Pages

Senin, 17 Maret 2014

Philip Phenix: Meaninglessness and Modern Man 1

KETIADAAN MAKNA DAN MASYARAKAT MODEREN
The meanings that constitute the proper content of human experience do not appear automatically by a process of natural growth and development. The singular quality of human life is a product of deliberate nurture. It is not a gift of nature; it is a creation of culture. This is another way of saying that meaningful human life is necessarily social. It is only through the educative power of human community that genuine persons are brought into being. (Phenix, 1964: 30) [Kebermaknaan merupakan pengalaman manusia yang tidak muncul secara otomatis oleh proses pertumbuhan dan perkembangan yang alami dari manusia. semua itu menuntut kualitas kehidupan manusia, yang merupakan produk dari pengasuhan/pendidikan yang disengaja; bukan pemberian alam; hal ini merupakan  bentukan budaya. Penjelasan ini merupaka cara lain untuk mengatakan bahwa kebermaknaan kehidupan manusia adalah keniscayaan sosial. Hanya melalui kekuatan edukatif yang dilakukan manusia, kesejatian manusia menjadi ada.]

KULTUR DAN MASYARAKAT TIDAKLAH CUKUP
Society and culture regrettably are by no means perfect. Human beings are not necessarily responsive to whatever beneficent influences are brought to bear on them. People both resist and deny meanings and seek and affirm them. Cultures both destroy meanings and create them. Quite apart from individual or social threats to meaning, the perfection of human life is limited by the finitude of human existence. Because men are fallible, weak, and mortal, no person can experience in his life-time more than an infinitesimal fraction of possible meanings. (Phenix, 1964: 30)  [Masyarakat dan budaya sayangnya belum berarti sempurna. Manusia tidak selalu responsif terhadap apa pun yang dipengaruhi sifat kedermawan yang dibawa sebagai tanggungan mereka. Orang-orang kadang melawan dan menyangkal makna-makna mereka dan terkadang mencari serta mengokohkannya. Budaya bisa saja menghancurkan makna atau membentuk makna bagi manusia. Terlepas dari ancaman individu atau sosial, kesempurnaan hidup manusia dibatasi oleh keterbatasan eksistensi manusia. Karena manusia tidaklah sempurna, lemah, dan fana, maka tidak ada orang yang dapat mengalami dalam kehidupannya lebih dari satu fraksi kecil dari kemungkinan kebermaknaan]

KEHIDUPAN MANUSIA MERUPAKAN MAKNA YANG KOMPLEK
The educator needs to understand human life as a complex of meanings and to know what the various realms of meaning encompass. He also needs to be aware of the enemies of meaning that arise within the human situation and to organize instruction in such a way as to overcome or minimize the threatened meaninglessness. (Phenix, 1964: 30-31) [Para Pendidik perlu memahami kehidupan manusia sebagai  makna kompleks, dan ia juga harus mengetahui apa makna dari berbagai cakupan dunia makna. Para pendidik juga perlu menyadari musuh makna yang bisa muncul dalam situasi kehidupan manusia, dan kemudian mengatur instruksi sedemikian rupa untuk mengatasi atau meminimalkan ketidakbermaknaan tersebut]

Viktor Frankl holds the secret of all worthwhile human existence is found in meaning and the basic cause of human deterioration is loss of meaning. He has devised a system of treatment called "logotherapy," the aim of which is to restore meaning to those who have lost hope and faith in the value of life. In this way he seeks to renew the courage to struggle for right and to endure whatever suffering is entailed by the accidents of fortune and the malice and ignorance of men. (Phenix, 1964: 31) [Viktor Frankl memahami rahasia tentang eksistensi manusia ditemukan dalam makna, dan penyebab dasar dari kerusakan manusia adalah kehilangan makna. Dia telah menemukan sistem tritmen yang disebut "Logotherapy," yang bertujuan  untuk mengembalikan makna kepada mereka yang telah kehilangan harapan dan iman dalam  kehidupan mereka. Dengan cara ini ia berusaha untuk memperbaharui keberanian untuk memperjuangkan hak dan menanggung penderitaan apapun yang terkandung oleh kecelakaan, kebencian serta  kebodohan manusia.]
  
