Pages

Senin, 16 Desember 2013

Aku jatuh Cinta, Aku berbicara


Bagi saya, berbicara tentang menyukai atau disukai, Keritis atau apatis, berumah tangga atau bekerja, atau mungkin membicarakan  kata-kata “galau”  itu ada fasenya. Banyak hal yang bisa melatar belakangi atau yang bisa mempengaruhi kenapa perbincangan-perbincangan tersebut hadir, salah satunya adalah fase perkembangan manusia. Manusia terus berkembang menuju ke kematangan, baik itu fisik, logika, emosi, atau spirituanya.

Begitu juga dalam tulisan ini. Tulisan ini saya tulis ketika saya sadar kalau sekitar semingguan ini, apa yang didiskusikan dan diperbincangkan dengan teman-teman saya, selalu saja ada yang mengarah ke istilah “Nikah”, sebagai pembuktian cinta (entahlah perbincangan-perbincangan yang saya lakukan itu memang benar-benar sengaja diarahkan ke sana, atau hanya main-main untuk mencairkan suasana), tapi yang jelas hal itu cukup membuat saya berfikir (melakukan screening awal kepada siapa seharusnya saya mencintai sekarang ini) ke manakah arah itu harus saya tujukan saat ini

Dua tulisan saya dulu saya beri judul “berbicara Cinta, aku jatuh Cinta”. Untuk tulisan ini saya kasih judul “Aku jatuh cinta, aku berbicara”. Mengingat cinta itu perlu dibicarakan jangan dipendam (bukan karena takut jerawat lho), cinta itu adalah kebutuhan.  “Cinta itu adalah kewajaran, dan harus dilakukan dengan wajar”,. Wajar maksudnya tidak berlebihan. Jatuh cinta menurut saya sangat boleh, malahan harus. Karena ia bisa jadi motivasi dalam kehidupan kita. Tapi dalam pelaksanaannya, jatuh cinta itu harus wajar. Untuk urusan Cinta, Kita harus bisa mencintai sesuatu yang memang harus dicintai, pantas untuk dicintai. Gak usah memaksakan, Jika kita rasa sesuatu itu bukan yang harus dicintai, Jika memang seseorang itu bukan yang harus kita cintai, walaupun kita merasakan ada perasaan suka, kagum, tolaklah dia, sebelum ia menolak kita.  Kita harus bisa berfikir logis dan beralasan (sampai kita bisa mengambil sikap) dalam hal ini. 

Cinta harus Dibahasakan. Membahasakan cinta itu (operasionalisasi kalo dalam penelitian) akan membuat kita lebih paham tentang cinta itu sendiri, bahkan tentang ukuran cinta. Ibnu Miskawaih mengemukakan bahwa dalam cinta terdapat kebaikan. Kebaikan itu selain mencakup esensinya, juga terkait dengan cara atau metode perolehannya. Cinta yang penuh kebaikan ini, jangan dinodai oleh kepalsuan, karena memalsukan cinta lebih buruk daripada memalsukan uang, memalsukan emas atau perak. Cinta palsu masih pendapat Ibnu Miskawaih yang menguktip Aristoteles, cepat lenyap dan rusak, sebab di dalamnya tidak ada kebaikan.

Allah swt sendiri jika mencitai pada hambaNya maka dia mengutaraan cintanya pada malaikat Jibril, Dia menyerukan pada Jibril agar ikut mencintainya dan memberitahu pada penduduk langit dan bumi agar ikut mencintainya. Sabda Rasulullah:

Apabila Allah mengasihi seorang hamba, niscaya Dia memanggil Jibril dan berfirman: Sesungguhnya Aku (Allah) mengasihi orang tersebut, maka kasihanilah dia. Lalu Jibril mengasihinya. Kemudian Jibril menyeru ahli langit dan berkata: Allah telah mengasihi orang tersebut, jadi kamu mestilah mengasihaninya. Kemudian orang tersebt diterima oleh semua golongan yang berada di muka bumi. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

Akhirnya ketika kita merasakan cinta biarlah ia menjadi cinta yang wajar, toh semua nya juga adalah karunia yang diberi oleh Allah. Ibnu ‘Atahillah berkata “Keadaan yang diadakan oleh Allah itu semua seolah-olah seperti gelap, dan pastinya keadaan Allah akan menjadi Terang. Maka barang siapa yang tidak melihat Allah dalam keadaan gelap tadi, maka seakan-akan ia tidak melihat dzat Allah. Maksudnya disana adalah kita bisa melihat Allah ketika mata hati ini sudah tidak tertarik dengan kilauan dunia. Dengan hal itu kita bisa memiliki cinta yang wajar. Tujhe Mein Rab Dikhta Hai ( I see my god in you). Semoga kita bisa menjadi orang-orang yang bisa merasakan dan membahasakan cinta dengan wajar.

Allahu’alam
Hasbunallah wanikmal wakil