dalam kebanyakan kasus untuk
mengarah ke nilai tinggi dan status di sekolah, juga menyebabkan kecemasan dan
frustrasi. Para siswa tidak suka bersaing dengan rekan-rekan mereka,
bertindak menipu terhadap teman-teman dan orang dewasa, atau mengorbankan
nilai-nilai mereka.
Kelas Perangkap
Di satu sisi, para siswa percaya bahwa mereka perlu untuk mencapai nilai
tinggi, nilai ujian yang tinggi, dan berbagai penghargaan dalam rangka untuk
mengamankan masa depan keberhasilan biasanya dalam bentuk gelar yang lebih
tinggi dan pekerjaan bergaji tinggi.
Di sisi lain, para mahasiswa juga ingin merasa baik tentang diri mereka dan
prestasi mereka. Mereka percaya bahwa mereka layak mendapat nilai dan
status tinggi. Mereka mencoba untuk membenarkan perilaku mereka,
meyakinkan diri bahwa mereka melakukan "hal yang benar". Tapi mereka
tidak bisa lari dari kenyataan bahwa mereka tidak senang dengan keputusan
sekolah mereka dan tidak puas dengan pilihan terbatas yang tersedia bagi mereka.
Sebagian besar mengatakan bahwa mereka ingin "berkonsentrasi pada
belajar,".. tetapi mereka khawatir tentang nilai. Mereka tidak suka
"memanipulasi sistem" atau "bermain game," dan mereka
tidak menyukai pengorbanan yang mereka lakuakn untuk mendapat nilai tinggi.Mereka
mendambakan untuk menemukan keseimbangan antara bekerja dan bermain.
Para siswa ini memulai Sekolah mereka lebih awal, satu atau dua jam penuh
sebelum kebanyakan orang dewasa memulai pekerjaan mereka, dan sering berakhir
larut malam, setelah latihan sepak bola, latihan tari, rapat OSIS, tanggung
jawab pekerjaan dibayar, dan waktu pekerjaan. Beberapa siswa, seperti
Teresa dan Michelle, sering menderita pilek dan penyakit, akibat kurang tidur,
dan kebiasaan makan yang buruk. Lainnya, seperti Eve dan Berto, setiap
menitnya mengalami stres, yang menyebabkan kecemasan, masalah perut, bahkan
bisul. Siswa-siswa ini berharap mereka bisa mendapatkan lebih jam tidur
dan meningkatkan kesehatan mereka, tetapi jadwal mereka terlalu sibuk. Demikian
pula, mereka berharap mereka bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan
teman-teman, mengejar kegiatan lain, atau mengambil cuti beberapa hari, tetapi
kebanyakan percaya bahwa mereka tidak bisa melakukan hal-hal tersebut karena
mereka ingin mempertahankan nilai tinggi. Mereka mengakui bahwa mereka
perlu membuat pilihan, dan bagi mereka, kesuksesan masa depan lebih penting
daripada hadirnya kebahagiaan.
Para siswa juga mengeluhkan sistem yang ada. Mereka mempelajari materi,
membaca buku, dan menyelesaikan tugas,
karena mereka harus, bukan karena mereka ingin atau karena subjek benar-benar
tertarik. Siswa sering menghafalkan fakta dan angka tanpa berhenti untuk
bertanya apa yang mereka maksudkan, atau mengapa mereka diminta untuk
mempelajari fakta-fakta tersebut. Mereka memilih kursus berdasarkan
kebutuhan perguruan tinggi dan transkrip nilai dan enggan menerima kurikulum di
luar itu.
Sistem sekolah dibangun hanya untuk "berhasil." Dan banyak
dari kita telah menjadi begitu terbiasa dengan model yang kita tidak dapat
melihat masalah yang melekat di dalamnya. Para siswa yang dianggap berhasil
dalam budaya ini mewakili apa yang penulis sebut "classroom chameleons (kelas
bunglon)". Seperti bunglon yang menggunakan perubahan warna untuk
menyamarkan diri agar tetap hidup, kemampuan beradaptasi ini mengubah
"warna" siswa hanya untuk menyenangkan guru.
Eve dan Kevin, keduanya berasal dari latar belakang sosial ekonomi lebih
tinggi dari tiga siswa lainnya. Mereka memiliki alat bantu belajar, ruangan
yang tenang untuk melakukan pekerjaan
rumah, komputer, printer, dan modem sendiri, serta cukup uang untuk membayar
buku, kelas, dan biaya kursus yang
terkait dengan ujian yang akan membantu mereka masuk ke perguruan tinggi
yang baik. Sedangkan Berto, Teresa, dan Michelle tidak memiliki akses tersebut
sehingga membatasi pilihan mereka.
