Pages

Sabtu, 22 Maret 2014

Belajar dari Buku Victor. E Frankl: "Man Search of Meaning" 2



Logoterapi membantu pasiennya untuk menemukan makna hidup, sebab logoterapi akan membuat seseorang sadar akan logos yang tersembunyi dalam dirinya. Logoterapi ini mirip Psikoanalisis, tetapi dalam prakteknya, logoterapi tidak memaksa aktiviitas nya dalam tindakan instingtif unconsciusness, melainkan menjaga keberadaan spiritual jiwanya sebagai sebuah potensi dan juga kehendak untuk  memaknai eksistensinya yang perlu diisi. Logoterapi mencoba membuat pasien nya sadar akan apa yang dibutuhkan dalam eksistensinya. Logoterapi merupakan sebuah usaha untuk mengisi makna dan mengaktualisasikan nilai-nilai; bukan sekedar pemuasan insting, atau menyatukan konflik id, ego, dan super ego, atau hanaya sekedar adaptasi dari lingkungan sosial.

When a man finds that it is his destiny to suffer, he will have to accept his suffering as his task; his single and unique task. He will have to acknowledge the fact that even in suffering he is unique and alone in the universe. No one can relieve him of his suffering or suffer in his place. His unique opportunity lies in the way in which he bears his burden. — P. 99 (Ketika seseorang menemukan bahwa takdirnya adalah menderita, ia harus menerima penderitaan sebagai tugasnya, tugas tunggal baginya dan unik. Ia harus mengakui kenyataan bahwa dalam penderitaannya itu unik dan sendirian di alam semesta. Tidak ada yang bisa membebaskannya dari penderitaan-nya atau menderita di tempatnya. Kesempatan unik-nya terletak pada cara di mana ia menanggung bebannya)

A man who becomes conscious of the responsbility he bears toward a human being who affectionately waits for him, or to an unfinished work, will never be able to throw away his life. He knows the “why” for his existence, and will be able to bear almost any how. — P.101 (Seseorang yang sadar akan tanggung jawabnya, ia akan menuju ke arah keberadaan manusia yang  setia menunggu untuk dia, atau ke pekerjaan yang belum selesai ia kerjakan, dan ia tidak akan pernah bisa membuang hidupnya. Dia mengetahui alasan "mengapa" ia ada, dan ia akan mampu memperjuangkannya bagaimanapun, dengan cara apapun.)

mental health is based on a certain  degree of  tension, the  tension  between  what one has already achieved and what one  still ought to accomplish, or the gap between what one is and what one should  become. — P.127 (Kesehatan mental didasarkan kepada derajat ketegangan tertentu, ketegangan antara apa yang telah diraih seseorang dan apa yang telah dilakukanknya; atau pemisah antara apa yang telah ada dan apa yang seharusnya). I consider it a dangerous misconception of mental hygeine to assume that what man needs in the first place is equilibrium or, as it is called in biology, “homeostasis,” i.e., a tensionless state but rather the striving and struggling for a worthwhile goal, a freely chosen task. What he needs is not the discharge of tension at any cost but the call of a potential meaning waiting to be fulfilled by him — P.127 (Saya menganggap ada kesalahpahaman mengenai kesehatan mental yang menyebutkan bahwa kebutuhan pertama seseorang adalah keseimbangan atau, seperti yang disebut dalam biologi, "homeostasis," (kondisi tanpa tensi) itu berbahaya. Kesehatan mental yatu usaha kerja keras dan perjuangan untuk mencapai tujuan yang berharga, sebuah kebebasan dalam memilih tugasnya. Apa yang dia butuhkan bukanlah pelepasan ketegangan pada apapun, tetapi panggilan makna potensial yang menunggu untuk diisi oleh-nya)

The Meaning of Love. Love is the only way to grasp another human being in the innermost core of his personality. No one can become fully aware of the very essence of another human being unless he loves her. By his love he is enabled to see the essential traits and features in the beloved person; and even more, he sees that which is potential in her, which is not yet actualized but yet ought to be actualized. Furthermore, by his love, the loving person enables the beloved person to actualize these potentialities. By making him aware of what he can be and of what he should become, he makes these potentialities come true. (p.143) Cinta hanyalah satu cara untuk memahami keberadaan manusia di dalam inti pikiran-pikiran yang paling dalam dari kepribadian manusia. Tidak seorangpun dapat memahmai secara penuh kesadaran yang paling esensi dari  keberadaan manusia, kecuali kalau dia mencintainya. Dengan cintanya dia mampu melihati ciri-ciri esensi dan keistimewaan pada orang yang dicintainya; dan yang lebih lengkap lagi, ia akan melihat sesuatu yang lebih potensial dari orang yang dicintainya, yang belum teraktualisasikan padahal potensi tersebut harus diaktualisasikan. Lebih jauh lagi, cintanya, memungkinkan dia mencintai seseorang agar bisa mengaktualisasikan potensi dirinya. Dengan membuatnya sadar apa yang dia dapat jadikan dan apa yang ia bisa menjadi, dia membuat potensi nya menjadi kenyataan.


Cinta itu bukanlah seks, seks hanyalah bentuk sampingan dari cinta.
In logotherapy,  love is not  interpreted as a  mere epiphenomenon of sexual drives and instincts in the sense of a so-called sublimation. Love is as primary a phenomenon as sex.  Normally, sex is a  mode of expression for love. Sex is justified, even sanctified, as soon as, but only as long  as, it is a vehicle of  love. Thus  love is not  understood as  a mere  side-effect of sex; rather, sex is a way of expressing the experience of that ultimate  togetherness which is called  love. (p. 134) Di dalam Logoterapi, cinta tidak diinterpretasi sebagai  epiphnomenon (sebuah perwujudan dari hasil perwujudan primer) dari dorongan seksual dan insting yang biasa di sebut dengan Sublimasi. Cinta merupakan perwujudan primer sebagaimana sex. Secara normal, sex merupakan sebuah cara mengekspresikan cinta. Sex itu dibenarkan, bahkan disucikan, apabila itu dijadikan sebagai kendaraan cinta; kemudian cinta itu tidak dipahami sebagai efek samping dari sex. Sex merupakan sebuah jalan untuk mengekspresikan pengalaman puncak kebersamaan yang disebut cinta.

The Meaning of Suffering. Kita tidak boleh lupa bahwa salah satu jalan menemukan makna adalah ketika kita dihadapkan pada kondisi putus asa (hopeless), ketika menghadapi nasib yang tidak bisa dirubah. For what then matters is to bear witness to the uniquely human potential at its  best, which is to transform a personal tragedy into a triumph, to turn one's predicament into a human achievement. When we are no longer able to change a situation -  just  think of an incurable disease such as  inoperable cancer -  we are  challenged to change ourselves.­(p. 136) . Berbagai hal tersebut memberi kesaksian akan potensi unik manusia yang terbaik, yang mengubah tragedi pribadi menjadi kemenangan, untuk mengubah keadaan seseorang menjadi prestasi yang manusiawi. Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi - hanya berpikir tentang penyakit seperti kanker - kita ditantang untuk mengubah diri kita