Suatu ketika K. H. Bisri
Mustafa berbincang-bincang dengan sahabanya Kiai Ali Maksum Krapyak
tentang Tulis menulis. “kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah
dari sampeyan bahkan mungkin saya lebih alim.” Kata kiai Ali
dengan nada kelakar seperti biasanya. “Tapi mengapa sampeyan bisa begitu
produktif menulis, sementara saya selalu gagal di tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melnajutkan.”
Dengan gaya khasnya, Kiai Bisri Mustafa menjawab: “Lha soalnya sampeyan menulis Lillah ta’ala sih!” tentu saja jawaban ini mengejutkan kiai Ali.
“Lho kok Kiai tidak menulis lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?”
“Kalau saya, menulis dengan NYAMBUT GAWE. Etos saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu. Kalau pun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja. Soalnya, bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa nggulling. Saya juga begitu. Kalau belum-belum sampeyan sudah niat mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan, dan pekerjaan sampeyan tidak akan selesai. Lha nanti kalu tulisan sudah jadi dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niat yag mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu.”
itulah cerita KH Bisri Mustafa dalam buku putranya Kiai Mustafa Bisri (Gus Mus) KORIDOR terbitan Kompas (2010) tentang falasafah menulis. Gus mus juga menyampaikan bahwa Kebiasaan ayahandanya ketika beliau selesai bekerja, membaca, menulis, beliau biasanya langsung mengambil air wudhu, shalat malam, dan bermunajat. Kebiasaan lain juga biasanya beliau mengundang para kiai atau sahabat-sahabat kenalan beliau untuk mayoran, makan-makan bersama. Biasanya ini beliau lakukan setelah menyelesaikan suatu naskah karangan. Mewah dan tidaknya nya mayoran tentu saja tergantung seberapa banyaknya belau memiliki uang saat itu.
Mudah-mudahan menambah semangat kita untuk menulis dan berjhad dengan tulisan...
SILAKAN BOLEH DI COBA :D
Hasbunallah wanikmal wakil, nikmal maula wa nikma nasir
Dengan gaya khasnya, Kiai Bisri Mustafa menjawab: “Lha soalnya sampeyan menulis Lillah ta’ala sih!” tentu saja jawaban ini mengejutkan kiai Ali.
“Lho kok Kiai tidak menulis lillahi ta’ala; lalu dengan niat apa?”
“Kalau saya, menulis dengan NYAMBUT GAWE. Etos saya dalam menulis sama dengan penjahit. Lihatlah penjahit itu. Kalau pun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus bekerja. Soalnya, bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa nggulling. Saya juga begitu. Kalau belum-belum sampeyan sudah niat mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan, dan pekerjaan sampeyan tidak akan selesai. Lha nanti kalu tulisan sudah jadi dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niat yag mulia-mulia, linasyril ‘ilmi atau apa. Setan perlu kita tipu.”
itulah cerita KH Bisri Mustafa dalam buku putranya Kiai Mustafa Bisri (Gus Mus) KORIDOR terbitan Kompas (2010) tentang falasafah menulis. Gus mus juga menyampaikan bahwa Kebiasaan ayahandanya ketika beliau selesai bekerja, membaca, menulis, beliau biasanya langsung mengambil air wudhu, shalat malam, dan bermunajat. Kebiasaan lain juga biasanya beliau mengundang para kiai atau sahabat-sahabat kenalan beliau untuk mayoran, makan-makan bersama. Biasanya ini beliau lakukan setelah menyelesaikan suatu naskah karangan. Mewah dan tidaknya nya mayoran tentu saja tergantung seberapa banyaknya belau memiliki uang saat itu.
Mudah-mudahan menambah semangat kita untuk menulis dan berjhad dengan tulisan...
SILAKAN BOLEH DI COBA :D
Hasbunallah wanikmal wakil, nikmal maula wa nikma nasir