Sekolah Paksaan
Tyack dan Kuba (1995) mencatat konsistensi terus-menerus dalam ruang kelas
sekolah dan menjelaskan ini "tata bahasa sekolah" sebagai akibat
kurangnya upaya reformasi yang efektif untuk membawa perubahan pendidikan
dasar. Ukuran kelas yang besar, guru serta konselor yang berlebihan
menyebabkan perjanjian, kompromi, dan anonimitas siswa. Departemen organisasi menyebabkan kurikulum
terfragmentasi, studi interdisipliner yang terbatas, bagi guru dan
siswa. Orang-orang di Faircrest dan tempat-tempat seperti itu tampaknya
telah menjadi terobsesi dengan "menjadi yang terbaik". Dorongan
untuk berhasil telah menyebabkan beberapa orang tua untuk mempekerjakan
agen-agen mahal untuk mendampingi anak-anak mereka.
Pada akhirnya, ketika mahasiswa dan orang lain dalam penelitian ini
merefleksikan perilaku mereka dalam dan di sekitar sekolah, mereka merasa
robek. Mereka ingin merasa bangga prestasi mereka dan ingin meyakinkan
diri bahwa mereka telah mendapatkan penghargaan mereka secara adil dan
jujur. Rasionalisasi tersebut membantu untuk mempromosikan ilusi meritokrasi
Amerika, bahwa kerja keras dan perilaku yang baik akan memungkinkan mereka
untuk berhasil.
Setelah mendengar tentang beberapa perangkap bagi siswa dalam penelitian
ini, seharusnya pendidikan memenuhi kebutuhn dari para siswa tersebut. Ketika
Michelle di atas panggung, Teresa berlatih gerakan tarian nya, atau Kevin
mengumpulkan perlengkapan sekolah untuk proyek pelayanan masyarakat, di sana para
siswa tidak berpikir tentang nilai. Mereka tidak sibuk menonton jam atau
bergegas untuk menyelesaikan tugas. Mereka juga tidak selalu disibukkan
dengan berbagai strategi manajemen atau sistem bermain. Sebaliknya,
mereka sangat fokus pada pekerjaan mereka, penuh semangat berkomitmen, dan
bersedia bekerja keras agar hasil nya memuaskan. motivasi intrinsik inilah
yang bisa menyelesaikan tugas dengan baik, tidak terpaku pada transkrip
perguruan tinggi.
Hanya dengan bekerja sama dengan siswa, dengan mendengarkan kebutuhan
mereka, keluhan mereka, dan keinginan mereka, keberhasilan sekolah bisa
dicapai.
Komentar dan Ulasan
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi para siswa untuk
menumbuhkembangkan setiap kemampuan yang dimilikinya. Tetapi, sekolah juga
sering menghadapi aturan sistem pemangku kebijakan, seperti adanya pencapaian
nilai tertentu bagi anak, sehingga guru di sekolah berusaha untuk “memaksakan”
siswa mendapat nilai yang di syaratkan tersebut tercapai. Siswa tidak bisa
menolak akan sistem yang ada tersebut. Karena itu, sekolah-sekolah, masih belum
bisa menghasilkan lulusan yang berkualitas secara penuh, karena masih ada campur tangan pemangku kebijakan
yang belum tepat.
Memahami sudut pandang siswa, seperti yang telah dilakukan dalam penelitian
ini, bisa membantu para pendidik untuk mengetahui proses belajar yang
dilakukan, sehingga pendidik bisa mengevaluasi proses yang dilakukan tersebut.
Kemudian, reorientasi pendidikan juga harus dirubah, di mana yang semula
sekolah hanya berusaha untuk mengejar nilai yang tinggi, seharusnya
diorientasikan untuk mematangkan kemampuan diri, dan juga karakter diri yang
baik.
Buku ini sangat baik menggambarkan bagaimana kehidupan lima anak dalam
menjalankan sekolahnya. Tetapi sayangnya, penulis buku ini sangat sedikit
memberikan jawaban bagi para orang tua tentang strategi apa yang perlu dilakukan
orang tua dalam membesarkan anak-anak mereka menuju kesuksesannya.