Pages

Selasa, 08 Oktober 2013

Emha Berbicara tentang Orang tua dan Anak

 Penting bagi kita untuk "Mengetahui dimana letak "Kebahagiaan" sehingga kita tidak berjalan kemana-mana selain tempat  yang hendak kita tuju."

 Dalam sub tema buku "Indonesia bagian dari Desa Saya", Emha Ainun Nadjib menuliskan judul  "Anak Polah Bapak Kepradah, Bapak Polah Anak Kepradah" (hal: 67), ada bagian dari tulisannya menuturkan:

Jika menggugu kata-katamu,betapa semu 
sedang perilakumu yang rancu
Tak mungkin ku tiru
Maaf Bapak, ingin aku mengubur Engkau
yang makin dipikul dhuwur
makin ngawur
Dari bacaan itu, yang isinya berupa puisi yang berbahasa campur Jawa-Indonesia, yang kemudian dijelaskan dengan beberapa paragraf yang merangkum maksud puisi dengan penuturan filosofis, Saya mengambil kesimpulan dari tulisan tersebut  bahwa: "Jika tak ada teladan, apa yang bisa diteladani?". Banyak dari  kita yang mengiginkan anak-anaknya menjadi baik, dengan menjelaskan "petuah luhur" yang terkadang tidak bisa lagi dimengerti. Aturan tidak lagi menjadi perhatian anak, karena kita sendiri tidak menunjukan bagaimana aturan itu harus dijalankan. Karena itu,  kita harus bekaca pada diri kita sendiri, sebelum mengajarkan orang lain, dan memperbaiki diri kita sendiri, sebelum memperbaiki orang lain.

Selain itu Emha menuturkan bahwa lingkungan masyakat kita secara keseluruhan belum mampu memberi peluang dan rangsangan untuk  bisa mengembangkan potensi anak secara prima (hal: 92), mengembangkan kemampuan dan kreativitas mereka. Masyarakat kita dewasa ini baru belajar, dan karena baru belajar, maka secara keseluruhan penyerapaan dan penerapannya tentang makna pendidikan masih kecil (hal: 93).

Mentalistas feodalistas masyarakat kita bagaimanapun mempengaruhi terjadinya perkembangan tersebut. Anak-anak kita yang sesungguhnya cerdas, masih belum  bisa tumbuh dan berkembang karena kita punya kecenderungan untuk terlalu mengatur, menentukan, lalu menyutradai anak-anak kita (hal :94)

Karana itu, penting bagi kita untuk menanyakan kembali sistem pendidikan kita, baik dari segi kurikulumnya, guru-gurunya, murid-muridnya, latar belakang masyarakatnya dan variabel-variabel lain yang menunjang keberhasilan pendidikan. Belajar mendidik, memberi rangsangan kreativitas, menyediakan kemerdekaan kepada anak-anak di rumah, di lapangan, di mesjid, di sekolah, adalah cara belajar yang baik yang mampu menyentuh garis batas kemerdekaan manusia agar mendekati ketepatan (hal: 95).

Pertanyaan besar nya adalah"
Siapakah sebenarnya Engkau anak-anakku? bagaimana aku harus memperlakukanmu? Siapakah sebenarnya kami ini? bagaimanakah sebenarnya kami orang tua ini? dan seberapa siapkah kami mendidik engkau anak-anakku?