KEMATIAN MENGHAPUSKAN, RASA BERSALAH MERAMPAS, dan BAD CONSCIENCE MERACUNI MAKNA

Paul Tillich also sees meaninglessness as an important fact of modern life. In the Courage to Be , he describes the human condition as one of inescapable anxiety. He finds three principal sources of anxiety. The first, ontological anxiety, arises from the fact of human finitude. Man is anxious because he knows he must die, and all the particular fears besetting him participate in the final horror of annihilation that they symbolize and foreshadow. The second is the anxiety resulting from guilt. Man is anxious because he knows himself to be a transgressor. Consciously or unconsciously, he is aware of having vi-olated the moral law. Do what he will, says Tillich, one can nev-er wholly eradicate the uneasy conscience. The third anxiety is that in which man sees himself threatened by meaninglessness. He is beset with doubts no arguments can dispel. He asks questions to which he can find no answers and that lead only to deeper perplexities and paradoxes. (Phenix, 1964: 31-32) [Paul Tillich juga melihat ketiadaan makna sebagai fakta penting dari kehidupan modern saat ini. Dalam buku in the Courage to Be, ia menjelaskan kondisi manusia sebagai salah satu kecemasan tak terhindarkan. Dia menemukan tiga sumber utama kecemasan. yang pertama, kecemasan ontologis, muncul dari fakta keterbatasan manusia. Manusia merasa cemas karena dia tahu bahwa dia akan matiyang kedua adalah kecemasan yang dihasilkan dari rasa bersalah. Manusia merasa cemas karena dia tahu dirinya menjadi orang yang berdosa. Sadar atau tidak sadar, ia sadar memiliki pelanggaran hukum moralTillich mengatakan seseorang  tidak dapat sepenuhnya membasmi kegelisahan nuraninya. Kegelisahan ketiga adalah ketika manusia melihat dirinya terancam oleh ketiadaan makna. Dia dikelilingi dengan keraguan tanpa argumen yang bisa menghalau. Ia mengajukan pertanyaan yang ia tidak dapat menemukan jawaban dan mengarahkan kebingungan dan paradoks yang lebih dalam ] (Phenix, 1964: 31-32)

The dominant character of the anxiety differs from era to era. Tillich finds that the end of the classical period in Western civilization was dominated by ontological anxiety—the fear of death—as evidenced, for example, in the Mystery religions and in Christianity by the preoccupation with immortality and resurrection. The end of the medieval period was characterized by moral anxiety, as evidenced by the concern for forgiveness and atonement in the penitential system of the Church and in the spiritual agonies of the great Reformers. The modern period, appears to be ending and giving way to a new "post-modern" epoch, causing a time dominated by the anxiety of meaninglessness, revealed in a pervasive skepticism, relativism, aimlessness, and feeling of futility. (Phenix, 1964: 32) [Karakter kecemasan secara dominan berbeda dari jaman ke jaman . Tillich menemukan bahwa akhir periode klasik dalam peradaban Barat didominasi oleh  kecemasan ontologis - ketakutan akan kematian - . Akhir periode abad pertengahan ditandai oleh kecemasan moral, sebagaimana dibuktikan oleh perhatian pengampunan dan penebusan dalam sistem tobat Gereja dan penderitaan spiritual dari para Reformator besar. Periode modern, didominasi oleh kecemasan ketiadaan makna, yang terungkap dalam skeptisisme luas, relativisme , tanpa tujuan, dan perasaan ke sia-sian.] 

All three kinds of anxiety are interfused in every age, including the present. Death is feared because it nullifies the meaning of life and ultimately renders every hope illusory and all striving useless. Guilt also robs existence of meaning because under its burden one cannot accept himself, and the springs of action are poisoned by a bad conscience. (Phenix, 1964: 32) [Ke tiga jenis kecemasan tersebut melebur di setiap zaman, termasuk saat ini. Kematian menjadi menakutkan karena meniadakan makna hidup dan akhirnya membuat setiap harapan dan perjuangan sia-sia. Rasa bersalah juga merampas adanya makna karena menyusahkan sehingga salah ia tidak bisa menerima dirinya sendiri, dan meepaskan tindakan yang diracuni oleh hati nurani yang buruk.
]


Manusia memiliki banyak pintu untuk berjalan dalam hidup 
dan menangani banyak situasi.
Tidak semua pilihan yang dibuat 

terbukti menjadi yang terbaik dalam jangka panjang.
 Dari waktu ke waktu
 berbagai kejadian terjadi,  
kematian orang yang dicintai,  
kehilangan pekerjaan, berakhirnya suatu hubungan
yang membuat orang bertanya "Apakah hidup ini adil?" 

Ketika seseorang membuat satu pilihan dalam hidup
mengambil satu pintu untuk berjalan
haruskah ia tinggal di sana jika pintu itu tak bekerja? 
Atau dapatkah ia mencoba pintu lain?

(William Alan Kritsonis, 2011) 

Obstacles to meaning can be overcome when the realms of possible meaning and the conditions for their realization are well enough understood. (Phenix, 1964: 33) [Kendala makna dapat diatasi ketika kemungkinan dunia makna dan kondisi untuk realisasinya cukup dipahami dengan baik]