Pages

Senin, 03 Juni 2013

Authentic of Heart

Hari ini saya memutar sebuah tayangan Video yang sempat saya download di situs www.salingsapa.com. Video itu memutar acara  "Leaders with Character" bersama Ari Ginanjar Agustian, seorang penggagas Emotional Spiritual Quotient (ESQ), yang ditayangkan di Metro Tv. Bintang tamu yang dihadirkan adalah Raden Riski Muliawan Hayang Denada Kusuma, atau yang akrab dipanggil Dik doang. Berikut merupakan pemaran dari isi video ini.

Hidup adalah proses, dan proses adalah perubahan. Perubahan itulah yang menandakan kita hidup. Awalnya kita tidak tahu, bodoh, lalu kita menemukan kesadaran dan kita mencari kebenaran. Kebenaran itu ternyata ada di agama. Lalu saat kita bergama, Kita jangan berhenti denga hanya beragama, kita harus mencari keselamatan, dan terus mengasahnya hingga kita mendapat hidayah. Hidayah itu adalah petunjuk umum, seperti sholat wajib. Kita jangan berhenti di sana, asahlah terus sehingga kita mendapatkan  hidayah-hidayah lain, seperti  melaksanakan sholat Tahajud, Duha dan lainnya. Kitapun jangan berhenti sampai di situ, karena setelah kita mengerjakan itu, lama-lama kita akan mendapatkan Taufik. Taufik adalah kemampuan yang diberikan  oleh Allah untuk menjalani hidayah. Tidak semua orang mendapat kemampuan itu, karena  banyak orang yang berhenti berhenti hanya di agama, mencari keselamatan saja.

Kandang Jurang doang
Kemudian, Dik doang menuturkan bagaimana ia merasa hidayah itu datang kepadanya sebagai berikut: 
"Ketika seorang anak ku lahir, kupandangi wajahnya.., ini adalah kejadian besar di mana aku bisa melihat anakku lengkap, dan di situlah aku bisa memilih bahwa inilah jalan yang aku tempuh, sehingga aku memutuskan untuk membuat “kandang jurang doang”. 

Pendidikan Versi “Doang”
Perubahan besar bangsa ini harus diawali dari pendidikan. Pendidikan di kita ini sudah bagus, tapi prosesnya kurang tepat. Anak selalu disuruh belajar, padahal prosesnya bermain dulu baru belajar, makannya “kandang jurang doang” itu tempat bermain. “jangan kau cabut masa bermain anak-anakmu dengan cepat karena kelak kau akan menemukan anakmu yang dewasa, tetapi kekanak-kanakan”. Disitulah kesalahan diasah menjadi kebenaran. “Jangan belajar sambil bermain pasti itu tidak benar, tetapi kalau bermain sambil belajar itu pasti ada bonusnya”. Papar Dik doang.

Ari Ginanjar kemudian menambahkan "Inilah yang sering dilupakan dunia pendidikan kita, bahwa sesungguhnya Allah berbicara dengan manusia bukan melalui fikiran kita, tetapi Allah berbicara dengan manusia melalui hati yang ada di dalam dada. Akan tetapi bagaimana untuk menemukan hati supaya ia mampu mengeluarkan bunga-bunganya, dari mulutnya, dari matanya, dari perbuatannya?

Bunga-bunga itu ciri-ciri surga, selalu indah mewangi, ketika kita mampu menegtuk pintu Multazam yang ada di hati, maka akan keluar semua keindahan-keindahan nurani, 1000 kalimat yang tak pernah terucap, 1000 kata yang tak pernah terdengar, akan meluncur laksana air zam-zam yang tiada henti". 

Ilmu bulan dan matahari
Menurut Dik doang, ilmu itu ada dua, yaitu ilmu bulan dan matahari. Ilmu bulan itu kalo ada orang yang berbicara, dia selalu menyanggah, darimana dalilnya?, atau dari mana haditsnya?. Sepintas perilaku itu nampak benar. Tetapi sebenarnya itu adalah ilmu kesombongan, seperti  cahaya bulan, seolah-oleh dia bercahaya menerangi kegelapan, tetapi sebenarnya itu adalah cahaya yang terpantulkan dari matahari. Kemudian Satu lagi adalah Ilmu matahari. Ilmu matahari itu Kalau ada yang  berbicara ia mendengarkan, tidak berdebat, lalu dia bawa pulang kata-kata itu dan kemudian ia menyaringnya. Menurut Dik Doang ini yang baik dan yang buruk pasti akan terpilah-pilih di hati, nah yang tersaring itu akan mendekam di tempat yang dinamakan Qalbu. Ketika kita sampaikan kepada orang lain, dia menjadi cahaya, dan cahaya itu menjadi energi, tidak semua orang yang berkata mampu mengeluarkan ENERGI.

Menjadi matahari, kita harus dididik langsung oleh Allah, sebagaimana pohon-pohon tinggi dan rendah hidup berdampingan, bukankah dia langsung dididik oleh Allah, oleh NurNya? Nur itu adalah ilmu. Ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya itu pasti tersimpan di dalam Qalbu, bukan di mulut.

Hidup itu adalah harmoni, hidup harus mencapi titik keseimbangan, keseimbangan akan melahirkan leluasa dalam bergerak, dan leluasa dalam bergerak akan melahirkan kewajaran. Orang yang wajarlah yang telah menemukan kehidupannya. Meskipun ia artis, pejabat tinggi, kalo dia bisa berbicara dengan yang di atas, pada teman yang setara,  dengan teman yang di bawah, dia telah menjadi manusia yang wajib hidup di atas muka bumi ini.

Manusia telah dilahirkan cerdas oleh Allah, manusia telah dilahirkan mengetahui segalanya oleh Allah, manusia bukan dibuat oleh selembar buku, atau seorang guru, akan tetapi manusia diciptakan oleh Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Manusia diciptakan oleh Tuhan, yang menghamparkan bumi,  kemudian menumbuhkan bunga-bunga, yang di dalamnya ada sejuta bunga dan sejuta wangi, kemudian yang menciptakan manusia. Dia adalah yang menciptakan kumbang-kumbang, yang menciptakan kupu-kupu, yang menciptakan madu, yang menggerakan malaikat untuk memerintahkan alam ini begitu serasi, dan yang meniupkan ruh kepada manusia. Sehingga, yang diperlukan  para pendidik sebenarnya bukan mendoktrinkan selembar buku, sepatah pengetahuan kepada  manusia ciptaan Ilahi ini, yang diperlukan dalam mendidik manusia adalah membiarkan manusia itu membuka lembaran-lembaran hatinya, dan membuka lembaran alam semesta, untuk melihat kalimat-kalimat Allah. Tapi manusia itu egois, guru kadang egois, orang tua egois, seolah-olah dia yang sudah memiliki pengetahuan, seolah-oleh dia pemilik segalanya. Guru seharusnya bisa menghormati manusia dengan fitrahnya.

Semoga Allah selalu mencurahkan kebeningan hati kepada kita semua agar mampu senantiasa memancarkan ilmu dan cahayaNya di kehidupan ini. 

Hasbunallah wa nikmal wakil