Logoterapi membantu pasiennya untuk menemukan makna hidup, sebab logoterapi akan membuat seseorang sadar akan logos yang tersembunyi dalam dirinya. Logoterapi ini mirip Psikoanalisis, tetapi dalam prakteknya, logoterapi tidak memaksa aktiviitas nya dalam tindakan instingtif unconsciusness, melainkan menjaga keberadaan spiritual jiwanya sebagai sebuah potensi dan juga kehendak untuk memaknai eksistensinya yang perlu diisi. Logoterapi mencoba membuat pasien nya sadar akan apa yang dibutuhkan dalam eksistensinya. Logoterapi merupakan sebuah usaha untuk mengisi makna dan mengaktualisasikan nilai-nilai; bukan sekedar pemuasan insting, atau menyatukan konflik id, ego, dan super ego, atau hanaya sekedar adaptasi dari lingkungan sosial.
When a man finds that it is his destiny to suffer, he
will have to accept his suffering as his task; his single and unique task. He
will have to acknowledge the fact that even in suffering he is unique and alone
in the universe. No one can relieve him of his suffering or suffer in his place.
His unique opportunity lies in the way in which he bears his burden. — P. 99 (Ketika seseorang menemukan bahwa
takdirnya adalah menderita, ia harus menerima penderitaan sebagai tugasnya,
tugas tunggal baginya dan unik. Ia harus mengakui kenyataan bahwa dalam penderitaannya itu unik dan sendirian di alam semesta. Tidak ada yang bisa membebaskannya
dari penderitaan-nya atau menderita di tempatnya. Kesempatan unik-nya terletak
pada cara di mana ia menanggung bebannya)
A man who becomes conscious of the responsbility he bears
toward a human being who affectionately waits for him, or to an unfinished
work, will never be able to throw away his life. He knows the “why” for his
existence, and will be able to bear almost any how. — P.101 (Seseorang yang sadar akan tanggung
jawabnya, ia akan menuju ke arah keberadaan manusia yang setia menunggu untuk dia, atau ke pekerjaan
yang belum selesai ia kerjakan, dan ia tidak akan pernah bisa membuang
hidupnya. Dia mengetahui alasan "mengapa" ia ada, dan ia akan
mampu memperjuangkannya bagaimanapun, dengan cara apapun.)
mental health is based on a certain degree of
tension, the tension between
what one has already achieved and what one still ought to accomplish, or the gap between
what one is and what one should become. — P.127 (Kesehatan mental didasarkan kepada
derajat ketegangan tertentu, ketegangan antara apa yang telah diraih seseorang
dan apa yang telah dilakukanknya; atau pemisah antara apa yang telah ada dan
apa yang seharusnya). I consider it a dangerous misconception of mental
hygeine to assume that what man needs in the first place is equilibrium or, as
it is called in biology, “homeostasis,” i.e., a tensionless state but rather
the striving and struggling for a worthwhile goal, a freely chosen task. What
he needs is not the discharge of tension at any cost but the call of a
potential meaning waiting to be fulfilled by him — P.127 (Saya menganggap ada kesalahpahaman mengenai
kesehatan mental yang menyebutkan bahwa kebutuhan pertama seseorang adalah
keseimbangan atau, seperti yang disebut dalam biologi, "homeostasis,"
(kondisi tanpa tensi) itu berbahaya. Kesehatan mental yatu usaha kerja keras
dan perjuangan untuk mencapai tujuan yang berharga, sebuah kebebasan dalam
memilih tugasnya. Apa yang dia butuhkan bukanlah pelepasan ketegangan pada
apapun, tetapi panggilan makna potensial yang menunggu untuk diisi oleh-nya)
The Meaning of Love. Love is the only way to grasp another human being in the innermost
core of his personality. No one can become fully aware of the very essence of
another human being unless he loves her. By his love he is enabled to see the
essential traits and features in the beloved person; and even more, he sees
that which is potential in her, which is not yet actualized but yet ought to be
actualized. Furthermore, by his love, the loving person enables the beloved
person to actualize these potentialities. By making him aware of what he can be
and of what he should become, he makes these potentialities come true. (p.143) Cinta hanyalah satu cara untuk memahami
keberadaan manusia di dalam inti pikiran-pikiran yang paling dalam dari
kepribadian manusia. Tidak seorangpun dapat memahmai secara penuh kesadaran
yang paling esensi dari keberadaan
manusia, kecuali kalau dia mencintainya. Dengan cintanya dia mampu melihati
ciri-ciri esensi dan keistimewaan pada orang yang dicintainya; dan yang lebih
lengkap lagi, ia akan melihat sesuatu yang lebih potensial dari orang yang
dicintainya, yang belum teraktualisasikan padahal potensi tersebut harus
diaktualisasikan. Lebih jauh lagi, cintanya, memungkinkan dia mencintai
seseorang agar bisa mengaktualisasikan potensi dirinya. Dengan membuatnya sadar
apa yang dia dapat jadikan dan apa yang ia bisa menjadi, dia membuat potensi
nya menjadi kenyataan.
Cinta itu bukanlah seks, seks hanyalah bentuk sampingan
dari cinta.
In logotherapy,
love is not interpreted as a mere epiphenomenon of sexual drives and
instincts in the sense of a so-called sublimation. Love is as primary a
phenomenon as sex. Normally, sex is
a mode of expression for love. Sex is
justified, even sanctified, as soon as, but only as long as, it is a vehicle of love. Thus
love is not understood as a mere
side-effect of sex; rather, sex is a way of expressing the experience of
that ultimate togetherness which is
called love. (p. 134) Di dalam Logoterapi, cinta tidak
diinterpretasi sebagai epiphnomenon
(sebuah perwujudan dari hasil perwujudan primer) dari dorongan seksual dan insting
yang biasa di sebut dengan Sublimasi. Cinta merupakan perwujudan primer
sebagaimana sex. Secara normal, sex merupakan sebuah cara mengekspresikan
cinta. Sex itu dibenarkan, bahkan disucikan, apabila itu dijadikan sebagai kendaraan
cinta; kemudian cinta itu tidak dipahami sebagai efek samping dari sex. Sex merupakan
sebuah jalan untuk mengekspresikan pengalaman puncak kebersamaan yang disebut
cinta.
The Meaning of Suffering. Kita tidak boleh lupa bahwa salah satu jalan menemukan
makna adalah ketika kita dihadapkan pada kondisi putus asa (hopeless),
ketika menghadapi nasib yang tidak bisa dirubah. For what then matters is to
bear witness to the uniquely human potential at its best, which is to transform a personal
tragedy into a triumph, to turn one's predicament into a human achievement.
When we are no longer able to change a situation - just
think of an incurable disease such as
inoperable cancer - we are challenged to change ourselves.(p. 136) .
Berbagai hal tersebut memberi kesaksian akan potensi unik manusia yang terbaik,
yang mengubah tragedi pribadi menjadi kemenangan, untuk mengubah keadaan
seseorang menjadi prestasi yang manusiawi. Ketika kita tidak lagi mampu
mengubah situasi - hanya berpikir tentang penyakit seperti kanker - kita ditantang
untuk mengubah diri kita