Hati, sebagai tempat tumbuhnya pengetahuan, laksana sebuah cermin
yang memantulkan sifat khusus segala sesuatu. Hal-hal yang bersifat spiritual
adalah bentuk-bentuk yang direfleksikan di dalamnya, sedangkan akal adalah
refleksi aktual di dalam cermin.
Meskipun hati manusia sendiri mampu mengetahui segala realitas,
berbagai penghalang dapat merintanginya, antara lain: (1) Cermin mungkin belum
selesai pembentukannya karena usia yang masih muda; (2) Ia mungkin tertutup
oleh dosa-dosa; (3) Gangguan-gangguan duniawi dapat menjauhkannya dari Allah;
(4) Ia
mungkin ternoda oleh sikap membebek (taqlid) terhadap suatu dogma; (5)
Kebodohan.
Ada tiga derajat pengetahuan: (1) kepercayaan orang-orang awam ('awamm), yang
diperoleh melalui sikap membebek kepada orang-orang
yang dianggap benar; (2) keyakinan para teolog (mutakallimun),
yang mengandung unsur pembuktian; (3)
keyakinan orang-orang suci (shiddiqun), yang, melalui "keyakinan"
batin
(musyahadah), merasakan pengalaman bersama Allah dari
tangan pertama, dan yang pengetahuannya tidak diragukan lagi. Ketiga derajat
ini dapat dianalogikan dengan
didengarnya kabar mengenai adanya
seseorang di dalam rumah. Kemudian, mendengar suaranya
dan karena itu dapat disimpulkan bahwa
orang itu memang ada, dan akhirnya bertemu langsung
dengan orang itu.
Al Ghazali (Alih bahasa oleh Astuti, R). 2013. Metode Penaklukan Jiwa: Pengendalian Nafsu dalam Perpspektif Sufistik. Bandung: Mizan, hal: 313