Koran Pikiran Rakyat minggu 16
september 2012 dalam salah satu kolomnya menuliskan judul "Tiga Wanita Memaafkan Pelaku Kejahatan". Wanita-wanita tersebut yaitu Yvonne Stern, seorang ibu yang
menjadi target penembakan, yang didalangi oleh suaminya bernama
Jeffrey Stern. Jeffrey kemudian ditahan oleh polisi bersama selingkuhannya yang
bernama Michelle Gaiser. Yvone kemudian meminta membebaskan suaminya kepada
polisi, dan suaminya pun bebas. Ia kemudian mengkonfirmasi perihal
perselingkuhannya kepada suaminya, dan suaminya pun mengaku. Sang suami kemudian
meminta maaf dan akhirnya Yvonne pun memaafkan suaminya. Ia bertutur “saya
memaafkan dia, saya tahu dia bersalah telah selingkuh, namun dia tidak pernah bermaksud
membunuh saya. Dengan memaafkan saya terlepas dari rasa sakit hati”. Kemudian
Yvone bertutur “Kamipun bahagia bersama tiga anak kami”.
Kemudian wanita kedua bernama Marion Hedeges,
ibu dua anak asal New York Amerika kehilangan penglihatan, dan koma selama
berminggu-minggu akibat ulah para remaja bengal di sebuah perbelanjaan yang usil
melempar kereta belanjaan dari ketinggain 15 meter yan akhirnya mengenai
Marion. Setelah Marion pulih dari koma, ibu ini memaafkan perbuatan
remaja-remaja tersebut dan tidak menuntut remaja yang menjatuhkan keranjang
belanjaan kepada dirinya, ia bertutur “saya berharap mereka baik-baik saja.
Saya turut berduka mereka kini harus dipenjara, saya merasakan itu pasti berat
lantaran saya juga punya anak remaja 13 tahun”.
Perempuan ketiga adalah Teresa
Sheppard, ibu berusia 37 tahun dari Amerika ini kehilangan anak perempuannya
dalam sebuah kasus perampokan. Ia kemudian memaafkan perampok tersebut dan
bertutur “kami mengasihi dia (perampok) karena Tuhan yang kami sembah
mengajarkan bahwa kita harus mencintai musuh kita.”
Dari kasus di atas dapat diambil
beberapa pelajaran bahwa ketika seseorang sudah memegang teguh nilai-nilai kehidupan dalam dirinya,
maka seseorang akan mampu untuk terus menjalankan kehidupannya, membebaskan diri dari ketergantungan orang lain, dan mencapai aktualisasi diri yang dibutuhkannya. Nilai kepercayaan dan keteguhan ibu
Yvone, nilai keibuan ibu Marion, dan nilai keyakinan terhadap agama ibu Theresa
menjadikan pribadi ibu-ibu tersebut pribadi yang penuh kasih sayang dan pemaaf. Nilai merupakan harga, yang
dianggap bernilai, adil, baik, dan indah, serta menjadi pedoman atau pegangan
diri.
Pendidikan
seharusnya mampu membangun generasi yang memegang prinsip nilai-nilai tinggi
kemanusiaan.
Sayang nya potret pendidkan Indonesia
masih lah jauh dari harapan pendidikan itu sendiri. Mengutip data yang
disampaikan oleh Kesuma, Triatna dan Permana (2011:2), kondisi moral generasi muda Indonesia telah
hancur. Hal ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja,
peredaran narkoba, tawuran, penyebaran foto dan video porno pada pelajar, dan
sebagainya. Survei mengnai seks bebas di Indonesia menujukan 63% remaja
Indonesia pernah melakukan seks bebas. Kemudian 3,9 % remaja merupakan korban
Narkoba, dan sisiwa yang terlibat tawuran mencapai 0.08% siswa dari 1.647.835 siswa di DKI Jakarta. Selain itu
keadaan Indonesia diperparah dengan maraknya korupsi. Berdasarkan Indeks
persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2009 naik 2.8% dari 2.6% pada tahun
2008. Dengan skor ini, peringkat Indonesia terdongkrak cukup signifikan, yakni
berada di urutan 111 dari 180 negara (naik 15 posisi dari tahun lalu)
yang disurvei IPK oleh Tranparency International. Kemudian kasus lain adalah
kemiskinan yang mencapai 40 juta orang dan terus bertambah tiap tahunnya.
Permasalahan di atas menujukan bahwa
proses pendidikan belum berjalan secara benar. Pendidikan Indonesia saat ini minim akan pendidikan nilai. Orientasi pendidikan yang bersifat Matrealis dianggap menjadi penyebab perubahan pendidikan saat ini, padahal sejatinya tujuan pendidikan Indonesia saat ini merupakan proses kristalisasi nilai-nilai luhur, seperti nilai ketakwaan,demokratis, tanggung jawab, bukan orientasi materi. Atas dasar itu, pendidikan harus dikembalikan kembali kepada tujuan utama pendidikan yaitu membentuk manusia yang bernilai, dengan memfasilitasi para subjek didik untuk menjadi
orang yang memiliki kualitas moral, kewarganegaraan, kebaikan, kesantunan, rasa hormat, kesehatan,
sikap kritis, keberhasilan, kebiasaan, insan yang kehadirannya dapat diterima
masyarakat (Samani dan Hariyanto: 2012: 50). Untuk itu, pendidikan nilai harus menjadi bagian dalam proses pendidikan baik di keluarga, sekolah, ataupun di masyarakat.
Allahu' alam
Hasbunallah wanikmal wakil