Pages

Senin, 16 Desember 2013

Belajar dari Mandela



5 Desember 2013, warga Afrika Selatan berkabung. Mantan presiden mereka Nelson Mandela, yang juga merupakan presiden kulit hitam pertama wafat dalam usia 95 Tahun. Disinyalir komplikasi Pneumonia (suatu infeksi pada paru-paru) menjadi penyebab kematian beliau. Kontribusiya yang besar terhadap kehidupan di negaranya, membuat dia dikenang oleh seluruh warga Afrika Selatan, dan itu nampak terlihat selama hampir kurang lebih sepekan Para pelayat banyak berdatangan untuk mengucapkan belasungkawa kepada keluarga Mandela, dan di saat pemakamanpun, terlihat bejuta-juta  pasang mata menyaksikan haru, ditinggal pemimpin yang dicintai, pemimpin yang telah memberikan banyak kontribusi positif bagi dunia pada umumnya, dan Afrika selatan pada khususnya. Pepatah lama mengatakan bahwa Kebajikan seseorang akan terlihat lebih jelas ketika seseorang itu telah selesai menjalankan kehidupannya.

Nelson Mandela merupakan seorang pemimpin yang memiliki Visi hidup  jauh ke depan. Visi berarti dengan mata batin melihat kemungkinan yang terdapat di dalam diri orang, dalam proyek, dalam hal-hal yang  pantas diperjuangkan, dan dalam usaha kita. Visi ini jugalah yang merupakan salah satu atribut penggerak perubahan dunia dari dulu. Stephen Covey (2005) menuturkan dalam bukuya The 8 Habbit bahwa Nelson Mandela, melewatkan hampir dua puluh tujuh tahun masa hidupnya di penjara, karena pembangkangannya melawan rezim Apartheid. Kendati demikian, dalam mengarahkan hidupnya Mandela lebih ditentukan oleh angan-angannya daripada oleh ingatannya. Dia dapat membayangkan suatu dunia yang jauh lebih luas daripada batas-batas pengalaman dan ingatannya terhadap masa hidupnya di penjara, ketidakadilan, perang dan perpecahan suku. Jauh di dalam jiwanya bergaung sebuah keyakinan terhadap nilai dari setiap warga negara Afrika Selatan.

Visi merupakan sebuah dorongan yang timbul dari adanya bisikan suara nurani dari dalam diri (Covey, 2005: 436).  Nurani adalah kesadaran moral kita mengenai apa yang baik dan buruk, dan dorongan untuk menggapai makna dan memberi sumbangan nyata. Nurani adalah kekuatan yang mengarahkan kita dalam menggapai visi, mendayagunakan disiplin dan gairah hidup. Nurani amat bertentangan dengan kehidupan yang didominasi oleh ego atau keakuan kita. (Stephan Covey, 2005: 98). Mandela berusaha keras untuk mendengarkan suara hatinya, sehingga ia mendapat dorongan untuk senantiasa melayani kebutuhan orang lain. Cara inilah merupakan cara terbaik untuk "menemukan suara kita" dan "mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka". Mandela menuturkan:

“Pada awalnya, sebagai seorang pelajar, saya hanya menginginkan kebebasan bagi diri saya sendiri, kebebasan yang bersifat sementara, yakni untuk bisa keluar rumah di malam hari, membaca apa yang saya inginkan, dan pergi ke tempat yang saya pilih. Selanjutnya sebagai seorang pria muda di Johannesburg, saya amat merindukan kebebasan-kebebasan dasar dan terhormat untuk mencapai potensi diri saya, bekerja dengan jujur, menikah, dan membesarkan keluarga; pendek kata, kebebasan untuk menjalani kehidupan yang sesuai hukum tanpa dihalangi. Tetapi, saya perlahan-lahan melihat bahwa bukan hanya saya yang tidak bebas, tetapi saudara-saudara lelaki dan perempuan saya pun ternyata tidak bebas... inilah saat ketika rasa lapar untuk mendapatkan kebebasan saya sendiri berubah menjadi rasa lapar yang lebih besar untuk kebebasan saudara-saudara saya. Hasrat untuk mendapatkan kebebasan saudara-saudara saya agar mereka bisa menjalani kehidupan mereka dengan terhormat dan penuh penghargaan diri itulah yang menggerakkan kehidupan saya. Itulah yang mengubah seorang pria muda yang penakut menjadi seseorang yang tegar, yang mendorong seorang pengacara yang patuh hukum menjadi seorang "kriminal", yang mengubah seorang suami yang mencintai keluarganya menjadi seorang lelaki gelandangan... Bukan bahwa saya lebih bermoral atau bersedia berkorban lebih daripada orang lain, tetapi saya menemukan bahwa saya sama sekali tak bisa menikmati kebebasan yang buruk dan terbatas yang saya dapatkan saat saya mengetahui bahwa saudara-saudara saya tidak bebas.”

Selain itu, Mandela merupakan seseorang yang menjunjung tinggi moralitas, salah satu buktinya adalah usahanya untuk membebaskan warga Afrika Selatan dari Apharteid yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, dengan memberantas rasisme, kesenjangan, dan mendorong rekonsiliasi rasial; bayak melakukan aktivitas amal demi memberantas kemiskinan dan HIV/AIDS melalui Nelson Mandela Foundation.

Masyarakat saat ini sangat memberikan perhatian terhadap nilai dan Moralitas seseorang. Nilai adalah harga (benar, baik, indah,) dan Moralitas itu sendiri merujuk kepada tingkah laku seseorang. Di jaman sekarang, banyak pemimpin yang sering menyalahgunakan kekuasaan nya. Semua itu terjadi karena ia tidak memegang nilai-nilai pentig, tidak menjaga moralitasnya, alih-alih menjadi pemimpin yang dikenang atau dikagumi, justru dengan tidak adanya moralitas pemimpin akan semakin jatuh di mata rakyatnya. Covey  (2005: 103) menuturkan bahwa kepemimpinan tanpa wibawa moral pasti akan gagal. 

Tolak ukur seseorang memang dilihat dari moralitasnya. Rasulullah telah menegaskan bahwa Ia di utus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak yang baik, untuk mengajari manusia agar memiliki moralitas yang baik. Untuk itu, belajar dari orang-orang besar di dunia, pasti tidak bisa dilepaskan dari kemampuan para tokoh-tokoh tersebut melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan, menjalankan setiap perilakunya (keputusan/kebijakan nya) dengan dasar moralitas tinggi (wujud kritasliasi nilai yang dipegangya), sehingga ia mampu berbuat yang terbaik bagi semua orang; menjadi pribadi yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. “Sebaik-baik manusia, adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain”.

Semoga kita bisa belajar dari siapapun, dari apapun, dimanapun, dan kapanpun.

Allahu’alam
Hasbunallah waikmal wakil