Bagi saya, berbicara tentang menyukai atau
disukai, Keritis atau apatis, berumah tangga atau bekerja, atau mungkin
membicarakan kata-kata “galau” itu ada fasenya. Banyak hal yang bisa melatar
belakangi atau yang bisa mempengaruhi kenapa perbincangan-perbincangan tersebut
hadir, salah satunya
adalah fase perkembangan manusia. Manusia
terus berkembang menuju ke kematangan, baik itu fisik, logika, emosi, atau
spirituanya.
Begitu
juga dalam tulisan ini. Tulisan ini saya tulis ketika saya sadar kalau sekitar semingguan ini, apa yang didiskusikan dan diperbincangkan dengan
teman-teman saya, selalu saja
ada yang mengarah ke istilah “Nikah”, sebagai pembuktian cinta (entahlah perbincangan-perbincangan
yang saya lakukan itu memang benar-benar sengaja diarahkan ke sana, atau hanya main-main untuk mencairkan suasana),
tapi yang jelas hal itu cukup membuat saya berfikir (melakukan screening
awal kepada siapa seharusnya saya mencintai sekarang ini) ke manakah arah itu harus saya
tujukan saat ini.
Dua
tulisan saya dulu saya beri judul “berbicara Cinta, aku jatuh
Cinta”. Untuk tulisan
ini saya kasih judul “Aku jatuh cinta, aku berbicara”. Mengingat cinta itu perlu dibicarakan
jangan dipendam (bukan karena takut jerawat lho), cinta itu adalah kebutuhan.
“Cinta itu adalah kewajaran, dan harus dilakukan dengan wajar”,.
Wajar maksudnya tidak berlebihan. Jatuh cinta menurut saya sangat boleh,
malahan harus. Karena ia bisa jadi motivasi dalam kehidupan kita. Tapi dalam
pelaksanaannya, jatuh cinta itu harus wajar. Untuk urusan Cinta, Kita harus
bisa mencintai sesuatu yang memang harus dicintai, pantas untuk dicintai. Gak
usah memaksakan, Jika kita rasa sesuatu itu bukan yang harus dicintai, Jika memang seseorang itu bukan yang harus kita cintai, walaupun kita merasakan ada perasaan suka, kagum,
tolaklah dia, sebelum ia menolak kita. Kita
harus bisa berfikir logis dan beralasan (sampai kita bisa
mengambil sikap) dalam hal ini.
Cinta harus Dibahasakan.
Membahasakan cinta itu (operasionalisasi
kalo dalam penelitian) akan membuat kita lebih paham
tentang cinta itu sendiri,
bahkan tentang ukuran cinta.
Ibnu Miskawaih mengemukakan bahwa dalam cinta terdapat kebaikan. Kebaikan itu
selain mencakup esensinya, juga terkait dengan cara
atau metode perolehannya. Cinta yang penuh kebaikan ini, jangan dinodai oleh kepalsuan,
karena memalsukan cinta lebih buruk daripada memalsukan uang, memalsukan emas
atau perak. Cinta palsu masih pendapat Ibnu Miskawaih yang menguktip
Aristoteles, cepat lenyap dan rusak, sebab di dalamnya tidak ada kebaikan.
Allah
swt sendiri jika mencitai pada hambaNya maka dia mengutaraan cintanya pada
malaikat Jibril, Dia menyerukan pada Jibril agar ikut mencintainya dan
memberitahu pada penduduk langit dan bumi agar ikut mencintainya. Sabda
Rasulullah:
Apabila
Allah mengasihi seorang hamba, niscaya Dia memanggil Jibril dan berfirman:
Sesungguhnya Aku (Allah) mengasihi orang tersebut, maka kasihanilah dia. Lalu
Jibril mengasihinya. Kemudian Jibril menyeru ahli langit dan berkata: Allah
telah mengasihi orang tersebut, jadi kamu mestilah mengasihaninya. Kemudian
orang tersebt diterima oleh semua golongan yang berada di muka bumi. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Akhirnya ketika kita merasakan cinta
biarlah ia menjadi cinta yang wajar, toh semua nya juga adalah karunia yang
diberi oleh Allah. Ibnu ‘Atahillah berkata “Keadaan yang diadakan oleh Allah
itu semua seolah-olah seperti gelap, dan pastinya keadaan Allah akan menjadi
Terang. Maka barang siapa yang tidak melihat Allah dalam keadaan gelap tadi,
maka seakan-akan ia tidak melihat dzat Allah. Maksudnya disana adalah kita
bisa melihat Allah ketika mata hati ini sudah tidak tertarik dengan kilauan
dunia. Dengan hal itu kita bisa memiliki cinta yang wajar. Tujhe Mein Rab Dikhta
Hai ( I see my god in you). Semoga kita bisa menjadi orang-orang yang bisa merasakan dan
membahasakan cinta
dengan wajar.
Allahu’alam
Hasbunallah wanikmal wakil