Pages

Minggu, 16 Februari 2014

Hati dan Kaitannya dengan Pengetahuan



Hati, sebagai tempat tumbuhnya pengetahuan, laksana sebuah cermin yang memantulkan sifat khusus segala sesuatu. Hal-hal yang bersifat spiritual adalah bentuk-bentuk yang direfleksikan di dalamnya, sedangkan akal adalah refleksi aktual di dalam cermin.

Meskipun hati manusia sendiri mampu mengetahui segala realitas, berbagai penghalang dapat merintanginya, antara lain: (1) Cermin mungkin belum selesai pembentukannya karena usia yang masih muda; (2) Ia mungkin tertutup oleh dosa-dosa; (3) Gangguan-gangguan duniawi dapat menjauhkannya dari Allah; (4) Ia mungkin ternoda oleh sikap membebek (taqlid) terhadap suatu dogma; (5) Kebodohan.

Ada tiga derajat pengetahuan: (1) kepercayaan orang-orang awam ('awamm), yang diperoleh melalui sikap membebek kepada orang-orang yang dianggap benar; (2) keyakinan para teolog (mutakallimun), yang mengandung unsur pembuktian; (3) keyakinan orang-orang suci (shiddiqun), yang, melalui "keyakinan" batin (musyahadah), merasakan pengalaman bersama Allah dari tangan pertama, dan yang pengetahuannya tidak diragukan lagi. Ketiga derajat ini dapat dianalogikan dengan didengarnya kabar mengenai adanya seseorang di dalam rumah. Kemudian, mendengar suaranya dan karena itu dapat disimpulkan bahwa orang itu memang ada, dan akhirnya bertemu langsung dengan orang itu.

Al Ghazali (Alih bahasa oleh Astuti, R). 2013. Metode Penaklukan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalam Perpspektif Sufistik. Bandung: Mizan, hal: 313